"Alhamdulillah..!" Tulus menghentikan dokarnya. "Terima kasih, Dindaku. Sebetulnya aku sudah menduga sih!" katanya sambil memeluk istrinya.
"Benarkah? Dari mana Kanda tahu?"
"Karena setiap pagi kamu merasa mual dan ingin muntah bukan?"
"Hei!" bentak seorang yang tampaknya pemimpin gerombolan itu. Ia merasa marah karena kehadirannya seolah diabaikan begitu saja oleh kedua orang muda itu. "Serahkan semua harta kalian atau...!"
Tulus meluncur turun dari dokar dan mengirim serangan kilat, bahkan sebelum pimpinan gerombolan itu menyelesaikan kalimatnya. Dua orang yang berdiri di tengah jalan bergulingan di tanah dan golok mereka berhasil dirampas. Golok itu kini menempel di leher si pemiliknya, si pemimpin.
"Atau apa?" tanya Tulus.
Dengan suara gemetar pemimpin berbadan besar, berjenggot dan berkumis tebal itu menjawab, "Atau bo..boleh le..lewat dengan selamat!"
Beberapa anak panah tiba-tiba meluncur deras ke arah Tulus. Pendekar muda itu lalu menggoreskan pedang ke dagu orang berjenggot tebal dan menendangnya, lalu dengan cepat memutar golok menangkis hujan panah.
Si pemimpin kaget menyadari bahwa jenggot di dagunya telah tercukur habis. Jika pemuda itu menghendaki lehernya, ia sudah dipastikan akan tewas. Ia kemudian memberi perintah anak buahnya yang berada di atas pohon. "Turun kalian! Goblok semua!" bentaknya kesal.
Dua golok yang berada di tangan Tulus lalu ditekuk dengan tiga jari dan terdengar suara nyaring. Criiing..! Pedang itu telah patah pada bagian tengahnya. Para pengepung kini sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi.
Si pemimpin gerombolan kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Tulus, dan diikuti oleh semua anak buahnya. "Maafkan kami, Tuan Pendekar!"