Menurut seuah buku yang berjudul Baboning Pepak Basa Jawa karya Budi Anwari (2020), dijelaskan bahwa asal usul dari aksara hanacaraka yaitu dibuat oleh seseorang yang bernama Ajisaka, beliau merupakan penguasa Kerajaan Medang Kamulan yang memiliki dua abdi setia yang bernama Dora dan Sembada.
Suatu hari, Ajisaka mengutus abdinya yang bernama Dora untuk menemui Sembada dan membawa pusakanya. Namun, Sembada menolak ajakanya karena sesuai dengan perintah Ajisaka sebelumnya bahwa Ajisaka tidak memperbolehkan siapapun untuk membawa pusaka tersebut selain Ajisaka sendiri yang membawanya.
Akhirnya, kedua abdi Ajisaka tersebut menaruh rasa saling curiga bahwa masing-masing dari mereka berniat untuk mencuri pusaka itu. Karena kesalahpahaman tersebut maka membuat keduanya bertarung hingga meninggal. Kemudian karena kejadian itu Ajisaka membuat puisi yang dikenal dengan hanacaraka atau aksara Jawa.
Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya dalam sebuah Aksara/Huruf :
Ha – Na – Ca – Ra – Ka ꦲꦤꦕꦫꦏ (Ono utusan artinya Ada utusan)
Da - Ta - Sa - Wa - La ꦢꦠꦱꦮꦭ (Padha kekerengan artinya Saling berkelahi)
Pa – Dha – Ja - Ya - Nya ꦥꦝꦗꦪꦚ (Padha digdayane artinya Sama-sama saktinya)
Ma – Ga - Ba - Tha - Nga ꦩꦒꦧꦛꦔ (Padha nyunggi bathange artinya Saling berpangku saat meninggal)
Terlepas dari cerita asal usul Aksara Jawa diatas jika kita mampu mengkaji lebih dalam lagi, ternyata tersimpan ajaran budi pekerti dan nilai filosofis ajaran luhur kehidupan yang tinggi
Ha ꦲ ( Hana hurip wening suci ) artinya yaitu adanya kehidupan merupakan kehendak dari yang Maha Suci
Na ꦤ ( Nur candra, gaib candra, warsitaning candra ) artinya adalah Pengharapan manusia hanya selalu kepada sinar Ilahi