“Dari siapa makanan itu?”
“Dari seorang pemuda, ia mengantarkan makanan untukku”
“Tidak ada laki –laki lain selain aku di hutan ini”
“Sungguh? Lalu lelaki tadi siapa?”
“Mungkin itu mata –mata dari tentara” aku ketakutan.
“Jangan takut, dia tidak akan kembali lagi”
“Benarkah?” kakek tua itu tidak menjawab.
***
Keesokan harinya aku mandi ke sungai. Sebelum itu aku kaget tatkala melihat pemuda itu sudah terbunuh. Mengiang di otakku bahwa kakek tua itu mengungkit –ungkit perihal mata –mata. Aku tahu sekarang kakek tua itu adalah mata –mata tentara Jepang bukan pemuda ini. Kini pemuda yang begitu baik kepadaku sudah terbunuh di tangan tentara Jepang. Hirupan sekelilingku tidak begitu enak, aku melihat kesamping dan ke arah depan. Aku melompat melangkahi mayat lelaki ini tiba –tiba tanganku di pegang orang. Jemariku semakin menggigil dan aku menoleh. Aku sudah terperangkap, anggota tentara Jepang itu sudah menemukanku. Aku berteriak sekeras mungkin. Tubuhku lemas dengan sendirinya. Aku menangis sekencang urat nadiku mengalir. Aku tidak mau menjadi santapan lelaki biadab itu, aku telah menghianati cinta Mas Danang. Pada akhirnya Jugun Ijanfu melekat dalam darahku. Malam itu di kamar yang senyap bau alkohol lelaki Jepang itu membukakan pintu. Kakiku berusaha melepaskan rante. Pada akhirnya aku hamil dan menjadi wanita buangan, sudah menjadi barang bekas. Digantikan wanita berpendidikan lainnya dari seluruh Indonesia. Jeritanku adalah jeritan malu dari seorang hamba kepada Tuhannya. Aku menjerit, menangis melihat penderitaan yang bertubi –tubi begini. Ditengah hutan aku berlari dan terus melarikan diri. Hingga ku temukan jalan raya. Disitu ada sebuah truk menuju ke daerahku meskipun sedikit agak jauh. Aku ikut dengannya.
Lalu bagaimana dengan Mas Danang, Ibu dan Bapak. Apakah ia akan menerimaku kembali. Seperti ucapan Mas Danang aku akan pergi untuk kembali. Apakah ia masih mengingat perkataannya tatkala aku sudah menjadi budak seks. Kehormatanku sudah luntur di telan lelaki brengsek itu. Aku juga mendalami perasaan para Jugun Ijanfu itu, ia menangis, menjerit sama halnya dengan perasaanku. Hanya bulan malam ini saja yang dapat melihat tangisanku dan pekatnya malam yang menutupi kesedihanku.
Sambil meratapi aku menulis puisi ini :