Oleh: Tri Handoyo
Keadaan Padepokan Benteng Nusa terkesan penuh daya magis dan sakral. Penjagaan dilakukan oleh para murid berseragam hijau dengan sikap mereka yang santun tapi sangat gagah. Sepanjang jalan menuju ke padepokan tampak dihias dengan berbagai tanaman bunga dan panji-panji hijau. Setiap sepuluh meter dijaga oleh lima orang di pinggir jalan, merupakan tiang-tiang hidup. Hal itu bukan hanya untuk memberi penghormatan kepada para tamu, tetapi juga sebagai aksi 'unjuk gigi'.
Hari itu adalah penobatan para pengurus Ikatan Pendekar Jawa dan sekaligus merayakan hari jadi berdirinya Padepokan Benteng Nusa. Murid-murid padepokan yang telah merantau ke berbagai kota pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat.
Sebagai sebuah perguruan besar yang sudah terkenal, kali itu mereka menggelar persiapan besar-besaran. Para murid sudah sibuk berbelanja beberapa hari sebelumnya, Â menyediakan segala hidangan untuk menjamu para tamu. Ada beberapa pertunjukan seperti wayang kulit dan karawitan yang membuka peluang warung-warung dadakan buka di sepanjang jalan.
Banyak jago-jago dari dunia persilatan yang hadir, bahkan beberapa gelintir orang yang dianggap memiliki kesaktian tingkat dewa, seperti Mbah Broto Brantas, pun bersedia hadir memenuhi undangan. Yang tidak kalah mengejutkan, Mbah Kucing pun tampak hadir untuk memberikan ucapan selamat dan dukungan moril.
***
Malam itu semua kembali seperti sediakala, tenang dan damai. Arum masih saja tak bosan-bosannya membicarakan acara itu, yang menurutnya cukup sukses dan membanggakan. Seperti biasanya, Lintang menjadi pendengar setia.
"Gembul, kamu tahu, hampir semua pendekar memuji-mujimu!"
"Benarkah? Kalau menurutku pujian mereka sebetulnya untukmu Arum!"
"Hm..." Terbesit kebangaan di wajah ayu itu. "Oh iya, apa namanya ilmu yang kamu gunakan saat melawan Tapak Petir? Apakah itu ilmu sihir?"