"Serahkan saja kitab yang kau miliki! Atau..."
"Atau apa?"
"Atau kau mampus!" jawab orang yang masih di atas kuda ketus. Selesai berkata demikian orang tersebut langsung meluncur dengan pukulan beruntun. "Ciaaat!" Rupanya dia telah mengambil pelajaran dari kejadian kawannya tadi, sehingga ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Sekalipun sudah mendesak dengan hebat, namun tidak ada satu pun pukulan yang berhasil mengenai sasaran. Ia terus bernafsu menyerang sekuat tenaga. Kawannya yang tadi terlempar kini mencabut golok dan ikut ambil bagian. Kedua orang bersenjata golok yang merupakan pendekar dari perkumpulan Golok Setan itu tanpa malu mengeroyok dengan sengit.
Maklum bahwa pihak lawan jelas serius ingin menghabisinya, maka sapu di tangan kanan Japa digunakan sebagai senjata, menangkis sabetan golok berkali-kali. "Baik kalau kalian memaksa!" ucap Japa, "Saya harus membela diri!" Dengan mengeluarkan ilmu silat yang telah dipelajarinya dari Eyang Dhara, ia memberikan perlawanan yang tak kalah sengit.
Oleh karena ternyata pemuda belia itu cukup tangguh maka kedua pengeroyok itu lalu mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka, yakni ilmu silat Golok Momok Kerot. Japa mampu mengimbangi kepandaian mereka, bahkan ia dua kali berhasil menyarangkan pukulan ujung sapu ke kepala mereka. Gebukan itu cukup membuat lawan tanpa malu menjerit dan terus meringis kesakitan.
Dalam beberapa gebrakan saja kedua pendekar kawakan itu telah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh tongkat sapu yang meliuk-liuk di depan wajah mereka. Jelas mereka berada dalam kondisi bahaya. Sementara Japa masih nampak tenang sekali, seolah ia masih sedang melakukan pemanasan, belum pertarungan yang sesungguhnya.
Pada suatu momen, Japa mengeluarkan seruan dan sapu yang telah dialiri tenaga dalam itu ia pakai menyodok dan tepat secara bergantian mengenai dada kedua lawannya.
Kedua pengeroyok mengeluarkan jeritan ngeri dan tersungkur di tanah sambil memuntahkan darah. seorang berpakain bangsawan yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan merasa terkejut dengan wajah pucat, betapa dua pendekar yang ia andalkan telah kalah, maka ia pun memilih pergi menyingkir.
"Anak muda," kata seorang lawan setelah berhasil berdiri, "Kau hebat, maafkan kami!" Kemudian kedua pendekar itu dengan langkah sempoyongan menaiki kuda dan meninggalkan tempat itu.
Japa hanya mengangguk sambil kedua telapak tangannya ditangkupkan memberi hormat.