Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (52): Menjunjung Kebenaran

29 Agustus 2024   05:42 Diperbarui: 29 Agustus 2024   11:02 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Ajeng membuka matanya dan kaget mendapati dirinya tergeletak di lantai kayu, di tempat yang sangat asing. Ia bangun, berpegangan pada tiang penyangga seraya mengingat-ngingat apa yang telah terjadi. Sisa rasa kantuk, yang sebetulnya adalah pengaruh sihir, memang sudah hilang, tapi kepalanya masih sedikit pening.

Di luar terdengar suara ribut seperti ada orang berkelahi. Ia lalu berjalan keluar, mengamati sekelilingnya, dan tidak menjumpai seorang pun. Ketika melihat papan kayu yang bertuliskan 'Perguruan Macan Abang', memorinya langsung pulih kembali. Dengan setengah berlari ia menuju ke arah di mana suara keributan tadi berasal.

Saat itu ia melihat ada api unggun besar dan orang-orang bersenjata yang mengitarinya. Sebagian besar dari mereka tampak memakai seragam silat warna merah. Setelah mengamati beberapa saat, dan tidak melihat Topo di antara mereka, maka ia memutuskan untuk pulang. Ada rasa sesal di hati. Bagaimana pun juga, ia sejatinya sangat menjunjung kebenaran.

Mendekati tengah malam, kobaran api mulai padam. Ki Demang dan orang-orangnya masih tetap berdiri mengelilinginya, memastikan bahwa Si Jailangnak Nenek Siluman itu benar-benar telah mati. Meskipun mereka juga merasa sedikit sedih karena kawan mereka, Topo Surantanu, juga ikut tewas.

"Kalian boleh pergi!" kata Ki Demang kepada para pengawal dan pengikutnya. Tumpukan bambu yang terbakar menyisakan bara. Ia merasa lega karena musuh besarnya telah tiada.

Sebelum mereka jauh melangkah, tiba-tiba ada suara batuk terdengar dari tumpukan abu. Semua orang berpaling ke arah datangnya suara. Kemudian tampak ada sesuatu yang bergerak-gerak, lalu tampak sosok manusia bangkit, berdiri sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan, membersihkan abu yang menempel di sekujur tubuh.

Semua menatap dengan mata terbelalak. Sangat sulit untuk dipercaya. Tampak Topo berdiri dengan kondisi segar bugar. Ia telah pulih dan tanpa mengalami luka sedikit pun. Hanya pakaiannya yang terbakar habis. Sedangkan sekujur badannya terselimuti jelaga hitam.

"Orang ini luar biasa sakti!" gumam mereka dengan rasa takjub. "Begawan Kegelapan itu punya ilmu setan yang mengagumkan!"

***

Tempat yang mereka lalui adalah jalan yang mirip lorong membela hutan yang masih lebat. Pemandangan yang amatlah indah, dengan segala macam tumbuhan yang kelihatan kacau namun terdapat keselarasan yang harmoni. Matahari yang berada di atas tampak cerah, tanpa ada gangguan awan sedikitpun. Sinarnya bebas menyinari bumi dan segala yang berada di sana.

"Kanda..!" panggil Arum.

Tulus sedang menangkap pergerakan beberapa orang yang mengawasi dari atas pohon. "Ya Dindaku sayang!" Ia memalingkan muka memandang istrinya sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut dan tatapan matanya penuh kasih.

Itulah yang membuat Arum merasa suaminya itu seolah-olah telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya, sehingga seringkali membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-kata. Kini ia telah membulatkan hati dan berkata dengan suara lirih, "Kanda sudah tahu?"

"Tahu soal apa?" Kini salah seorang di atas pohon bersiul menirukan suara burung. Itu pasti sebuah sandi.

"Yang akan aku katakan?"

"Ya gak tahu, Sayang!"

"Benar?"

"Iya benar!"

"Aku hamil?"

Dokar itu berjalan perlahan. Tiba-tiba ada segerombolan orang muncul dari semak-semak dan menghadang jalan. Beberapa orang lagi muncul di atas pohon dan mengarahkan panah. Tempat itu telah dikurung dengan ketat oleh belasan orang dengan senjata masing-masing dan sikap mengancam.

"Alhamdulillah..!" Tulus menghentikan dokarnya. "Terima kasih, Dindaku. Sebetulnya aku sudah menduga sih!" katanya sambil memeluk istrinya.

"Benarkah? Dari mana Kanda tahu?"

"Karena setiap pagi kamu merasa mual dan ingin muntah bukan?"

"Hei!" bentak seorang yang tampaknya pemimpin gerombolan itu. Ia merasa marah karena kehadirannya seolah diabaikan begitu saja oleh kedua orang muda itu. "Serahkan semua harta kalian atau...!"

Tulus meluncur turun dari dokar dan mengirim serangan kilat, bahkan sebelum pimpinan gerombolan itu menyelesaikan kalimatnya. Dua orang yang berdiri di tengah jalan bergulingan di tanah dan golok mereka berhasil dirampas. Golok itu kini menempel di leher si pemiliknya, si pemimpin.

"Atau apa?" tanya Tulus.

Dengan suara gemetar pemimpin berbadan besar, berjenggot dan berkumis tebal itu menjawab, "Atau bo..boleh le..lewat dengan selamat!"

Beberapa anak panah tiba-tiba meluncur deras ke arah Tulus. Pendekar muda itu lalu menggoreskan pedang ke dagu orang berjenggot tebal dan menendangnya, lalu dengan cepat memutar golok menangkis hujan panah.

Si pemimpin kaget menyadari bahwa jenggot di dagunya telah tercukur habis. Jika pemuda itu menghendaki lehernya, ia sudah dipastikan akan tewas. Ia kemudian memberi perintah anak buahnya yang berada di atas pohon. "Turun kalian! Goblok semua!" bentaknya kesal.

Dua golok yang berada di tangan Tulus lalu ditekuk dengan tiga jari dan terdengar suara nyaring. Criiing..! Pedang itu telah patah pada bagian tengahnya. Para pengepung kini sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi.

Si pemimpin gerombolan kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Tulus, dan diikuti oleh semua anak buahnya. "Maafkan kami, Tuan Pendekar!"

"Bangunlah, Paman!" kata Tulus. Ia kemudian menghampiri istrinya dan minta tolong untuk diambilkan beberapa keping uang. "Terimalah ini! Maaf tidak seberapa nilainya!"

"Tidak, jangan. Terima kasih banyak!" jawab si pemimpin, "Sekali lagi maafkan kami, karena telah berani mengganggu perjalanan Tuan Pendekar!"

"Terimalah! Tulus menepuk pundak orang itu sambil tersenyum. Ia kemudian kembali ke dokarnya.

"Maaf, Tuan Pendekar!" Si pemimpin bertanya dengan nada ragu-ragu, "Apakah ini dokarnya Mpu Naga Neraka?" Rupanya ia mengenali simbol perisai di sisi dokar yang menjadi cirikhas Perguruan Benteng Naga.

"Benar. Paman tidak salah!"

"Maaf, apakah anda punya hubungan dengan Mpu Naga?"

"Iya. Perempuan itu adalah Arum Naga, putri Mpu Naga!" jawab Tulus sambil memandang ke arah istrinya. "Dan saya adalah suami perempuan itu!"

"Terimalah hormat saya, Ning Arum!" Lelaki berkumis tebal itu kembali berlutut di tanah. "Mohon maaf! Perkenalkan, saya adalah Unggul Weling pemimpin Laskar Rimba. Dulu kami adalah anak buah Mpu Naga sewaktu menjadi prajurit Majapahit!"

"Terima kasih, Paman Unggul!" jawab Arum, "Tapi apa-apaan ini, jangan berlutut seperti itu, berdirilah Paman!"

"Saya ikut berbela sungkawa atas wafatnya Mpu Naga," ucap Ki Unggul dengan wajah berduka. "Dan berarti Tuan Pendekar ini Kebo Kicak?" Ia bertanya lagi.

"Rupanya Ki Unggul sudah dengar semuanya!" sahut Tulus.

"Meskipun kami tinggal di tengah hutan belantara, tapi kami selalu mengikuti perkembangan di luar! Anda Pendekar Kebokicak yang terkenal itu! Semua orang pasti dengar!" Ki Unggul kembali menjatuhkan diri dan berlutut di tanah. "Terimalah hormat kami Raden Kebokicak!" 'Pantas saja mereka begitu tenang!' batin Ki Unggul. 'Ketenangan yang menjadi ciri pendekar besar!'

Semua anak buahnya pun ikut berlutut di tanah. "Terimalah hormat kami!" seru mereka serempak. Mereka mengenal nama besar Pendekar Kebokicak sebagai tokoh pembela kebenaran.

"Terima kasih, Paman Unggul dan saudara-saudara semua! Maaf kami harus melanjutkan perjalanan. Permisi semuanya!" Tulus pun kembali duduk di sebelah Arum dan segera menjalankan dokarnya.

Arum beberapa kali menengok dan melihat Ki Unggul Weling dan anak buahnya masih berlutut di tanah, di kiri kanan jalan.

***

Bantuan-bantuan tenaga yang diterima oleh Dyah Ranawijaya di saat merebut kerajaan Majapahit, membuat ia terpaksa membagi-bagi daerah kepada mereka. Di antara mereka ada yang diangkat sebagai adipati-adipati dan tumenggung-tumenggung, yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah menjadi raja-raja kecil. Bahkan di tingkat kademangan pun seolah berdaulat sendiri.

Sementara itu, sisa-sisa pasukan Majapahit yang melarikan diri menjelma menjadi pasukan-pasukan liar, yang selalu menciptakan gangguan keamanan terhadap pemerintahan di daerah. Seperti yang terjadi pada Ki Unggul Weling dan teman-temannya. Mereka bersembunyi di tengah hutan dan mendirikan perkumpulan yang terkenal dengan sebutan Laskar Rimba. Bagaimana pun liarnya, mereka masih tetap menghormati dan menjunjung tinggi kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun