Setelah lama tidak kembali, Lastri menyusul turun. Ia melihat Mahesa duduk termenung pada sebuah batu di dekat rumah pohon. Lastri meraih tangan Mahesa dan menggenggamnya, "Asalkan ada Cak Mahes di sampingku, di mana pun aku akan merasa senang! Aku tidak akan pernah merasa menderita!"
"Tapi aku yang tidak sanggup melihatmu seperti ini. Padahal kamu punya masa depan yang baik dan bisa hidup serba kecukupan! Aku malu!"
"Jangan bilang begitu." Lastri mempererat genggaman tangannya. "Cak, seharusnya aku yang malu kepadamu, karena aku yang telah banyak menyusahkanmu!"
"Tidak! Akulah yang tidak tahu diri, yang berani kurang ajar membawa lari calon istri orang?"
"Ini kemauanku juga!"
"Lastri, besok pagi, kita kembali ke Jombang. Aku akan mengembalikanmu ke padepokan!"
"Apa?" Lastri melepaskan pegangannya, lalu berkata dengan lembut, "Tapi kamu pernah mengucapkan ikrar takkan pernah meninggalkanku!"
"Lastri, guru kita sudah menerima lamaran itu. Apa yang kita lakukan ini telah mengkhianati dan mendurhakai guru kita. Untuk menebus semua perbuatanku yang tidak patut ini, tidak ada pilihan lain aku harus mengembalikanmu!"
"Setelah apa yang Cak Mahes perbuat terhadap ku?"
Mahesa dengan kikuk memandang gadis yang duduk di sampingnya. Mereka saling pandang di antara cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap tertutup awan. Mahesa merasa seakan-akan kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan dia tidak tahu harus berkata apa.
"Cak Mahes, kemarin malam kamu menyatakan amat bahagia dengan apa yang sudah kita lakukan. Apakah sekarang kamu akan bilang menyesalinya?"