Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (103): Junjung Derajat

4 November 2024   05:39 Diperbarui: 7 November 2024   20:23 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka berturut-turut mengelilingi Klebat, seperti gembala yang menghalau ternaknya memasuki kandang. Mereka semua tampak kelelahan, keringat deras mengucur di wajah dan membasahi baju mereka. Makanya mereka senang tatkala Klebat bersedia berhenti.

Anak bebadan besar berjalan dengan santai, mendekati temannya yang membawa tongkat pemukul yang juga berjalan mendekat ke arahnya. Kedua anak itu tersenyum. Bukan senyum ramah, tapi senyum penuh kesombongan. Mereka semua mengenakan kalung dengan tali dan bandul yang sama, bandul taring anjing. Tampaknya mereka dari sebuah perguruan.

"Mau apa kalian?" tanya Klebat sambil menatap anak yang badannya paling besar. Tampaknya dia pemimpinnya.

Jawabannya adalah pukulan yang mengarah ke dagu. Itu bukan persoalan yang berarti. Klebat berkelit dan mundur memasang sikap waspada. "Hei!" teriak Klebat, "Aku tidak mau berkelahi!"

Si badan besar memberi kode teman-temannya untuk maju. Dua orang lainnya kini maju. Yang satu agak kekar, berambut keriting, dan wajahnya liar seperti anak yang memang gemar berkelahi. Yang satu lagi bermuka gelap, penuh jerawat dan agak gemuk. Si Kekar memutar-mutar tongkat pemukul di tangannya. Si Gendut menyingsingkan lengan bajunya. Kakinya membentuk kuda-kuda dan kedua tangannya dalam keadaan terkepal sangat erat.

Bukan suatu kebetulan apabila anak-anak itu adalah murid-murid perguruan silat yang ada di desa. Mereka biasa berlatih mematahkan benda-benda keras.Rupanya mereka sudah mantap dalam menentukan korban untuk menguji hasil latihan mereka selama ini.

Si Gendut lebih dulu sibuk mengirim pukulan beruntun. Si Kekar terus mendesak dengan ayunan tongkatnya. Kali ini sang ketua dengan nafsunya mengirim tendangan kaki ke arah kepala. Ia sangat beringas dan gerakannya cukup gesit.

Klebat memberikan serangan balasan. Pukulan dan tendangannya tepat mengenai sasaran. Sangat keras. Buktinya mereka bertiga terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh. Mata mereka berkunang-kunang dan tangan mereka memegang dada sambil mengerang kesakitan. Itu cukup membuat anak-anak yang lain ragu untuk menyerang.

Anak ke empat dengan penasaran maju ke depan. Ia lebih hati-hati karena ketiga temannya telah berhasil dijatuhkan. Ia mengerahkan seluruh tenaga. Serangan-serangan yang terlatih menyerbu dengan cepat. Akan tetapi ia kemudian menerima tendangan di kepala dan perutnya. Diiringi jerit kesakitan, ia terjongkok dan muntah. Darah mengucur dari hidungnya.

Klebat masih tampak tenang. Napasnya masih teratur. "Katakan kenapa kalian membenci dan memusuhi aku?"

Si ketua menengok teman-temannya dan memberi isyarat untuk bersama-sama meyerang. Tidak perlu merasa malu untuk mengeroyok. Mereka jelas tidak terima dikalahkan dengan begitu mudah oleh anak kecil. Dengan tertati-tati mereka mencari benda apa saja buat senjata dan menyiapkan sebuah serangan yang tiada ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun