Suasana cukup hening. "Sementara apabila Tuhan gembira ketika disembah," sambung Kyai Japa, "Dan kemudian murka ketika tidak disembah, bukankah itu artinya Tuhan butuh kepada makhluk. Padahal Tuhan akan tetap maha besar dan maha kuasa sekalipun tidak ada manusia yang menyembahNya. Begitulah konsep Tuhan menurut orang-orang Kejawen!" Kyai Japa sengaja menunjukan pembelaannya kepada kelompok yang selama ini menjadi bahan pelecehan dan penghinaan.
Ustadz Jangkar yang sebetulnya bernama Zulkar itu mengaku utusan dari Demak yang ditugaskan untuk berdakwah di Jombang. Ia dan dua orang murid fanatiknya mengenakan baju gamis dan bersurban. Sementara dua belas orang pengikut barunya masih mengenakan celana dan telanjang dada. Mereka sengaja diundang oleh Kyai Japa selaku demang untuk berdialog karena dakwah mereka seringkali menyebarkan ujaran kebencian, mencaci-maki dan menghina orang-orang Kejawen, dan itu mulai meresahkan masyarakat.
Ki Demang merasa berkewajiban menjaga situasi di wilayah kekuasaannya agar tetap aman. "Spiritual Jawa sangat bisa menghargai dan hidup harmonis dengan agama dan keyakinan orang lain, sebab menganggap bahwa semua bersumber dari Tuhan yang satu, sehingga tidak perlu ada persaingan dan perebutan mengenai keyakinan siapa yang paling benar. Juga tidak pernah mengenal ekspansi ataupun perekrutan pengikut! Oleh karena itu, spiritual Jawa tidak sibuk mengatur tentang perilaku manusia, melainkan berusaha membangkitkan kesadaran manusia! Dengan kesadaran itu, manusia diharapkan akan mampu mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik!"
"Kami wajib untuk menyampaikan firman-firman Allah!" celetuk Ustadz Jangkar sedikit ketus, tampaknya merasa tersindir oleh ucapan Kyai Japa, "Jadi Ki Demang salah apabila mengira kami bersaing dan berebut soal kebenaran! Kami juga tidak berebut pengikut! Ini murni dakwah, dan ini perintah agama!"
"Apakah dakwah harus dengan cara melecehkan, mencaci-maki, merendahkan, dan menghina amalan-amalan kelompok lain?" tanya Kyai Japa datar.
Ustadz Jangkar terdiam.
"Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang mendua, itu merupakan kearifan leluhur bangsa kita yang harus dilestarikan demi terwujudnya Nusantara yang damai. Ucapan salam untuk saling mendoakan dan saling menghormati antar sesama anak bangsa ini pun beragam, boleh menggunakan bahasa daerah, jadi tidak harus dengan bahasa Arab. Nah, bagaimana menurut ustadz mengenai ini?"
"Anda salah. Mengucapkan salam bagi umat Islam wajib dengan bahasa Arab!" jawab Ustadz Jangkar singkat.
"An nawawi dalam majmu' menyatakan, bahkan sahnya salam yang benar itu dengan bahasa lokal, karena yang lebih penting itu mengandung penghormatan dan doa. Orang yang tidak mampu mengucapkan salam dengan semestinya, maka ia boleh mengucapkan semampunya, ini menurut kesepakatan para ulama. Jadi tidak harus dengan bahasa Arab. Bukankah fiqih juga mempertimbangkan unsur kemanusiaan? Makanya kita jangan sampai melecehkan ucapan salam cara adat Jawa, karena akan menimbulkan keresahan di masyarakat!"
Ki Prana dari pihak Kejawen menyahut, "Maaf, mohon ijin Kyai Demang. Kami tidak hanya dilecehkan, dicaci-maki, bahkan difitnah, itu soal kecil, akan tetapi yang lebih merisaukan adalah ada upaya dari mereka untuk menghilangkan tradisi dan budaya kami 'Si Tuan Rumah'. Kami dianggap sesat dan kafir, sehingga layak untuk dibasmi. Itulah yang membuat kami terpaksa harus siap siaga membela diri jika nanti terpaksa!"
"Tujuan saya mengundang kalian semua adalah untuk mencari jalan keluar agar tidak sampai terjadi konflik, apalagi sampai menjurus ke fisik. Jangan sampai itu terjadi!" papar Kyai Japa penuh wibawa. "Rakyat selama ini sudah menderita karena perang saudara! Jadi mari kita sama-sama menjaga situasi agar tetap damai!"