Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (75): Melabrak Kandang Macan

26 September 2024   05:11 Diperbarui: 26 September 2024   06:50 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Waktu berjalan seolah begitu lambat. Di saat-saat seperti itu ia teringat Lintang, manusia terpolos dan apa adanya di muka bumi. Akan tetapi kepolosannya itu yang justru telah menawan hatinya.

Lewat tengah malam, Arum yang sedang bermeditasi di dalam kamar mendengar langkah kaki ringan di atas genting. Ia bukanlah pendekar kemarin sore, dengan ilmu silat tinggi yang dimilikinya dan sudah biasa berhadapan dengan orang-orang jahat, maka ia meraih pedang dan cepat meloncat keluar kamar. Tanpa mengeluarkan suara ribut-ribut ia keluar lewat pintu belakang, terus meloncat ke atas genting. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu.

Setelah berdiam beberapa saat, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di bawah, baru saja orang itu hendak meloncat masuk ke dalam. Gerakan orang itu gesit dan ringan sekali.

"Berhenti kau maling!" bentak Arum sudah cepat menerjang ke depan untuk menghadang, "Siapa kau berani mampus mengganggu di sini?"

Beberapa murid yang mendengar suara ribut segera berhamburan keluar dari asrama. Orang yang berpakain hitam dan bagian kepalanya tertutup itu sekali berkelebat sudah melayang melalui atas kepala murid-murid. Mereka kaget sekali, lalu cepat mengejar.

Ketika melihat beberapa orang mengejar, Si Penjahat itu lalu membalikkan tubuh di tempat yang gelap, kedua tangannya bergerak ke depan seperti orang memukul. Arum dan beberapa orang murid segera dapat menduga bahwa itu mungkin serangan senjata rahasia, maka mereka cepat melompat menghindar.

Tidak ada senjata rahasia yang datang menyerang, tapi penjahat itu telah lenyap, hanya meninggalkan gema suara ketawanya yang melengking, suara ketawa seorang wanita.

Murid-murid mengejar sampai jauh ke jalan, namun sia-sia belaka. Dengan kecewa dan lesu mereka kembali memasuki padepokan dan apa yang mereka lihat membuat mereka menggertakan gigi saking marah. Di dinding gedung utama yang berwarnah hijau itu, terdapat tulisan merah yang berbunyi:

"Hanya wanita jalang yang suka tinggal serumah dengan lelaki asing!"

Arum tersentak membaca tulisan itu. Mulutnya terkunci sementara matanya berkaca-kaca.

"Apa Guru Putri mengenal suaranya?" akhirnya Mahesa Wijaya bertanya pelan.

Arum menggelengkan kepala dan keningnya berkerut, mencoba membongkar gudang memorinya. "Ilmu meringankan tubuhnya hebat..!" cetusnya sambil menarik napas panjang.

Waktu merayap amat lambat. Angin bertiup agak kencang, menggerakkan daun-daun, mengeluarkan bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang yang berada di dalam keadaan mencekam itu.

"Ahhh...!" keluh Arum di antara kedua matanya yang berkaca-kaca. Sekarang semakin sadarlah ia akan sikap masyarakat. Dia sadar apa artinya menjadi janda muda di masa itu. Pandangan hina akan menimpa dari segenap penjuru. Semua mata wanita akan menatapnya penuh rasa cemburu. Setiap gerak langkah dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria hidung belang akan memandangnya penuh nafsu. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar, terombang-ambing di tengah samudera kehidupan dan menjadi permainan gelombang.

Ketika mengejar penyusup tadi Arum masih merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa. Sekarang ia merasa hatinya terhimpit oleh derita. Wajahnya terlihat muram. Namun sebagai seorang berjiwa pendekar, sungguh pun diri sendiri mengalami penderitaan batin yang berat, akan tetapi dia akan terus berjuang untuk menyelamatkan padepokan dan organisasi yang dipimpinnya.

Ia tidak tahu apakah ia masih akan bisa bertemu kembali dengan Lintang. Pemuda itu pasti sudah hidup enak, mewarisi harta yang banyak dan kedudukan tinggi bak seorang pangeran. Pemuda itu pasti akan dengan mudah melupakannya. Seribu gadis yang jauh lebih cantik dan lebih muda pasti akan berusaha merebut hatinya.

***

Malam itu sebagian tempat sengaja dibiarkan gelap gulita. Hal ini amat menguntungkan Arum karena biar pun penjagaan di padepokan diperketat, akan tetapi, karena kepandaian ilmunya yang tinggi, penyusup itu dikhawatirkan masih dapat menerobos masuk. Sebelum para murid mengetahui, Arum sudah berada di atas genting rumah induk di area padepokan.

Perhatian Arum segera tertarik melihat Mahesa dan Ayu Lastri, dua murid senior yang ilmunya cukup bisa diandalkan itu, tengah mengumpulkan rekan-rekan di halaman tengah dan tampak sedang memberi petunjuk.

"Jangan sampai kita kecolongan lagi!" pungkas Mahesa. Mereka lalu membubarkan diri dan segera menempati tempat persembunyian mereka masing-masing.

Arum senang melihat inisiatif murid-muridnya untuk mengamankan padepokan. Ia kemudian melakukan meditasi dengan menggunakan pernafasan Naga Bertapa. Ketika mendekati tengah malam, tiba-tiba ia disadarkan oleh bergeraknya daun-daun di pepohonan. Bukan bergerak oleh karena hempasan angin, melainkan karena ditimbulkan oleh seseorang yang bergerak melintas cepat sekali, tidak jauh di depan dan kemudian tanpa mengeluarkan bunyi kedua kaki sosok asing itu mendarat di genting.

Arum langsung menerjang sambil berteriak, "Mampus kau penjahat!"

Dalam keadaan tidak siap, penyusup itu segera menjatuhkan diri berjumpalitan turun ke bawah. Matanya terasa silau ketika dari tempat gelap kini berada di tempat yang amat terang.

Di bawah, si penyusup itu langsung dikepung oleh murid-murid padepokan yang keluar dari berbagai tempat persembunyian dengan menyalakan beberapa obor.

"Serahkan dia padaku!" Arum terjun dan menyerang, tapi tiba-tiba penyusup itu tertawa yang membuat bulu kuduk meremang.

"Kau sudah bosan hidup naga ingusan!" Sosok asing itu menyambut dengan serangan tongkat pada saat tubuh Arum masih melayang di udara.

Akan tetapi Arum memang sudah siap. Pedang pusaka di tangannya cepat ia putar sedemikian rupa mendahului tubuhnya sehingga serangan itu tertangkis dengan suara nyaring dan ujung tongkat telah patah.

Mereka bertarung seru sementara belasan murid mengepung dengan waspada. Penyusup itu bersenjata tongkat berwarna keemasan. Arum ingat pernah berhadapan dengan wanita itu dan waktu itu pedangnya dipatahkan oleh wanita itu. Sejak saat itu ia berlatih keras, dan untungnya sekarang ia menggunakan Pedang Pusaka Naga Nusantara.

Arum kini mengamuk hebat, "Kau Iblis Betina, tamatlah riwayatmu malam ini!" benar sekali. Musuh itu tidak lain adalah Iblis Betina.

Luar biasa benar sepak terjang Arum yang berjuluk Naga Jelita itu. Tidak mengecewakan jika dia terpilih sebagai ketua Ikatan Pendekar Jawa. Pedangnya betul-betul merupakan segunduk sinar yang membungkus tubuhnya saat terserang dan saat menyerang balik.

Sekarang kagetlah penyusup yang dijuluki Si Iblis Betina itu, tidak berani lagi tertawa dan menganggap enteng lawannya. Ternyata wanita belia yang menjadi lawannya itu bergerak sangat gesit dan serangan balasannya tidak terduga. Kemampuannya mengalami kemajuan pesat luar biasa.

Bunga api berhamburan ke sana ke mari ketika pedang berbenturan dengan tongkat yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi itu. Dari getaran pada tangannya maklumlah Arum bahwa lawannya itu biar pun tua namun bertenaga besar.

Ketika Arum sambil memutar badan, menyabetkan pedangnya sekuat tenaga, tongkat yang menangkis itu kembali putus dan Si Iblis Betina cepat-cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Ia baru sadar bahwa senjata lawan begitu dasyat.

"Menyerahlah kau iblis bangsat...!" teriak Mahesa dan dengan ganas, diikuti beberapa rekannya, menyerang berbarengan.

Si Iblis Betina itu memiliki kepandaian jauh di atas belasan murid yang mengeroyoknya, akan tetapi para pengeroyok itu murid-murid senior yang memiliki kepandaian cukup lumayan. Dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan mulai berhasil mendesak. Si Iblis Betina dengan tongkatnya yang menjadi pendek lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari.

"Tahan dulu!" teriak Arum sambil mengulurkan pedang mengarah ke dada lawannya yang terpojok dan tak berkutik lagi. "Mengapa kamu mengganggu kami?"

Si Iblis Betina menyeringai mengejek. "Aku.., aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar Benteng Naga!"

Arum mengeryitkan kening. "Kamu yang menulis di dinding tempo hari, Apakah Ajeng yang menyuruhmu? Harap kamu jangan main-main dan mengakulah terus terang?"

"Siapa Ajeng? Aku sudah bilang tadi, aku hanya ingin menguji nama besar perguruanmu!" Selesai mengatakan itu ia mendobrak kepungan di belakangnya dan meloncat ke genting hendak melarikan diri.

"Bagus, rupanya kamu hanya sebangsa pengecut!" seru Arum dan menyusul ke atas genting. Mereka pun berkelahi di atas genting. Desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi membuat Si Iblis Betina mundur-mundur tak mampu balas menyerang.

Memang pesat kemajuan ilmu pedang Arum, gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga dalamnya juga sudah tinggi sehingga baru puluhan jurus saja ia sudah membabat putus senjata penyusup itu dua kali. Dengan tongkat pendek, Si Iblis Betina itu harus meloncat ke sana ke mari sekenanya.

Arum sudah menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk menambah kecepatan gerakannya. Akan tetapi siapa kira, Si Iblis Betina itu pun ternyata tidak mudah untuk dirobohkan, terus menghindar dan tampak berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri. Di bawah puluhan murid sudah mengepung dan siap menggempur jika penyusup itu sampai menginjakan kaki di tanah.

Benar juga, akhirnya iblis penyusup itu melompat ke pohon dan terus pindah dari pohon ke pohon lain dan akhirnya berhasil keluar pagar.

"Iblis pengecut, jangan harap kau bisa pergi begitu saja!" Arum membentak marah dan ikut pula melompat dari pohon ke pohon dengan gerakan indah dan cepat.

Ilmu lari cepatnya tidak kalah jauh, sehingga ia mampu mempertahankan jarak yang hanya sekitar sepuluh meter. Sementara, setelah seratus meter, murid-murid yang ikut mengejar semakin ketinggalan dan kini tidak tampak lagi.

Tidak lama kemudian, setelah berlari sekitar empat kilometer, sampailah mereka berdua di sebuah bangunan. Si Iblis Betina masuk dengan melompat pagar dan menuju teras sebuah rumah besar. Itu adalah rumah kediaman Ki Demang Wiryo.

Di teras saat itu tampak Ki Demang sedang berbincang-bincang bersama beberapa orang. Ada kedua orang Pendekar Jeliteng, Ki Geni, Pendekar Cebol, Ki Birawa dan seorang lelaki tua yang asing bagi Arum. Si Iblis Betina langsung bergabung dengan mereka.

Arum berdiri di pelataran. "Iblis Betina, apakah kau begitu pengecut?" Ia membentak marah. "Mengapa kau berlindung di tempat orang? Kalau kau memang seorang pendekar, mari kita melanjutkan pertempuran di luar!"

Beberapa orang penjaga kademangan berlari dari pos jaga dan mengepung wanita belia itu. Mereka menunggu perintah.

Ki Demang segera bangkit dan maju menghadapi Arum. Ia berkata tenang, "Ning Arum, harap kau memandang muka kami dan tidak memusuhi tamu kami di sini!"

"Suruh pengecut itu keluar dan saya tunggu di luar!"

"Ha..ha..ha.., gadis muda, besar sekali nyalimu!" Ki Demang tertawa dan diikuti oleh yang lain. Namun di dalam hati mereka sangat mengagumi wanita belia itu. Bahkan Si Iblis Betina yang namanya cukup angker di dunia persilatan dibuat lari terbirit-birit olehnya.

Pedang pusaka di tangan Arum bergetar. Energi pedang itu memang meningkatkan keberaniannya, apa lagi ilmu silatnya memang tinggi dan waktu itu dia sedang dalam keadaan marah. Sama sekali ia tidak gentar meskipun berada di kandang macan.

"Cah ayu, kamu tahu sedang berhadapan dengan siapa?" tanya orang tua yang mukanya buruk, kehitaman dan bopeng serta sorot matanya merah menyeramkan.

"Aku tidak peduli!"

"Apakah kamu belum pernah mendengar nama Pendekar Kalong Wesi? Kenalkan aku inilah orangnya!"

Arum balas memandang, tapi tidak berani lama-lama menentang mata yang merah itu karena sebentar saja ia merasa matanya sakit. "Aku belum pernah dengar sama sekali nama jelekmu, memangnya kenapa?"

Orang tua itu melangkah maju dan tertawa bergelak. "Ha..ha..ha..! Masih begini muda tapi hebat sekali kepandaiannya! Ehh, Cah ayu, siapakah namamu?"

Kini Arum mendapat kesempatan untuk memperkenalkan dirinya. Dengan suara nyaring dia lalu berkata, "Aku Arum putri Mpu Naga Neraka dari Perguruan Benteng Nusa!"

Pendekar Kalong Wesi lalu tertawa bergelak-gelak. "Hm.., ternyata inikah wanita yang menjadi ketua Ikatan Pendekar Jawa itu? Karena kamu sudah berani melabrak dan mengacau di kandang macan, mari hadapi aku!"

Arum menjadi heran dan dia mulai waspada. "Saya mengejar seorang penjahat yang lari ke sini, jadi bukan melabrak, apalagi mau mengacau!" Ia belum pernah mendengar orang berwajah mengerikan dengan mata merah yang mengaku bernama Kalong Wesi itu. Dia menduga-duga sampai di mana kehebatannya sehingga Si Iblis Betina yang terkenal saja kelihatan mencari perlindungan darinya.

"Ha..ha..ha.., apakah kau takut, Cah ayu?" kata Ki Kalong Wesi.

Pertanyaan macam inilah yang menjadi pantangan bagi Arum. Sejak kecil ia telah digembleng untuk memiliki jiwa ksatria yang tidak pernah mengenal kosa-kata 'Takut', apa lagi jika hal itu demi menegakkan kebenaran.

Ia menggertakan gigi dan menjawab tegas, "Siapa takut? Biarlah hari ini aku mengadu nyawa dengan orang-orang tua jahat yang tidak tahu malu!"

Saat itu puluhan murid Perguruan Benteng Naga sudah muncul di pintu gerbang. Mereka menerobos masuk dan berdiri di belakang Guru Putri Arum.

"Guru Putri, kami sudah menyuruh teman-teman untuk menghubungi guru-guru lainnya," kata Mahesa dengan suara sengaja dikeraskan. Ia memang cerdik. "Mereka akan secepatnya menyusul ke sini!"

"Sebenarnya ada urusan apa kalian ke sini?" tanya Ki Demang. "Kalau kalian ada urusan dengan Si Iblis Betina, silakan di selesaikan di tempat lain. Tapi sekarang Si Iblis Betina ini menjadi tamu kami, jadi mengganggu dia sama halnya mengganggu kami! Itu lain lagi urusannya!"

"Itu sama halnya kalian melindungi penjahat!" bentak Arum, "Ataukah barangkali Perguruan Macan Abang memang diam saja kalau namanya dirusak oleh seorang penjahat yang berlindung di padepokannya?"

Ki Demang dan kawan-kawannya terdiam, tidak menemukan dalih untuk menjawab.

"Hem.., kalau perguruan kami memiliki satu aturan khusus, yaitu bila ada seorang murid yang melakukan kejahatan, tidak boleh ada orang lain yang bertindak, kami sendiri yang akan menghukumnya!"

"Benteng Cacing mana bisa disejajarkan dengan Macan Abang!" bentak Pendekar Cebol sambil matanya membelalak. Dia memang orang yang kaya kalimat hinaan tapi miskin logika.

"Memang tidak bisa, kami dari Benteng Naga menang jauh dalam hal memegang peraturan!" Mahesa ganti membentak sambil membusungkan dada menantang. "Beda jauh dengan Macan Cebol!"

"Kita adalah laki-laki, tidak seperti perempuan," sahut Ki Kalong Wesi, "Laki-laki tidak banyak bicara, tapi banyak mempergunakan senjata. Ada urusan, tidak perlu bicara bertele-tele, angkat senjata mencari keputusan siapa yang hidup siapa yang mati. Habis perkara! Jadi ayo kita selesaikan!"

Karena Pendekar Kalong Wesi merupakan seorang yang berwatak keji, maka sorot kemarahan pada mata Arum itu justru menimbulkan gairah baginya, wajah Arum yang judes itu menjadi semakin cantik jelita dalam pandangan matanya. Ia punya rencana untuk merebut pedang pusaka sekaligus menculik Arum, tapi tentu tidak di depan orang banyak. Lagipula ia memang memandang rendah kepada wanita belia itu.

Untungnya ketika tadi Mahesa berbohong dengan mengatakan ada orang-orang kubu mereka yang akan menyusul, membuat Ki Demang tidak berani bertindak gegabah. Ia lalu meminta orang-orangnya untuk menahan diri. Satu hal yang membuat mereka semua mengagumi Pendekar Jelita, yakni keberaniannya melabrak sarang lawan.

Arum sadar apabila ia memaksakan diri untuk mengejar Si Iblis Betina di kandang musuh, itu tidak hanya akan mencelakakan dirinya, tetapi juga bisa membahayakan jiwa murid-muridnya. Ia kemudian berusaha menahan diri dan mengajak murid-muridnya pergi dari situ. Itulah kearifan sikap yang ditunjukan oleh pemimpin yang masih sangat muda itu, yang tidak berpikir jangka pendek dan tidak memperturutkan emosi.

"Ha..ha..ha.., rupanya Pendekar Naga Binal itu pengecut juga!" ledek Pendekar Cebol, mencoba mencari muka di depan para seniornya.

Belakangan Arum sudah mulai kebal terhadap berbagai hinaan. Sambil terus berjalan dan tanpa menoleh dia membalas dengan berkata lantang, "Orang yang paling besar mulut biasanya justru yang paling cebol ilmunya!"

Kata-kata itu disambut tawa dari kedua belah pihak.

"Otak cebol biasanya cuma jago kandang!" sahut Mahesa. Gelak tawa kembali meledak.

Pendekar Cebol hanya meringis getir, akan tetapi tangan kirinya yang menekan pegangan tangan kursi membuat pegangan kayu itu hancur dalam genggamannya. Hal ini menandakan betapa ia sedang marah sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun