Ki Ageng Menak telah berhasil mendidik sebuah generasi baru yang hebat. Rumahnya adalah ruang pendidikan dan pelatihan. Ia ajarkan anaknya untuk kalahkan kantuk, kalahkan lelah, demi menata satu persatu batu bata untuk bangunan masa depan yang lebih baik.
"Ketika sedang melakukan perjalanan ke Majapahit," kata Paman Gondo, adik Ki Ageng Menak, "Ingatanku kembali pada sebuah peristiwa tewasnya Ki Blandotan Kobra di dalam langgar di Jombang. Saranku, pergilah salah satu dari kalian ke sana, untuk minta bantuan Mbah Kucing. Dia yang melumpuhkan penjahat besar Ki Blandotan. Aku punya keyakinan beliaulah orang yang bisa menandingi kesaktian Kanjeng Wotwesi!"
"Mbah Kucing? Mohon maaf, Paman!" potong Ki Singo, "Apakah orang tua bernama aneh itu seorang pendekar yang memiliki padepokan besar?"
Ki Gondo terperangah mendengar pertanyaan itu. "Itulah kesalahan besar kebanyakan orang. Mereka sering terjebak gelar dan nama besar!"
"Bagus, tapi terjebak itu yang selama ini cukup untuk membuat saya jadi orang sukses!" bantah Ki Krapak.
"Tapi akhirnya sekarang...?"
Keheningan kembali menyelimuti.
"Satu hal yang sering kali diucapkan romo adalah pepatah 'Fajar menyingsing, elang menyongsong'!" Ki Songkok menengahi, "Artinya sambutlah hari dengan semangat berusaha yang gigih. Kita tetap akan berusaha mengeluarkan kemampuan yang terbaik, meskipun pada akhirnya tujuan itu tidak tercapai atau kita kalah dalam mengupayakannya, tapi tidak boleh ada kata menyerah!"
"Setuju. Kesabaran kita sudah habis!"
"Hanya melalui perang inilah jalan terakhir yang bisa kita upayakan!"
"Para penjahat tengik itu harus segera diberi pelajaran!"