Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (40): Menjemput Malaikat Maut

6 Agustus 2024   05:24 Diperbarui: 6 Agustus 2024   09:10 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Raden Tulus dan Roro Ajeng menjadi salah tingkah, lalu berusaha keras menyembunyikan rasa gugup itu. Murid-murid dari kedua perguruan bertepuk tangan gembira. Mereka berharap kedua tokoh muda yang sama-sama menduduki peringkat puncak perguruan itu menjadi sepasang suami-istri, sehingga timbul harapan besar nantinya akan semakin mempererat tali persaudaraan kedua perguruan besar tersebut.

"Sangat serasi..!"

"Lanjuuut...!"

"Cocok sekali..!"

Teriakan-teriakan usil bersahutan. Tidak seorang pun menyadari bahwa ada seseorang yang benar-benar sakit hati melihat situasi itu. Dia adalah Arum Naga, gadis belia putri Tunggal Mpu Naga Neraka. Selama ini ia memang menyimpan perasaan suka kepada saudara seperguruan yang sekaligus murid kesayangan ayahnya itu.

Tiba-tiba ada dua orang mendobrak pintu gerbang dengan kasar. Pintu itu sebetulnya sudah terbuka, tapi pendobrak itu seperti sengaja mau unjuk kekuatan. Tampak segerombolan orang berkuda berbaris di depan pintu gerbang. Jumlah mereka sekitar empat puluh orang, dan sebagian dari mereka mengenakan pakaian seragam prajurit. Satu per satu mereka turun dari kuda dan melangkah masuk.

Arum segera meloncat maju sambil berteriak lantang, "Hei, kalian jangan kurang ajar! Masuk padepokan orang tanpa permisi!"

Pada saat itu terdengar pula bentakan balasan dari lelaki brewokan berbadan besar dari atas kuda, "Siapa kau gadis kencur, berani-beraninya melarang kami? Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan kerajaan? Ayo cepat berlutut minta ampun! Atau kau ingin menjemput malaikat maut?"

"Aku tidak sudi minta ampun kepada manusia-manusia kurang ajar!" balas Arum sengit.

"Adik Arum, tahan dulu...!" Tulus melangkah maju menenangkan Arum. Tentu saja ia terheran-heran melihat perubahan sikap gadis yang biasanya tenang dan lembut itu.

"Tidak usah pedulikan aku!"

Tulus benar-benar bingung. Selama ini Arum selalu bersikap manis kepadanya dan biar pun dia tahu bahwa gadis itu mewarisi hati keras Mpu Naga, akan tetapi belum pernah bersikap sekeras itu kepadanya. Sungguh aneh.

Lelaki brewokan itu memandang Arum dan berkata mengejek. "Bagus, kamu rupanya sudah bosan hidup gadis kencur! Tangkap dia!"

"Tahan dulu!" Tulus mengangkat tangan kanannya ke atas.

"Hai, orang brewok tolol!" timpal Arum semakin kalap, "Jaga ucapanmu! Setan pengkhianat dan penjilat kok mengaku pahlawan. Aku memang tidak takut mati! Nah, kau mau apa?!" Arum menegakan kepala, mengangkat dada dan dalam posisi siap bertarung.

Lelaki brewok berbadan besar dengan wajah brangasan itu menjadi sangat murka. Kalimat yang keluar dari mulut gadis itu membuat mukanya terasa memerah panas. Andaikata bukan seorang gadis, pasti sudah ia remukan kepalanya. "Ayo tangkap semua pendukung Majapahit ini hidup atau mati!" perintahnya kepada para anak buahnya, yang segera membuat mereka melompat ke depan dengan sigap.

Semua murid perguruan Benteng Naga pun bergerak siap membela putri guru mereka.

"Tunggu..!" Mpu Naga Neraka muncul dengan melayang di atas kepala-kepala muridnya dan mendarat di tengah kedua kubu yang saling berhadap-hadapan.

Disusul oleh Ki Kelabang Karang. "Ada apa ini?"

Di antara barisan orang-orang tak diundang itu melangkah maju dua orang yang tidak asing lagi, Pendekar Jeliteng, Ki Paimo dan Ki Paidi. Pantas saja mereka berani kurang ajar.

"Hmm..!" Lelaki bercambang lebat meloncat turun dari kudanya, "Tidak salah tilik sandhi kami mengatakan bahwa kau, Kelabang Karang, pasti sembunyi di sini! Kau telah membawa lari harta rampasan perang dan telah membunuh saudara seperguruan kami, Ki Rojowojo. Sekarang kau menyerah atau terpaksa aku habisi kalian semua?"

"Tahan sebentar..!" ucap Mpu Naga.

"Hei, Gana!" potong lelaki beringas itu memanggil nama asli Mpu Naga, "Jangan kau pikir aku takut dengan nama besarmu! Harap kamu tahu, tidak sama sekali!"

Sela Ki Kelabang menyahut, "Sebagai prajurit Majapahit, aku siap menanggung resiko apapun. Aku sudah terbiasa menjemput malaikat maut. Tapi ini urusanku dengan kalian para prajurit pengkhianat Majapahit. Jangan sangkut-pautkan saudaraku Mpu Naga dan perguruan ini. Mereka tidak tahu apa-apa! Ayo kita selesaikan di luar!"

"Hei..! Kamu penjahat tidak berhak mengatur kami!" bantah orang brewok itu sambil menarik golok besarnya dan langsung melancarkan serangan. Lelaki bercambang lebat itu sudah tidak sabar. Ia dijuluki Pendekar Golok Dewa. Tentu bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi, ia tidak mungkin bisa menjadi kepala pengawal Tumenggung Legowo.

Pertempuran langsung terjadi dengan sangat sengit. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan seluruh tenaga, dan ketika tenaga hebat itu berbenturan keduanya terpental ke belakang. Muka Ki Kelabang yang tampak pucat itu mengucurkan peluh membasahi dahi dan pipinya. Ia memang menguras tenaga lebih besar karena menghadapi pertempuran itu hanya dengan tangan kosong. Andaikata ia memegang senjata kapak pusakanya tentu akan lain ceritanya. Ditambah luka di pahanya akibat tusukan tombak belum sembuh. Tampak darah merembes membasahi kain balutan luka.

Gerakan Ki Kelabang mulai melemah, dan itu tidak disia-siakan oleh Pendekar Golok Dewa untuk memperhebat serangannya. Ki Kelabang adalah seorang prajurit hebat, namun kini ia terdesak luar biasa. Golok Dewa sedang melancarkan jurus paling mematikan yang menjadi andalannya, sampai akhirnya golok yang besar dan berat itu berhasil melukai pundak lawan, lalu mengenai perut dan merobeknya. Ki Kelabang terhuyung-huyung mundur bermandi darah. Golok Dewa tanpa memberi ampun mengejar dan menyabetkan goloknya ke arah leher.

Tiba-tiba golok itu tertangkis dan berbelok arah. Mpu Naga berdiri dengan menyilangkan tongkat melindungi Ki Kelabang yang roboh. Tangan Mpu Naga gemetar merasakan betapa hebatnya tenaga dalam Pendekar Golok Dewa.

"Kau mau ikut-ikutan urusan ini, Mpu Naga?" seru Pendekar Jeliteng marah sambil meloncat maju.

"Cak!" kata Ki Kelabang lirih sambil berusaha bangun, "Jangan! Ini urusanku, kamu jangan ikut campur!" katanya sebelum akhirnya roboh dan tak bernafas. Prajurit hebat itu tewas.

"Aku tidak mungkin bisa diam saja melihat saudaraku dibunuh di depan mataku!" kata Mpu Naga dengan gigi gemeretak menahan amarah. Darahnya mendidih.

"Aku juga tidak akan tinggal diam!" jerit Arum segera berdiri di samping ayahnya.

"Arum, minggir kamu!" teriak Mpu Naga serius.

"Aku tidak akan minggir!" balas Arum sambil menititkan air mata.

Tulus pun meloncat dengan cepat, "Maaf Guru, mohon ijinkan saya mewakili anda!"

Kedua Pendekar Jeliteng langsung ingat Tulus, pemuda yang dulu pernah menantangnya di depan Langgar Al Akbar. Tanpa ragu mereka berdua langsung mengepungnya. "Kita punya urusan yang belum selesai, anak muda!"

Di saat bersamaan Pendekar Golok Dewa juga langsung menyerang Mpu Naga. "Siapapun yang melindungi musuh kerajaan harus mampus!"

Setelah berlangsung belasan jurus ternyata kedua Pendekar Jeliteng belum mampu merobohkan Tulus, malahan mereka berdua yang kadang menerima pukulan dan tendangan balasan pemuda itu. Tanpa malu-malu lagi, mereka berdua lalu mengeluarkan senjata pisau Pancanaka andalan, dan kemudian mengirim serangan bertubi-tubi mengurung lawan.

Suara hiruk-pikuk golok dan tongkat berkelebat dan berkilauan di selingi jerit kesakitan. Keringat mengucur keluar bercampur darah membasahi tanah. Kemampuan silat Mpu Naga dan Golok Dewa tampak seimbang, tetapi Golok Dewa masih unggul di bagian tenaga dalamnya, sebab ia jauh lebih muda.

Terdengar suara keras ketika pukulan tangan Tulus dengan jitu menghantam pipi Ki Paidi Jeliteng, pukulan yang cepat sekali datangnya hingga darah segar muncrat dan beberapa giginya yang rontok terlontar sampai jauh. Tak berselang lama, sebuah tendangan mendarat di dada Ki Paimo dan tubuh pendekar kawakan itu terpental ke belakang dalam keadaan muntah darah.

Ki Paimo masih bisa bangkit tapi kepalanya pening dan pandangannya sedikit kabur. Ki Paidi memegang mulutnya yang pecah dan darah mengucur deras melewati jari-jarinya. Mereka sadar seandainya pemuda itu berniat menghabisi nyawa mereka, pasti saat itu akan mudah ia lakukan. Pasti kedua pendekar jeliteng itu sudah dijemput malaikat maut. Akan tetapi Tulus hanya berdiri sambil menatap tajam bergantian ke arah mereka berdua, menanti serangan berikutnya.

Pendekar Golok Dewa semakin sengit mendesak Mpu Naga, dan itu membuat semangatnya semakin menyala-nyala. Akhirnya ia berhasil membabat putus tongkat Mpu Naga, dan setelah itu beberapa kali sabetan goloknya merobek baju dan menggores kulit Mpu Naga. Ketika akhirnya golok itu sudah terangkat tinggi hendak membacok ke arah kepala yang sulit dihindari oleh Mpu Naga, tiba-tiba ada sambaran datang dari samping yang membuat arah serangan golok itu terpaksa berubah.

Tulus sudah berdiri melindungi gurunya dan siap menunggu serangan dengan sikap tenang. Pemuda itu masih tampak bugar dan napasnya masih teratur, padahal ia baru melakukan pertarungan hebat.

Pendekar Golok Dewa menengok kedua rekannya, Pendekar Jeliteng Macan Kumbang yang tersohor itu, terluka dan jelas tidak sanggup lagi untuk bertarung melawan pemuda itu.

Ia lalu maju menggempur Tulus dengan mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Golok besar itu memang tampak seolah ringan di tangan orang besar bercambang lebat itu, namun dengan disertai tenaga dalam maka bobot pukulannya tidak kurang dari satu kwintal. Golok itu bahkan bisa memutus badan kerbau dengan sekali tebas. Akan tetapi, ia benar-benar dibuat kagum, karena pemuda itu berani menghadapi goloknya cukup dengan tangan kosong.

'Siapa pemuda ini?' batin Golok Dewa bertanya heran, 'Tidak mungkin ia murid Mpu Naga! Siapa gurunya?'

Pendekar Golok Dewa memang memiliki tenaga dalam yang besar, tapi bagi Tulus, dengan senjata yang berat itu serangan-serangan goloknya menjadi kurang gesit dan gerakannya tidak lincah.

Dalam suatu kesempatan Tulus menyarangkan tinjunya yang keras, menyelinap di sela golok, dan tepat mendarat di ulu hati. Semua orang dibuat terkesima oleh jurus yang indah namun mengandung maut itu. Pendekar brewok terdorong ke belakang. Sebelum sempat memperbaiki posisi, sebuah tendangan menyusul deras di lambung hingga goloknya yang besar terlepas dari genggaman. Sementara tubuhnya terpental lima langkah ke belakang, dan jatuh dengan posisi tertelungkup. Matanya yang besar melotot seakan-akan hendak keluar. Ia batuk dan memuntahkan gumpalan darah kental ke tanah, dan kemudian tidak sadarkan diri.

***

Jenazah Ki Kelabang Karang dimakamkan di pemakaman umum Candimulyo secara sederhana. Banyak masyarakat yang mengantarkan sosok ksatria tangguh itu sebagai penghormatan terkahir. Kendati banyak yang hanya kenal sebatas nama saja.

Di atas makam yang masih basah, Mpu Naga membaca tulisan Ki Kelabang yang ia temukan di balik gambar peta Gua Sigolo-golo, sebagai pesan terakhir kepada masyarakat.

"Kami keturunan Raden Wijaya, masih berpijak kokoh di bumi ini.

Kecerdasan Hayam Wuruk masih menjadi nafas dan denyut nadi kami sehari-hari.

Ketegaran hati dan keperkasaan Gajah Mada belum sirna dari tanah nusantara.

Kearifbiaksanaan Mpu Prapanca belum lapuk di dada.

Kami anak cucu Raden Wijaya tak diajar untuk ingkar janji walaupun marabahaya mengancam nyawa.

Kami pewaris jiwa-jiwa ksatria, ramah menerima tamu yang tiba, dan pantang menolak musuh datang.

Kami pantang surut sekalipun harus menjemput malaikat maut!"

Suara Mpu Naga seolah-olah mengandung getaran tenaga hebat yang memenuhi seluruh kesunyian pemakaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun