Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (111): Bisnis Jimat

25 November 2024   07:15 Diperbarui: 25 November 2024   08:27 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuh orang anggota Intijiwo tampak membawa ayam cemani, dan satu per satu menyodorkan ayam itu ke Kanjeng Wotwesi. Mereka berdiri di depan bangunan pemujaan yang terbuat dari emas. Kanjeng Wotwesi mengangkat ayam yang serba hitam itu, memutarnya beberapa kali di atas asap dupa yang mengepul, kemudian menghujamkan pisau ke leher ayam. Darah mengucur keluar dari luka pada saat pisau dicabut, nampak jelas sekali mengalir ke wadah bokor emas.

Kini Kanjeng meraih ayam lainnya sementara membiarkan ayam yang terluka dipegang muridnya sampai darah tak menetes lagi. Tentu saja ayam itu akan mati kehabisan darah.

Setelah tujuh ayam itu selesai diambil darahnya, di depan sebelah lain bangunan itu, tujuh orang lainnya duduk menghadap meja berplitur hitam. Mereka bertugas menuliskan rajah di atas kain warna putih, memainkan kuas dengan terampil dan berkali-kali mencelupkan kuas ke dalam bokor berisi tinta darah cemani.

 Upacara ritual penulisan jimat itu hanya dilaksanakan pada saat bulan purnama. Entah sejak kapan orang-orang meyakini bahwa menyimpan jimat itu bisa melindungi mereka dari berbagai penyakit, hama tanaman, dan juga nasib sial. Para penulis jimat sudah puluhan kali menulis, sudah demikian seringnya, hingga dengan cekatan ratusan jimat telah selesai ditulis hanya dalam waktu singkat. Pergelangan tangan dan wajah mencerminkan kelelahan, tapi mereka baru akan berhenti jika darah ayam di dalam bokor emas sudah habis.

Jimat itu nanti akan dibagi-bagikan kepada para pengunjung yang sudah antri. Tentu saja secara gratis, hanya diwajibkan untuk membayar sedekah yang besarnya tidak ditentukan. Semakin besar sedekahnya maka dia mendapat antrian paling depan. Bagi yang tidak kebagian maka harus rela menunggu bulan purnama berikutnya.

"Ini adalah jimat ajian pamungkas, merupakan pelengkap dari semua ilmu, baik yang hanya memakai kekuatan aura maupun yang memakai berbagai khodam!" ceramah Ki Jangkar, anggota senior Intijiwo, di hadapan ratusan orang yang duduk bersila di lapangan. Suaranya lantang berapi-api.

Orang-orang yang justru kebanyakan masyarakat kecil itu datang dengan membawa berbagai persoalan hidup. Mereka berharap dengan memperoleh jimat dari Kanjeng Wotwesi segala persoalan itu akan teratasi. Ada petani yang ingin tanamannya bebas dari hama, ada pedagang yang ingin dagangannya laris, ada orang yang sedang menderita sakit dan mengharap kesembuhan, ada yang ingin cepat dapat jodoh, dan sebagian besar sisanya adalah orang miskin yang ingin menjadi kaya raya dengan cepat.

"Jimat ini bisa untuk kesehatan, kanuragan, kadigdayaan, kewibawaan, kerejekian, keberuntungan, kemakmuran, dan lain sebagainya!" sambung Ki Dewan. "Jimat ini memang bisa tinggal digantung di dinding, atau disimpan di almari, tapi akan lebih kuat jika ajian sebaik ini digemblengkan, bisa dengan media rajah, dengan media minyak wangi, atau dengan media madu! Juga bisa disusukkan dengan media emas. Tapi tentu prosesnya akan lebih sulit dan memakan waktu lebih lama!"

Perkumpulan yang memiliki banyak pengikut itu sebetulnya menyebarkan ajaran dari beberapa kepercayaan yang dicampuradukan. Salah satu ajarannya adalah 'kekuatan aura' yang diyakini bisa meningkat dan berubah warna pada saat melakukan amalan tertentu seperti shalat dan puasa. Kanjeng Wotwesi memang sering mengaku pernah berguru kepada Sunan Geseng dan kemudian mondok di padepokan murid Sunan Bonang, tapi itu tidak benar.

Ajaran aura itu menghubungkan kekuatan fisik manusia yang akan berinteraksi dengan energi alam semesta lantaran amalan-amalan yang dikerjakan. Energi yang melekat pada manusia, yang dinamakan aura itulah sebagai pelindung tubuh. Sudah tentu hal itu belum memiliki bukti ilmiah kerana konsep aura itu sendiri disebut ilmu pengetahuan semu.

Kanjeng Wotwesi memang diakui sebagai pengamal ilmu kebatinan modern yang kemudian bertanggunjawab memopulerkan ilmu yang diamalkan secara terbuka itu melalui ajaran Intijiwo. Ajaran yang sangat mudah diterima semua kalangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun