Oleh: Tri Handoyo
Semilir angin menyelinap melalui cela kelambu jendela yang terbuka. Sorot cahaya rembulan yang turut menerobos jatuh di ujung ranjang. Malam yang cukup menyenangkan. Begitu damai.
Arum tengah rebah di samping tubuh Lintang, di balik selimut yang hangat. Mereka berdua baru saja mengarungi badai percintaan yang dasyat, dan setelah hampir setengah jam, sisa-sisa badai kenikmatan itu masih menjalari seluruh tubuh mereka.
"Dinda, kamu ingin anak kita nanti laki-laki atau perempuan?" tanya Lintang sambil mengelus-elus perut istrinya yang tampak semakin besar.
"Kalau diijinkan, aku pingin punya anak kembar!" jawab Arum sambil memalingkan mukanya menghadap Lintang. Tersungging senyum manis yang menghiasi wajah ayunya.
"Ah, aku kasihan kalau nanti kamu sibuk menyususi keduanya!"
"Gak apa-apa, jangan iri, nanti sekalian bertiga sama bapaknya!" goda Arum, "Paling nanti bapaknya yang paling rakus!"
"Ha..ha..ha..!" Bisik Lintang tepat di samping telinga Arum, "Dinda, senyum manismu seikhlas mentari. Lembut suaramu sejujur angin. Kerling matamu begitu menghanyutkan. Setiap kata yang terucap dari bibirmu bagaikan nyanyian yang memabukan. Tak pernah sekali pun aku mau kehilangan kamu, meski sesulit apapun keadaannya!"
Kendati itu sudah sering diulang-ulang, Arum tetap senang mendengar pujian itu. "Meski sesulit apapun keadaannya!" ucap Arum berbarengan dengan ucapan Lintang. Ia hafal sekali.
Mereka berdua kemudian tertawa. Mereka sebetulnya sadar bahwa batalnya pernikahan antara Ayu Lastri dan putera Ki Demang telah menimbulkan permusuhan serius di antara kedua padepokan. Bara api dendam kubu Ki Demang tinggal menunggu waktu, entah kapan pelampiasannya akan dilakukan, tapi itu pasti. Sebetulnya yang lebih patut dikhawatirkan adalah soal pembalasan dendam dari Ki Kalong Wesi dan Si Iblis Betina, namun Lintang sengaja tidak berniat membahas soal itu.
***
Belakangan beredar kabar bahwa ribuan pasukan Demak mulai bergerak untuk menggempur kerajaan Majapahit di bawah Prabu Dyah Ranawijaya. Selama masa kekuasaan Sultan Trenggana, Demak merupakan pusat penyebaran agama Islam dan memegang peranan lebih menonjol dalam bidang politik dan perdagangan. Pada saat itu, hubungan perdagangan antara Demak dan Malaka terganggu sejak Portugis berhasil berkuasa di sana.
Diam-diam Dyah Ranawijaya bekerja sama dengan Portugis, sehingga bangsa asing itu semakin brutal menyerang pusat-pusat kedudukan Islam untuk merebut dan menguasai perdagangan. Aktivitas pelayaran pedagang dari Demak ke Malaka lumpuh total.
Sultan Trenggana atau dikenal bernama Maulana Trenggana, mengambil keputusan berani untuk menaklukan Dyah Ranawijaya, yang dulu menggulingkan Raja Brawijaya V yang merupakan kakek Sultan Trenggana.
Ketika fajar menyingsing, tersiar kabar bahwa pasukan Demak telah sampai di tapal batas kotaraja Daha. Peperangan hebat antara kedua pasukan pun tak terelakan. Pasukan berkuda dari Demak sempat berhasil digempur mundur, dan bahkan balik dikejar oleh pasukan Daha. Namun ada dua kelompok besar pasukan Demak lainnya, yang mendobrak dari dua arah berbeda secara cepat dan ganas. Pasukan berkuda Demak ternyata sengaja digunakan untuk memancing keluar pasukan Daha, sehingga pertahanan kotaraja sedikit longgar dan akhirnya menjadi berantakan.
Peperangan antara pendukung Daha dan pendukung Demak pun pecah, menyebar di berbagai wilayah. Pagi itu juga, Ki Demang Wiryo dan organisasi Persaudaraan Pendekar Pribumi, yang merupakan pendukung Daha, mengambil keputusan untuk menyerbu Padepokan Benteng Nusa.
Lintang berpesan kepada istrinya di depan pintu puri, "Dinda, percayakan kepadaku! Jangan sampai kamu melibatkan diri, apapun yang terjadi! Ingat kandunganmu!"
Arum mengangguk dengan cemas. Di tangan kanannya tergenggam erat Pedang Naga Nusantara. Lastri berdiri di samping Arum, untuk menjaganya secara khusus.
Ki Demang Wiryo dan putranya, Warsito, memimpin langsung penyerbuan itu. Di sebelah mereka berbaris Ki Kalong Wesi, Si Iblis Betina, Pendekar Cebol, Ki Bajul Brantas, Pendekar Golok Maut dan Ki Birawa Rajawali Sakti.
Murid-murid Benteng Nusa cukup kewalahan menghadapi penyerbu yang berjumlah jauh lebih banyak. Mereka bertempur mati-matian untuk mempertahankan setiap jengkal tanah padepokan yang mereka pijak.
Lastri meminta ijin kepada Arum untuk ikut terjun ke arena pertempuran. Namanya sebagai pendekar wanita belakangan menjadi sangat terkenal di dunia persilatan, dan berhasil menduduki posisi terhormat di samping Arum Naga dan Roro Ajeng.
Mahesa dikepung sedikitnya sepuluh orang, maka Lastri memilih terjun membantu suaminya. Akan tetapi, Si Iblis Betina melihat itu dan mendadak sebuah sodokan tongkat mautnya tepat mengenai kaki kiri Lastri, membuat gadis itu terguling roboh. Lastri berusaha bangun, tapi tidak mampu karena urat di dekat lututnya terluka cukup hebat. Oleh karena kakinya lumpuh, maka terpaksa sambil duduk Lastri menahan datangnya senjata dengan memutar pedangnya secara luar biasa sekali. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu tentu saja dia tidak mampu melawan lima pedang dan sebuah tongkat yang seakan-akan berlomba hendak berebut duluan mencabut nyawanya. Pundaknya kini kena serempet tongkat Si Iblis Betina, membuat lengan kirinya juga lumpuh.
Pada saat itu terdengar teriakan menyeramkan. Mahesa tahu-tahu sudah melindungi Lastri, dan langsung memondong istrinya sambil memutar-mutar pedangnya menangkis gempuran para pengeroyok. Lastri yang dipondong juga masih mengayunkan pedangnya untuk menangkis hujan senjata.
"Kalian orang-orang tidak tahu malu!" seru Lintang dan cepat menggerakkan pedang menangkis tongkat Si Iblis Betina yang hampir mengenai kepala Lastri.
"Terima kasih, Guru!" teriak Lastri, pipinya basah oleh beberapa butir air mata yang menetes.
"Ha..ha..ha..! Akhirnya kamu turun tangan juga Lintang!" Ki Kalong Wesi mengejek dan bersama yang lain-lain mereka lalu menerjang ke arah Lintang.
Teriakan melengking yang tinggi dan nyaring mengiringi berbagai senjata yang mengurung Lintang.
Menyaksikan itu Arum menjerit dan menggenggam gagang senjatanya kuat-kuat. Tapi ia ingat pesan suaminya. Pada waktu itu, Ki Kalong Wesi, Si Iblis Betina, Ki Bajul Brantas, Pendekar Golok Maut dan Pendekar Cebol yang telah menjadi marah sekali menerjang Lintang dari berbagai arah.
"Cak Mahes, terima kasih..! Â Aku rela mati meski...," kata Lastri, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan ia pingsan dalam pondongan suaminya.
"Mahes, bahwa Lastri mundur!" Arum berteriak lantang dari atas anak tangga puri.
Betapa pun hebatnya Lintang, menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh itu ia cukup repot sekali. Apa lagi ia harus melindungi Mahesa yang memondong Lastri agar bisa keluar dari kepungan. Ketika ia menangkis sambaran tongkat Si Iblis Betina, ia juga harus dapat menghindar dari dua cakaran maut yang dilakukan oleh Ki Kalong Wesi.
"Berani kau menerima golok mautku ini?" Tiba-tiba Pendekar Golok Maut meloncat maju dan sekuat tenaga membacok leher.
Lintang menangkis tepat di dekat leher. Hebat sekali pertemuan dua senjata kedua orang sakti itu, akan tetapi akibatnya Pendekar Golok Maut terdorong mundur lima langkah, sedangkan tubuh Lintang tak bergoyang sedikitpun.
Kaget bukan main Pendekar Golok Maut karena golok di tangannya nyaris terlepas. "Jangan takabur dulu, anak muda, aku tidak pernah kenal takut!" serunya memuji diri sendiri sambil menerjang kembali dengan jurus-jurus hebat.
Sementara itu, melihat betapa Lintang kerepotan dikeroyok dan sekarang Ki Birawa juga ikut mengepung, Mahesa mengeluarkan teriakan keras, dengan marah sekali ia menyerbu Ki Birawa.
Makin hebatlah pertempuran itu. Akan tetapi, Ki Kalong Wesi dan kawan-kawannya perlahan-lahan terdesak oleh Lintang yang luar biasa. Sementara Mahesa juga mampu mengimbangi Ki Birawa.
Permainan pedang Lintang yang dikenal sebagai ilmu pedang akhirat, hebat bukan main dan mempunyai daya serang yang mengandung tenaga dalam tinggi. Mahesa juga cukup tangguh, namun menghadapi Ki Birawa, dia hanya kalah pengalaman dan kalah tenaga. Biar pun telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja ia belum bisa mengalahkannya.
Warsito Kertosastro, putra Ki Demang, meloncat dari kudanya dan serta merta menerjang Mahesa. Ia sangat benci dengan pemuda yang dianggap telah merebut tunangannya. Agaknya putra Ki Demang itu ingin mencapai kemenangan dalam waktu singkat, karena begitu menerjang dia telah menggunakan ilmu silatnya yang paling diandalkan dan yang membuat dia dijuluki Si Cakar Macan.
Ilmu silat ini dimainkan dengan kedua tangan terbuka, dan jari-jari tangan dipergunakan untuk mencengkeram sedangkan pukulan dilakukan oleh pangkal tangan. Disertai tenaga dalam yang kuat, ilmu itu memang cukup berbahaya.
Setelah mengelak dan menangkis beberapa belas jurus lamanya, Mahesa yang menghadapi Ki Birawa dan Warsito mulai mencari kesempatan. Pada waktu dia mengelak dari cengkeraman tangan kanan Warsito, saat itulah Mahesa dengan cepat memukul ke depan, tepat pada siku Warsito, mengarah ke jalan darah pada sambungan siku.
"Aah...!" jerit Warsito seraya terhuyung mundur, mukanya pucat dan tangan kanannya memegangi siku kanan yang terlepas sambungannya.
Melihat itu, Ki Demang yang sudah dari tadi berdiri tidak jauh dari putranya, langsung ikut mengeroyok Mahesa. Sambil mengeluarkan teriakan keras ia menyerang dengan pedang menusuk dada.
Mahesa cepat mengelak sedangkan pedangnya sendiri lalu menukik dari atas kiri menusuk pundak lawan. Ki Demang terkejut dan maklum bahwa lawannya ini walau pun masih muda ternyata mempunyai ilmu pedang yang aneh namun berbahaya sekali.
Ki Birawa yang bertempur dengan sangat hati-hati menjadi semakin geram karena sejak tadi belum pernah sekali pun serangannya berhasil mengenai sasaran.
"Aku harus menebus kematian orang-orangku!" berkali-kali Ki Demang berteriak keras sambil mendesak Mahesa dengan pedangnya. "Ini untuk Panji," teriaknya seiring ayunan pedang, "Ini untuk Saidi, kamu kan yang bunuh mereka? Kamu juga kan yang bunuh Pendekar Jeliteng?"
Sementara itu, Si Iblis Betina tertawa terkekeh-kekeh, sambil mengepung Lintang bersama empat orang lainnya, ia sempat berkata, "Lintang, kau bocah durhaka, tidak ingatkah kau bahwa aku inilah ibu yang dulu dengan susah payah membersarkanmu!"
"Anak durhaka, tidak tahu balas budi!" timpal Pendekar Cebol, "Kau harus dibikin mampus!"
"Anak durhaka pasti akan kualat!" imbuh Si Iblis Betina.
Darah Lintang semakin mendidih mendengar itu, dan ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menikam perempuan yang dibencinya itu. Di situlah kesalahannya. Sebagai orang berjiwa muda, tentu saja ia berdarah panas. Ia tidak tahu akan siasat lawan yang jauh lebih berpengalaman dan yang terkenal sebagai pendekar jahat penuh tipu muslihat.
Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, mengumbar amarah merupakan pantangan besar. Dalam bertarung, apa lagi kalau menghadapi lawan berat, sekali-kali tidak boleh disertai kemarahan, karena itu akan menyesakkan dada serta mengurangi konsentrasi, dan akhirnya kewaspadaannya akan berkurang dan daya serangnya akan lemah.
Kini Lintang menerjang dengan nekat, mendesak Si Iblis Betina. Akan tetapi Nenek Iblis itu sengaja mundur karena ia sengaja memancing agar lawannya itu makin bernafsu hingga akan terbuka kesempatan bagi teman-temannya untuk merobohkan pemuda sakti itu.
Arum yang tidak sedikitpun melepaskan pandangannya dari suaminya, mendongkol sekali mendengar Si Iblis Betina mengaku sebagai ibu yang membesarkan Lintang. Tentu saja ia balas memaki, "Rupanya inilah perempuan terkutuk yang tidak tahu malu, menculik seorang anak lalu mengaku sebagai ibunya! Iblis Betina, orang macam kamu hanya akan mengotori dunia saja!"
Si Iblis Betina tidak menjawab, namun melengking keras dan tahu-tahu dia terbang untuk melancarkan serangan dengan tongkatnya ke arah Arum. Hebat sekali serangan itu.
Arum yang dijuluki Pendekar Naga Jelita itu berseru kaget dan cepat menangkis dengan pedangnya sambil melompat mundur. Si Iblis Betina pun maklum bahwa kepandaian Arum tidak boleh dipandang sebelah mata. Maka ia tidak mau bicara lagi, segera kedua tangannya bergerak, tongkatnya sudah menyambar-nyambar mencari sasaran.
"Hei Iblis pengecut, beraninya kamu menyerang wanita hamil?" teriak Lintang. Ia hendak membantu istrinya. Akan tetapi, ia ditahan oleh Ki Kalong Wesi, Pendekar Cebol, serta pendekar dari perguruan Golok Terbang.
Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring. Seorang wanita yang bergerak laksana kilat, dengan pedangnya menyambar Si Iblis Betina. Nenek jahat yang diserang oleh wanita itu sangat kaget dan menangkis dengan tongkatnya. Pedang wanita itu tertangkis, menyeleweng ke samping, akan tetapi ujung lengan baju nenek iblis itu robek.
"Iblis tua pengecut!" Wanita itu berteriak sambil terus menyerang. Wanita ini bukan lain adalah Ayu Lastri yang telah siuman.
"Lastri!" seru Arum gembira.
"Jangan kuatir, Mbak, aku bantu menyingkirkan iblis ini!"
Tanpa memberi ampun, Si Iblis Betina yang serangan tongkatnya sudah ditangkis Arum dan kini mendapat serangan dari Lastri, langsung menerjang dengan penuh kebencian, karena itu gerakan tongkatnya mengamuk luar biasa, cepat dan penuh tenaga dalam. Ia takjub bagimana Lastri bisa kembali pulih dari cedera yang tadi dideritanya.
Dengan mengandalkan ketinggian tenaga dalamnya, Nenek Iblis itu ingin membuat pedang di tangan Lastri terlepas. Namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pedang Arum dengan cepat melejit ke atas dan melewati tongkatnya terus menusuk ke arah lehernya.
'Celaka...!' Si Iblis Betina segera membuang diri ke belakang dan terus bergulingan di atas anak tangga menghindarkan diri. Ia tidak mengira bahwa wanita hamil itu masih demikian lincah dan ilmu pedangnya cukup berbahaya.
Setelah berhasil meloncat bangun, Si Iblis Betina menghadapi penyerangan dua wanita muda itu dengan hati-hati sekali, menggunakan seluruh tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Namun hatinya kecut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa makin lama pedang kedua wanita itu semakin kuat mendesaknya.
Nenek Iblis itu mulai menyesal. Tadinya dia menganggap dirinya sudah yakin menang, karena dia tahu bahwa Arum Naga sedang hamil besar. Siapa kira, dia akan menghadapi dua pendekar wanita yang ternyata sangat tangguh.
Desakan itu membuat Si Iblis Betina menjadi sangat marah sehingga dia pun berbuat nekat. Sambil berteriak nyaring, dia menangkis pedang dengan tongkatnya, lalu tangan kirinya secepat kilat berusaha mencengkeram ke arah leher Lastri dan ayunan tongkatnya memukul kepala Arum.
Arum menggeser kaki, miringkan tubuh dan membiarkan tongkat lewat di sampingnya, lalu dengan gerakan tak terduga-duga pedangnya menyambar dan terdengar seperti orang membacok kayu ketika pedangnya membabat putus pergelangan tangan yang memegang tongkat keemasan itu. "Kaulah yang kualat, perempuan keparat!"
Sementara tangan kiri Nenek Iblis yang hendak mencengkeram leher Ajeng juga berhasil dihadang dengan pedang, sehingga telapak tangan itu terbelah. Kedua luka itu mengucurkan darah cukup deras.
Si Iblis Betina menjerit sambil bergulingan di tangga, menghindarkan bacokan dan tusukan pedang. Pada saat ujung pedang Lastri menembus baju lalu mengenai dada, Arum menahan sebuah sabetan ke arah leher yang sedianya akan menamatkan riwayat Si Iblis Betina itu, sebagai gantinya kakinya menendang dengan kuat. Tubuh nenek iblis terlempar, terbanting di atas tanah, lalu dengan merangkak berusaha bangkit dari tempatnya.
Kebetulan sekali tubuh Si Iblis Betina itu terlempar ke arah Lintang, yang sedang mendesak musuh-musuhnya. Melihat musuh yang tadi membuat wanita yang tengah mengandung anaknya terancam, Lintang menggunakan kesempatan itu untuk mengayunkan kaki kanannya, menendang tubuh iblis tua yang sekarat itu. "Kualatlah kau perempuan keparat!"
Tubuh tanpa lengan yang berlumuran darah itu kini terlempar tinggi di udara, dan jatuh tepat di depan Ki Kalong Wesi. Tubuh itu kini dalam keadaan sudah menjadi mayat. Kualat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H