***
Mbok Cipluk mewarisi sebuah rumah bambu peninggalan orang tuanya, di sebuah desa yang lumayan jauh dari pusat kota Lamongan. Desa miskin dan terpencil di bagian selatan yang berbatasan dengan Jombang.
Klebat kecil selalu berada di samping Mbok Cipluk ke mana pun ia pergi, sehingga membuat kehidupannya penuh keceriaan. Untuk menghidupi mereka berdua, perempuan setengah baya itu beternak ayam. Sehari-hari aktifitas mereka mencari kayu bakar di pinggiran hutan dan kemudian menjualnya ke pasar.
Sebelum keluar rumah, Mbok Cipluk biasa memberi bedak Klebat dengan bubuk arang, sampai wajah anak kecil itu kelihatan hitam. "Ini untuk menyelamatkanmu, Le!" ujar Mbok Cipluk, "Biar tidak dikenali orang-orang jahat! Mulai sekarang, jangan pernah mengaku sebagai anak cucu keturunan Kyai Wotwesi ya! Itu sangat berbahaya!"
Karena bedak sialan itu, Klebat kecil sering mengalami hinaan dari anak-anak lain. Ia dijuluki anak Wewe Gombel. Sehingga tidak ada seorang pun anak yang mau berteman dengannya karena takut.
Mbok Cipluk dengan sabar selalu membesarkan hati momongannya yang semakin beranjak besar itu. "Tidak masalah sekarang kamu ditertawakan, Le. Biarkan saja. Mereka tidak tahu bahwa kelak kamu akan menjadi orang besar! Percayalah! Mbok sangat yakin itu!"
Ketika baru dilahirkan, banyak hal aneh yang terjadi pada bayi Klebat. Ia pernah menghilang beberapa hari karena diculik raja bangsa jin. Kyai Wotwesi dan semua orang mati-matian mencarinya, dan mereka berhasil mendapatkannya kembali setelah hampir seminggu. Jabang bayi itu ditemukan berada di tengah rerimbunan hutan bambu.
Suatu hari, ketika sedang mencari kayu sendirian, secara kebetulan ia berpapasan dengan gerombolan anak yang selama ini selalu megejeknya. Mereka segera menutup jalan.
Klebat berlari dengan kecepatan tinggi. Sebelas anak ikut melesat, mengejar di belakangnya. Kini ia yakin kalau mereka menginginkan sesuatu darinya. Ia pikir pasti mau merampas bambunya.
"Hei anak Wewe gombel, berhentilah!" teriak seorang anak yang paling besar di sela nafas yang tersengal-sengal, "Kami tidak akan menyakitimu. Berhentilah..!" teriaknya setengah putus asa karena semakin jauh tertinggal.
Klebat mengurangi kecepatan larinya. Di jalan setapak menuju hutan ia berhenti. 'Baik, aku mau lihat apa yang akan mereka lakukan!'