Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (96): Dari Hati Ke Hati

26 Oktober 2024   05:14 Diperbarui: 29 Oktober 2024   03:16 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Salah seorang anak buah Arya Dewandaru disusupkan untuk menjadi karyawan di Padepokan Benteng Nusa. Misi rahasia penyusupan dengan menggunakan orang asli Jombang sendiri.

Namanya adalah Gandung. Lebih mudah lima tahun dibanding Dewan, tapi ia memang pernah mendapat latihan khusus untuk menjadi seorang penyusup. Keahliannya adalah menggali informasi, menciptakan dan memengaruhi opini orang demi kepentingan kelompoknya.

Sejak awal bulan, Gandung yang dijuluki 'Raja Belut' di timnya, berjalan memasuki pintu gerbang Padepokan Benteng Nusa, lalu melamar bekerja sebagai guru pengajar moral dan kepribadian. Lantaran mampu menunjukan berbagai pengalaman yang mengesankan, maka ia diterima bekerja di tempat yang cukup angker bagi mereka yang berniat buruk.

Ramah, suka bergaul, simpatik dan menarik. Itulah Gandung, yang dulu pernah menjadi salah satu anggota penasehat kesultanan Demak. Perjalanannya dari salah satu desa kecil di Jombang sampai ke pusat Pemerintahan Demak sendiri sangat mencengangkan. Tapi kemudian hidupnya berubah selamanya, ketika tertangkap dengan tuduhan sebagai mata-mata Kerajaan Dyah Ranawijaya.

Sebagai agen rahasia, ia berhasil dijebak dan digerebek oleh pasukan intelijen Demak. Pengadilan mengajukan bukti-bukti yang tak terbantahkan bahwa ia telah melakukan serangkaian penyuapan kepada beberapa petinggi kerajaan, sehingga akhirnya bisa duduk di dewan penasehat.

Tertangkapnya Gandung dan jaringannya mendorong Demak melakukan perombakan besar-besaran terhadap pasukan keamanan kesultanan. Gandung dijatuhi hukuman mati, tetapi betapa mengejutkan, beberapa hari sebelum hukuman itu dijalankan, dia telah meloloskan diri dari penjara. Tentu saja semua itu melibatkan jaringannya yang telah menyusup di berbagai lembaga. Itulah kenapa kemudian ia mendapat julukan Si Raja Belut.

Petugas keamanan secepatnya membawa surat perintah penggeledahan di berbagai lokasi yang dicurigai. Walaupun berbagai petunjuk mengarah kepadanya sebagai pemain kunci, namun ia sudah menghilang dari Demak. Mereka tertinggal beberapa langkah. Kisah yang menarik itu tetap terselimuti misteri tak terpecahkan.

Yang membuat pemerintah Demak was-was adalah si mata-mata licin yang menggunakan nama samaran Ghozali itu sudah terlalu sering berada di antara tokoh-tokoh penting kesultanan Demak, termasuk cukup dekat dengan Sultan Trenggana sendiri. Dia dikhawatirkan sudah mengetahui banyak rahasia penting kerajaan. Ini adalah sebuah kisah peringatan tentang keserakahan para pejabat di lingkuangan istana.

Akan tetapi, dalam sidang pengadilan, Gandung alias Ghozali Si Raja Belut itu tetap sulit dipahami. Beberapa saksi menggambarkan kharakternya yang murah hati, penuh belas kasih, religius, dan tampak sebagai seorang yang taat beribadah.

***

Lintang memasang kuda-kuda sembari merentangkan kedua tangan lebar-lebar, wajahnya tegang, sesaat kemudian ia meloncat cepat melancarkan serangan mautnya.

Zulaikah, gadis kecil berambut panjang dikepang dua itu membungkuk, dengan gesit menerobos kuda-kuda seraya menyerang balik dengan kedua telapak tangan memukul pantat ayahnya.

Lintang menangkap angin dan terperosok ke dalam semak-semak. Ketika ia bangun, di mulutnya tampak terselip beberapa helai daun, yang kemudian disemburkan ke udara dengan raut muka jengkel.

Meledaklah suara tawa Zulaikah dan Khadiyah. Mulut berbibir mungil dan merah segar itu mereka tutup dengan tangan. "Nggak kena! Nggak kena!" ejek mereka.

"Huu..!" dengus Lintang sambil berkacak pinggang.

"Huu..!" Kedua gadis kecil itu menirukan juga dengan berkacak pinggang.

"Awas kalian ya!" seru Lintang dan kembali merentangkan kedua tangannya, "Kali ini ayah pasti tidak akan gagal menangkap kalian!"

Kedua pasang mata gadis kecil yang bening itu melebar. Mereka segera berlarian ke sana ke mari sambil cekikikan. "Wek, nggak kena!"

Adegan di halaman rumput depan Puri Naga itu mendatangkan hiburan tersendiri bagi murid-murid padepokan. Mereka menyaksikannya dari tempat agak jauh, sekitar dua puluh meter.

Di antara yang menyaksikan itu ada Gandung, si tilik sandi. Matanya yang tajam menyimak dengan seksama segala gerak-gerik Lintang Kejora. Ia sudah mendengar banyak tentang lelaki muda yang berjuluk Pendekar Pedang Akhirat itu. Cerita tentang bagaimana Lintang mampu menaklukan lima orang pendekar papan atas yang sedang mengeroyoknya, dan itu membuat bulu tengkuknya merinding. Mereka yang tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu pasti sulit mempercayainya, bahkan menganggap itu pasti hanya dongeng.

Kini, adegan di halaman rumput itu membuat Gandung semakin meragukan cerita hebat itu. Ia tersadar dari lamunan saat kedua gadis kecil itu sudah tertangkap dan berada dalam gendongan ayahnya.

"Sekarang waktunya tidur!" kata Lintang sambil membawa dua putrinya yang masih meronta-ronta, menolak untuk tidur siang.

"Ampuuun..! ampuuun..!" rengek mereka dengan suara lucu menggemaskan. "Mas Ghandi tolong..! Ibu tolong..!" pinta mereka begitu melihat kakak dan ibu mereka di teras.

Lintang menurunkan kedua putrinya yang segera berlari menuju ibu mereka, mencari perlindungan. Tapi sebelumnya Khadiyah mengirim tendangan ke kaki ayahnya. Zulaikah yang sudah lari lebih dulu melihat kakaknya, kemudian cepat kembali dan memukul paha ayahnya.

Lintang jingkrak-jingkrak sambil menggosok kaki dan paha bergantian sambil meringis seolah sangat kesakitan. Itu membuat kedua putrinya tertawa terpingkal-pingkal. Mereka menyambung hidungnya yang kecil mancung dengan jari-jari tangan sambil menjulurkan lidah untuk mengejek.

"Huusss...! Nggak boleh begitu sama ayah!" tegur Arum dengan mimik muka serius, "Ayo minta maaf!"

"Habis Ayah nakal!"

"Kalian yang nakal! Ayo minta maaf!" perintah Arum tegas.

Kedua gadis kecil itu berjalan mendekati ayahnya yang sudah lebih dulu jongkok menyambut. Keduanya memeluk sambil mengucapkan permintaan maaf. Lintang menciumi mereka dengan perasaan haru.

"Jangan terlalu memanjakan anak!" sindir Arum sambil menggandeng kedua putrinya masuk.

"Aku berangkat dulu!" bisik Lintang di samping telinga Arum.

"Aku ikut!" teriak Khadiyah.

"Aku juga ikut!" sahut Zulaikah cepat.

"Enak saja aku disuruh tidur," protes Khadiyah, "Tapi ayah mau main!"

"Eh.., Ayah bukan main," jawab Arum, "Tapi ada urusan penting sama Pak De Demang Japa!"

"Pokoknya aku ikut!" kata Khadiyah yang langsung diikuti adiknya.

"Ayah gak jadi keluar!" Akhirnya Lintang mengalah, sambil berlari kecil masuk menuju kamar tidur. "Ayah mau tidur ah..!"

"Ikuuut..!" Dengan riang kedua gadis kecil itu berlari mengejarnya.

***

"Di dalam ajaran Kejawen, leluhur kita memang tidak menggambarkan Tuhan dengan konsep sebagai sosok tinggi besar di atas langit. Bukan sosok yang berperilaku seperti cemburu, iri, gembira, memberi perintah, menghukum dan murka layaknya perilaku manusia!" urai Ki Demang Japa yang sekaligus kyai itu di depan para tamunya.

Saat itu Lintang muncul. Ia mengucapkan salam dan memohon maaf atas keterlambatannya, kemudian dipersilakan duduk di sebelah Ki Demang. Semua mata dalam ruangan itu sekarang ditujukan kepadanya. Apa lagi sikap Lintang yang sangat tenang itu benar-benar memancarkan karisma dan menggetarkan hati.

"Orang Kejawen yang menyebut Tuhan dengan Sang Hyang Hurip atau Sang Maha Hidup itu, mempunyai pandangan yang lebih bersifat abstrak dan universal!" sambung Kyai Japa. "Itulah kenapa di dalam spiritual Jawa tidak ada istilah menyenangkan Tuhan, membela Tuhan, apalagi berperang atas nama Tuhan, karena Tuhan dipahami sebagai sumber dari segala sesuatu, atau disebut 'Sangkan Paraning Dumadi'! Jadi manusialah yang sepenuhnya bergantung kepada Tuhan! Totalitas!"

Suasana cukup hening. "Sementara apabila Tuhan gembira ketika disembah," sambung Kyai Japa, "Dan kemudian murka ketika tidak disembah, bukankah itu artinya Tuhan butuh kepada makhluk. Padahal Tuhan akan tetap maha besar dan maha kuasa sekalipun tidak ada manusia yang menyembahNya. Begitulah konsep Tuhan menurut orang-orang Kejawen!" Kyai Japa sengaja menunjukan pembelaannya kepada kelompok yang selama ini menjadi bahan pelecehan dan penghinaan.

Ustadz Jangkar yang sebetulnya bernama Zulkar itu mengaku utusan dari Demak yang ditugaskan untuk berdakwah di Jombang. Ia dan dua orang murid fanatiknya mengenakan baju gamis dan bersurban. Sementara dua belas orang pengikut barunya masih mengenakan celana dan telanjang dada. Mereka sengaja diundang oleh Kyai Japa selaku demang untuk berdialog karena dakwah mereka seringkali menyebarkan ujaran kebencian, mencaci-maki dan menghina orang-orang Kejawen, dan itu mulai meresahkan masyarakat.

Ki Demang merasa berkewajiban menjaga situasi di wilayah kekuasaannya agar tetap aman. "Spiritual Jawa sangat bisa menghargai dan hidup harmonis dengan agama dan keyakinan orang lain, sebab menganggap bahwa semua bersumber dari Tuhan yang satu, sehingga tidak perlu ada persaingan dan perebutan mengenai keyakinan siapa yang paling benar. Juga tidak pernah mengenal ekspansi ataupun perekrutan pengikut! Oleh karena itu, spiritual Jawa tidak sibuk mengatur tentang perilaku manusia, melainkan berusaha membangkitkan kesadaran manusia! Dengan kesadaran itu, manusia diharapkan akan mampu mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik!"

"Kami wajib untuk menyampaikan firman-firman Allah!" celetuk Ustadz Jangkar sedikit ketus, tampaknya merasa tersindir oleh ucapan Kyai Japa, "Jadi Ki Demang salah apabila mengira kami bersaing dan berebut soal kebenaran! Kami juga tidak berebut pengikut! Ini murni dakwah, dan ini perintah agama!"

"Apakah dakwah harus dengan cara melecehkan, mencaci-maki, merendahkan, dan menghina amalan-amalan kelompok lain?" tanya Kyai Japa datar.

Ustadz Jangkar terdiam.

"Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua, itu merupakan kearifan leluhur bangsa kita yang harus dilestarikan demi terwujudnya Nusantara yang damai. Ucapan salam untuk saling mendoakan dan saling menghormati antar sesama anak bangsa ini pun beragam, boleh menggunakan bahasa daerah, jadi tidak harus dengan bahasa Arab. Nah, bagaimana menurut ustadz mengenai ini?"

"Anda salah. Mengucapkan salam bagi umat Islam wajib dengan bahasa Arab!" jawab Ustadz Jangkar singkat.

"An nawawi dalam majmu' menyatakan, bahkan sahnya salam yang benar itu dengan bahasa lokal, karena yang lebih penting itu mengandung penghormatan dan doa. Orang yang tidak mampu mengucapkan salam dengan semestinya, maka ia boleh mengucapkan semampunya, ini menurut kesepakatan para ulama. Jadi tidak harus dengan bahasa Arab. Bukankah fiqih juga mempertimbangkan unsur kemanusiaan? Makanya kita jangan sampai melecehkan ucapan salam cara adat Jawa, karena akan menimbulkan keresahan di masyarakat!"

Ki Prana dari pihak Kejawen menyahut, "Maaf, mohon ijin Kyai Demang. Kami tidak hanya dilecehkan, dicaci-maki, bahkan difitnah, itu soal kecil, akan tetapi yang lebih merisaukan adalah ada upaya dari mereka untuk menghilangkan tradisi dan budaya kami 'Si Tuan Rumah'. Kami dianggap sesat dan kafir, sehingga layak untuk dibasmi. Itulah yang membuat kami terpaksa harus siap siaga membela diri jika nanti terpaksa!"

"Tujuan saya mengundang kalian semua adalah untuk mencari jalan keluar agar tidak sampai terjadi konflik, apalagi sampai menjurus ke fisik. Jangan sampai itu terjadi!" papar Kyai Japa penuh wibawa. "Rakyat selama ini sudah menderita karena perang saudara! Jadi mari kita sama-sama menjaga situasi agar tetap damai!"

Ustadz Jangkar dan murid-muridnya memang begitu semangat berdakwah. Mereka semakin antusias dan semakin berani menghujat kelompok-kelompok di luar mereka setelah mendapat dukungan dari Ki Wiryo.

Ki Wiryo rupanya melihat potensi dari Ustadz Jangkar yang bisa digunakan untuk menghantam musuh-musuhnya, khususnya Kyai Japa dan Padepokan Benteng Nusa. Islam harus dilawan dengan Islam, begitu pikirnya. Ia memegang prinsip, 'Musuhnya musuh adalah kawan kita'. Bahkan ia memelopori menggalang dana untuk membangunkan masjid buat kelompok Ustadz Jangkar.

Ustadz Jangkar adalah pemuda yang berwajah keras dan tegas gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan tatapan matanya tajam, namun Lintang yang berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik wajah dan senyum menarik itu, sesuatu yang belum bisa ia mengerti apa adanya akan tetapi membuat ia harus waspada. Pemuda asing itu seperti ular Sanca, yang menyembunyikan ancaman di balik keindahan kulitnya.

"Lalu mengenai kain penutup kepala orang Jawa yang kalian tuding mencontoh budaya kalian, itu sama sekali tidak benar!" kata Cak Japa dan disusul penjelasan mengenai itu.

Sejak zaman dahulu kala, di awal terbentuknya kebudayaan Jawa, orang-orang Jawa sudah biasa memakai penutup kepala dari lilitan kain. Ini tercantum dalam legenda Aji Saka.

Ketika Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, raksasa penguasa tanah Jawa, ia kemudian melepas kain penutup kepala dan membentangkannya. Lebar kain penutup kepala itu akan menentukan luas tanah yang akan dikuasai oleh Aji Saka, dan ternyata lebarnya menutupi seluruh tanah Jawa. Maka Dewata Cengkar terdesak hingga terpaksa keluar Jawa.

Orang-orang jaman dulu biasa memiliki rambut panjang. Untuk merapikannya, sebagian digelung, dan sebagian lagi ditutup dengan kain pengikat. Mondolan atau bentuk bulat yang ada di belakang blangkon merupakan wujud gelungan rambut.

"Ki Demang, dakwah itu perintah agama!" kata Ustadz Jangkar, "Saya berkewajiban menyampaikan bahwa kesyirikan dan kemusrikan memang harus dibasmi. Segala bid'ah, khurofat dan tahayul itu harus diberantas. Jika dengan menyampaikan dakwah kemudian kami dimusuhi dan diperangi, itu hal yang sudah menjadi resiko yang harus kami terima, tapi jangan harap kami akan mundur! Demi tegaknya agama, kami tidak akan pernah mundur sejengkal pun!"

"Pak Ustadz yang saya hormati!" sambung Kyai Japa lagi, "Spiritual Jawa tidak pernah menciptakan dan menebarkan ketakutan, ancaman atau pun terror, yang ada hanya menebarkan 'welas asih', sebagaimana sifat Rasulullah, sebagai pengejawantaan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim Tuhan, karena itulah inti dan hakikat dari ajaran agama yang sejati! Saya yakin, spiritual Kejawen tidak akan pernah memusuhi, apalagi memerangi!"

"Tapi buktinya orang-orang Kejawen ke mana-mana selalu menenteng keris?" bantah Ustadz Jangkar.

"Sebetulnya hanya orang-orang pengecut yang ke mana-mana selalu menenteng senjata!" kata Cak Japa, "Apalagi menonjol-nonjolkan dan memamerkan senjata!"

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, mereka tidak selalu membawa keris, apalagi jika situasi kerajaan sedang berada pada kondisi damai. Dalam upacara adat atau acara resmi, keris pun diselipkan di belakang punggung, demi menghormati dan menghilangkan ancaman kepada orang lain. Masyarakat Jawa yang memang menjunjung tinggi sopan santun merasa malu jika menonjolkan kesaktian atau kehebatan ilmunya, termasuk malu menonjolkan senjatanya.

Apabila berada pada situasi perang, baru keris dan senjata lainnya ditempatkan di pinggang depan, bahkan bisa dalam keadaan terhunus. Membawa keris di depan berarti sudah siap bertempur sampai mati.

Ustadz Jangkar dan murid-muridnya hanya mampu menundukan kepala.

"Coba kita perhatikan dakwahnya para walisanga yang sudah jelas sukses luar biasa menyebarkan Islam di Jawa, itu karena mereka bersikap 'lembah manah' dan penuh dengan 'welas asih'! Kita harus mengakui bahwa model dakwah mereka itulah yang sesuai dengan ajaran Islam, ajaran Baginda Rasulullah!"

Ucapan itu sangat berwibawa dan sama sekali tidak mengandung kebencian, akan tetapi cukup menusuk jantung ke dua belas murid yang asli pemuda dusun itu. Memang pemuda dusun jauh berbeda dengan pemuda kota. Mereka belum terlalu keracunan hal-hal yang bersifat keduniawian, hatinya masih cukup bersih dan mudah menerima kebenaran yang langsung menyentuh perasaan. Oleh karena itu, ucapan Kyai Japa membuat mereka terdiam. Malah di antara mereka mulai saling tukar pandangan sambil mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda setuju. Sesuatu yang bersumber dari hati akan berlabuh ke hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun