Mendadak, mereka semua dikejutkan oleh kehadiran seorang remaja yang dengan cepat mengobrak-abrik para pengawal. Giliran mengirim serangan kepada lelaki tua yang baru saja menampar mbok, Klebat dihadang oleh perempuan tua yang sangat disayanginya.
"Hentikan Klebat!" teriak Mbok Cipluk. "Beliau kakekmu! Kyai Wotwesi!"
"Klebat!" Kanjeng Wotwesi tampak terkejut dan tanpa ragu-ragu maju untuk merangkul cucunya, menangis tak henti-henti, air mata kakek dan cucu berdua menjadi satu. Entah menangis berapa lama.
Perjumpaan itu sekonyong-konyong telah menghidupkan harapan-harapan baru. Klebat mendapati dirinya terangkat ke dalam kehidupan yang makmur, serba mewah, yang menurut anggapannya dulu itu tidak mungkin terjadi.
Selagi tidur, di dalam kamar yang tertata indah, wajahnya setenang wajah bayi tanpa dosa, sama sekali tak terusik oleh pikiran-pikiran hari esok. Napasnya dalam dan teratur. Sementara tangannya mendekap erat bambu pusaka. Semenjak mendapatkan pusaka itu, ia tak pernah lagi terpisah darinya. Memegangnya saja merupakan kenikmatan yang tak terlukiskan. Barangkali ia sedang bermimpi indah. Senyum tipis terlukis di bibirnya.
Itulah salah satu dampak menguasai pusaka 'Junjung Drajad'. Derajatnya mulai merangkak naik dengan cepat. Kini dia memiliki seorang pelindung yang sangat berpengaruh seperti seorang raja. Kakek Kanjeng wotwesi, tokoh spiritual yang paling dihormati dan sangat kaya raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H