Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (96): Dari Hati Ke Hati

26 Oktober 2024   05:14 Diperbarui: 29 Oktober 2024   03:16 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Ustadz Jangkar dan murid-muridnya memang begitu semangat berdakwah. Mereka semakin antusias dan semakin berani menghujat kelompok-kelompok di luar mereka setelah mendapat dukungan dari Ki Wiryo.

Ki Wiryo rupanya melihat potensi dari Ustadz Jangkar yang bisa digunakan untuk menghantam musuh-musuhnya, khususnya Kyai Japa dan Padepokan Benteng Nusa. Islam harus dilawan dengan Islam, begitu pikirnya. Ia memegang prinsip, 'Musuhnya musuh adalah kawan kita'. Bahkan ia memelopori menggalang dana untuk membangunkan masjid buat kelompok Ustadz Jangkar.

Ustadz Jangkar adalah pemuda yang berwajah keras dan tegas gerak-geriknya. Senyumnya menarik dan tatapan matanya tajam, namun Lintang yang berperasaan halus dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan di balik wajah dan senyum menarik itu, sesuatu yang belum bisa ia mengerti apa adanya akan tetapi membuat ia harus waspada. Pemuda asing itu seperti ular Sanca, yang menyembunyikan ancaman di balik keindahan kulitnya.

"Lalu mengenai kain penutup kepala orang Jawa yang kalian tuding mencontoh budaya kalian, itu sama sekali tidak benar!" kata Cak Japa dan disusul penjelasan mengenai itu.

Sejak zaman dahulu kala, di awal terbentuknya kebudayaan Jawa, orang-orang Jawa sudah biasa memakai penutup kepala dari lilitan kain. Ini tercantum dalam legenda Aji Saka.

Ketika Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, raksasa penguasa tanah Jawa, ia kemudian melepas kain penutup kepala dan membentangkannya. Lebar kain penutup kepala itu akan menentukan luas tanah yang akan dikuasai oleh Aji Saka, dan ternyata lebarnya menutupi seluruh tanah Jawa. Maka Dewata Cengkar terdesak hingga terpaksa keluar Jawa.

Orang-orang jaman dulu biasa memiliki rambut panjang. Untuk merapikannya, sebagian digelung, dan sebagian lagi ditutup dengan kain pengikat. Mondolan atau bentuk bulat yang ada di belakang blangkon merupakan wujud gelungan rambut.

"Ki Demang, dakwah itu perintah agama!" kata Ustadz Jangkar, "Saya berkewajiban menyampaikan bahwa kesyirikan dan kemusrikan memang harus dibasmi. Segala bid'ah, khurofat dan tahayul itu harus diberantas. Jika dengan menyampaikan dakwah kemudian kami dimusuhi dan diperangi, itu hal yang sudah menjadi resiko yang harus kami terima, tapi jangan harap kami akan mundur! Demi tegaknya agama, kami tidak akan pernah mundur sejengkal pun!"

"Pak Ustadz yang saya hormati!" sambung Kyai Japa lagi, "Spiritual Jawa tidak pernah menciptakan dan menebarkan ketakutan, ancaman atau pun terror, yang ada hanya menebarkan 'welas asih', sebagaimana sifat Rasulullah, sebagai pengejawantaan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim Tuhan, karena itulah inti dan hakikat dari ajaran agama yang sejati! Saya yakin, spiritual Kejawen tidak akan pernah memusuhi, apalagi memerangi!"

"Tapi buktinya orang-orang Kejawen ke mana-mana selalu menenteng keris?" bantah Ustadz Jangkar.

"Sebetulnya hanya orang-orang pengecut yang ke mana-mana selalu menenteng senjata!" kata Cak Japa, "Apalagi menonjol-nonjolkan dan memamerkan senjata!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun