Arum tersentak membaca tulisan itu. Mulutnya terkunci sementara matanya berkaca-kaca.
"Apa Guru Putri mengenal suaranya?" akhirnya Mahesa Wijaya bertanya pelan.
Arum menggelengkan kepala dan keningnya berkerut, mencoba membongkar gudang memorinya. "Ilmu meringankan tubuhnya hebat..!" cetusnya sambil menarik napas panjang.
Waktu merayap amat lambat. Angin bertiup agak kencang, menggerakkan daun-daun, mengeluarkan bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang yang berada di dalam keadaan mencekam itu.
"Ahhh...!" keluh Arum di antara kedua matanya yang berkaca-kaca. Sekarang semakin sadarlah ia akan sikap masyarakat. Dia sadar apa artinya menjadi janda muda di masa itu. Pandangan hina akan menimpa dari segenap penjuru. Semua mata wanita akan menatapnya penuh rasa cemburu. Setiap gerak langkah dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria hidung belang akan memandangnya penuh nafsu. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar, terombang-ambing di tengah samudera kehidupan dan menjadi permainan gelombang.
Ketika mengejar penyusup tadi Arum masih merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa. Sekarang ia merasa hatinya terhimpit oleh derita. Wajahnya terlihat muram. Namun sebagai seorang berjiwa pendekar, sungguh pun diri sendiri mengalami penderitaan batin yang berat, akan tetapi dia akan terus berjuang untuk menyelamatkan padepokan dan organisasi yang dipimpinnya.
Ia tidak tahu apakah ia masih akan bisa bertemu kembali dengan Lintang. Pemuda itu pasti sudah hidup enak, mewarisi harta yang banyak dan kedudukan tinggi bak seorang pangeran. Pemuda itu pasti akan dengan mudah melupakannya. Seribu gadis yang jauh lebih cantik dan lebih muda pasti akan berusaha merebut hatinya.
***
Malam itu sebagian tempat sengaja dibiarkan gelap gulita. Hal ini amat menguntungkan Arum karena biar pun penjagaan di padepokan diperketat, akan tetapi, karena kepandaian ilmunya yang tinggi, penyusup itu dikhawatirkan masih dapat menerobos masuk. Sebelum para murid mengetahui, Arum sudah berada di atas genting rumah induk di area padepokan.
Perhatian Arum segera tertarik melihat Mahesa dan Ayu Lastri, dua murid senior yang ilmunya cukup bisa diandalkan itu, tengah mengumpulkan rekan-rekan di halaman tengah dan tampak sedang memberi petunjuk.
"Jangan sampai kita kecolongan lagi!" pungkas Mahesa. Mereka lalu membubarkan diri dan segera menempati tempat persembunyian mereka masing-masing.