"Aku.., aku bahagia sekali, tapi..!"
"Cak, kamu harus bertanggungjawab, kamu harus menikahiku secepatnya. Kapan?"
Bukan main gadis ini, pikir Mahesa. Pertanyaan itu seperti todongan pedang tajam di depan ulu hatinya. Ia menggigit bibir, kemudian menekan debar jantungnya dan menjawab, dengan sungguh-sungguh, "Sejak kita bertemu pertama kali dulu, dan kau... aku... ahh, sejak itu aku.., aku sudah jatuh cinta kepadamu. Kuanggap kamu sebagai gadis yang luar biasa, entah mengapa, rasa cinta memenuhi hatiku. Sejak saat itu, aku sangat ingin menikahimu! Tapi takdir bicara lain! Rasanya aku tidak mungkin bisa memilikimu!"
Bulan bersembunyi di balik awan sehingga Mahesa tidak melihat betapa mata gadis itu menjadi basah oleh air mata, tapi mulutnya mencoba tersenyum. "Cak Mahes, katakan terus terang, apakah kamu akan memilih menikahiku seperti yang kamu ikrarkan, atau melanggar ikrar dan memulangkan aku ke padepokan?"
"Ahh, maafkan aku, yang berani begitu kurang ajar merebutmu dari tangan seorang bangsawan? Mana mungkin aku berani bersaing dengan dia? Dia adalah putera orang nomor satu di kademangan, memiliki kepandaian tinggi, tampan, dan kaya raya, sedangkan aku..?"
"Kamu seorang pemuda yang baik, Cak Mahes. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan orang seperti kamu. Kamu hebat, mengagumkan dan mempesona hatiku dan aku.., aku sangat mencintaimu!"
"Sstttt...!" Tiba-tiba Mahesa berdiri dan menoleh. Lastri juga menoleh dan masih sempat melihat bayangan orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.
"Ada orang...," bisik Mahesa. "Lastri, istirahatlah, biarlah besok kita sambung lagi, masih banyak waktu untuk membicarakan persoalan tadi. Aku akan berjaga-jaga di sini!"
Lastri mengangguk. "Dan.., Cak, apakah kamu masih tetap bersikeras mau mengembalikan aku ke padepokan?"
"Tidak tahu, tidak untuk saat ini!" kata Mahesa.
"Untuk selamanya?" desak Lastri.