Tulus sudah berdiri melindungi gurunya dan siap menunggu serangan dengan sikap tenang. Pemuda itu masih tampak bugar dan napasnya masih teratur, padahal ia baru melakukan pertarungan hebat.
Pendekar Golok Dewa menengok kedua rekannya, Pendekar Jeliteng Macan Kumbang yang tersohor itu, terluka dan jelas tidak sanggup lagi untuk bertarung melawan pemuda itu.
Ia lalu maju menggempur Tulus dengan mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Golok besar itu memang tampak seolah ringan di tangan orang besar bercambang lebat itu, namun dengan disertai tenaga dalam maka bobot pukulannya tidak kurang dari satu kwintal. Golok itu bahkan bisa memutus badan kerbau dengan sekali tebas. Akan tetapi, ia benar-benar dibuat kagum, karena pemuda itu berani menghadapi goloknya cukup dengan tangan kosong.
'Siapa pemuda ini?' batin Golok Dewa bertanya heran, 'Tidak mungkin ia murid Mpu Naga! Siapa gurunya?'
Pendekar Golok Dewa memang memiliki tenaga dalam yang besar, tapi bagi Tulus, dengan senjata yang berat itu serangan-serangan goloknya menjadi kurang gesit dan gerakannya tidak lincah.
Dalam suatu kesempatan Tulus menyarangkan tinjunya yang keras, menyelinap di sela golok, dan tepat mendarat di ulu hati. Semua orang dibuat terkesima oleh jurus yang indah namun mengandung maut itu. Pendekar brewok terdorong ke belakang. Sebelum sempat memperbaiki posisi, sebuah tendangan menyusul deras di lambung hingga goloknya yang besar terlepas dari genggaman. Sementara tubuhnya terpental lima langkah ke belakang, dan jatuh dengan posisi tertelungkup. Matanya yang besar melotot seakan-akan hendak keluar. Ia batuk dan memuntahkan gumpalan darah kental ke tanah, dan kemudian tidak sadarkan diri.
***
Jenazah Ki Kelabang Karang dimakamkan di pemakaman umum Candimulyo secara sederhana. Banyak masyarakat yang mengantarkan sosok ksatria tangguh itu sebagai penghormatan terkahir. Kendati banyak yang hanya kenal sebatas nama saja.
Di atas makam yang masih basah, Mpu Naga membaca tulisan Ki Kelabang yang ia temukan di balik gambar peta Gua Sigolo-golo, sebagai pesan terakhir kepada masyarakat.
"Kami keturunan Raden Wijaya, masih berpijak kokoh di bumi ini.
Kecerdasan Hayam Wuruk masih menjadi nafas dan denyut nadi kami sehari-hari.