Jujur. Belakangan Eyang Semi memang mengalami beberapa keanehan. Akan tetapi janda kaya raya itu mengabaikannya, karena ia sendiri terlanjur mengagumi kakek perkasa yang termasyur itu.
Suatu malam ia bermimpi, dan rasanya itu seperti kenyataan. Kanjeng Wotwesi berdiri di hadapannya dan mengatakan, “Aku sanggup meredam kobaran api yang membakar hutan. Aku sanggup menghalau terjangan ombak yang melabrak karang. Tapi aku tak sanggup melawan arus gelombang asmara yang menyeret jiwaku ke arahmu!”
“Sungguhkah Kanjeng?” Saat itu ia merasa bak seorang perawan yang sedang jatuh cinta.
“Sungguh! Kasih.., jangan biarkan jiwaku hanyut terombang ambing di lautan pesonamu!”
Namun mendadak ia terjaga dari tidur, karena yang ada di hadapannya tiba-tiba ular raksasa. Dengan penasaran Eyang Semi menatap serius wajah adiknya. “Keanehan? Apa contohnya?”
“Sebagai seorang pendekar, Mbakyu pasti sudah pernah mendengar tentang istilah pesugihan. Ya, pesugihan sebagai jalan pintas untuk memperoleh kekayaan yang harus ditebus dengan tumbal. Jika pelaku pesugihan sampai lupa memberikan tumbal, maka dia sendiri yang akan menjadi korban! Nah, Kanjeng Wotwesi itu…”
“Menurutmu Kanjeng Wotwesi itu melakukan praktik pesugihan? Tuduhan keji! Bukankah aku tadi tanya tentang contoh keanehan-keanehan?”
“Saya harap Mbakyu sabar mendengarkan!”
“Ya, tapi penjelasannya jangan bertele-tele!”
“Saya akan ceritakan dulu mengenai ciri-ciri orang yang menjadi sasaran tumbal pesugihan. Ini merupakan ciri-ciri umum. Pertama, yaitu suasana tempat tinggal secara tiba-tiba terasa berbeda. Menjadi gerah, tidak nyaman, menimbulkan kegelisahan, dan lain-lain. Kemudian, muncul binatang-binatang berbisa, seperti ular, kalajengking, kelabang, kelelawar…”
“Tapi semua yang kamu katakan itu tidak ada!” potong Eyang Semi. “Kalau perasaan gelisah itu saya pikir wajar saja! Itu terjadi pada setiap orang!”