Oleh: Tri Handoyo
Salah seorang adik Eyang Semi, Raden Renggo, yang menjadi pertapa di puncak Argopuro, di pagi buta tiba-tiba turun gunung. Ia berniat mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres mengenai hubungan kakaknya dengan Kanjeng Wotwesi.
“Maaf, Mbakyu!” ucap Raden Renggo, “Apa keputusan untuk menikah dengan Kanjeng Wotwesi sudah dipikirkan dengan matang? Dia itu orang jahat!”
Eyang Semi tersentak kaget mendengarnya. Adiknya itu sudah cukup lama bertapa, dari mana dia bisa tahu tentang rencana pernikahan itu. Bahkan tidak semua keluarganya tahu, karena memang rencana itu masih dirahasiakan.
“Sedap jangan ditelan, pahit jangan dimuntahkan!” imbuh Ki Renggo. Arti dari pepatah itu adalah berpikir matang-matang sebelum bertindak agar kelak tidak kecewa.
“Kamu tidak pernah berubah!” balas Eyang Semi datar, tapi jelas sikapnya menunjukkan bahwa ia merasa tersinggung.
“Tidak berubah bagaimana?”
“Selalu sok tahu dan suka menggurui orang!”
“Maaf, saya hanya sekedar mengingatkan!”
“Ternyata di puncak gunung pun tidak menjamin orang bebas dari berita fitnah! Siapa orang yang menyampaikan fitnah tentang Kanjeng Wotwesi sampai ke puncak gunung?”