Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (22): Warisan Kitab Pusaka

8 Juli 2024   05:59 Diperbarui: 8 Juli 2024   06:08 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Tatkala bangun pagi, Japa merasa ada yang janggal. Tidak seperti biasanya. Ia tidak melihat Eyang Dhara, hingga hampir tengah hari. Tidak ada satu pun petunjuk ke mana perginya kakek sakti itu. Hanya saja, Eyang Dhara semalam memberikan sebuah bungkusan kepadanya sambil berkata, "Aku titipkan ini padamu, Japa!"

Bocah yang kini telah beranjak remaja itu lalu berpaling ke sebuah kantung bekal yang tampaknya sengaja ditinggal. Barang yang dititipkan itu, ketika dilihat isinya, ternyata dua buah kitab. Yang satu tipis, dan yang satunya cukup tebal. Secarik kain tua digunakan untuk membungkus, di mana tercantum sebuah nama. Mungkin itu nama si pemilik kitab. Satu-satunya petunjuk yang bisa ditelusuri.

Ia tetap menunggu dan berharap Eyang Dhara kembali, tapi setelah melewati malam dan di keesokan harinya sosok sakti itu belum juga muncul, maka ia memutuskan untuk pergi mencarinya. Ia sempat menaruh curiga ketika kemarin kakek itu menitipkan barang, ada kesan seolah-olah mereka akan berpisah. Saat itu sebetulnya ia sudah berniat bertanya, tapi entah kenapa diurungkannya.

Sebagai murid yang baik, ia harus berusaha menjalankan amanah gurunya, yakni menemui seseorang bernama Suto Gumilar, satu-satunya nama di kain pembungkus kitab dan menyerahkan titipan itu. Namun sebelumnya, ia ingin pulang ke rumah yang telah ditinggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Ia ingin bertemu ayah dan saudara-saudaranya. Di samping tentu saja ia akan mencari keberadaan Eyang Dhara yang mendadak pergi secara misterius.

Kurang lebih setengah hari waktu dihabiskan untuk menempuh perjalanan pulang. Maghrib baru saja berlalu. Langit tampak murung dikurung mendung. Bulanpun enggan menampakkan diri, menyelinap di balik segumpal awan hitam. Gerimis turun tipis.

Rumah berhalaman luas itu tampak sepi. Jelas tidak berpenghuni. Meskipun bangunannya masih dalam kondisi bagus, tapi sangat kotor. tampak seperti tak terurus dalam jangka waktu lama. Tanaman liar dibiarkan tumbuh menyemak. Di seberang jalan terdapat hamparan sawah yang terpisahkan oleh sungai kecil.

Untuk beberapa saat Japa berdiam diri di halaman depan rumah, berteduh di bawah pohon Asem yang rindang. 'Apa semua penghuni rumah ini pindah?' batinnya bertanya-tanya. 'Kenapa rumah besar ini dibiarkan kosong dan tak terurus?'

Ia menunggu orang lewat yang mungkin bisa ditanyai mengenai pemilik rumah tersebut, ke mana ayah, ibu tiri, dan saudara-saudara tirinya berada. Setelah dirasa cukup lama dan tak ada satu pun orang lewat, maka ia memutuskan mendatangi rumah terdekat, rumah yang dulu paling sering dikunjunginya semasa kecil. Dari jarak sepuluh meter ia melihat tiga orang yang sedang berbincang-bincang santai di teras rumah.

"Selamat sore paman-paman! Mohon maaf saya mau bertanya?" ucap Japa setelah menyalami ketiga orang yang tampak menatapnya dengan pandangan penasaran.

"Selamat sore!" jawab Ki Sugyarta yang merupakan tuan rumah, "Silakan ki sanak, ada apa?"

"Maaf, apakah bapak tahu ke mana Raden Prawira pindah?" tanya Japa yang jelas membuat ketiga orang itu semakin penasaran.

"Ki sanak siapa dan dari mana?" Ki Sugyarta balik bertanya. Mimik mukanya berubah serius.

"Saya Japa Dananjaya. Saya adalah salah seorang putra Raden Prawira!"

"Ya Gusti," seru Ki Sygyarta nyaris tak percaya. "Japa yang dulu diculik orang di hutan?"

"Benar paman!"

 Gerimis di luar telah berubah menjadi hujan deras. Sekali waktu kilat menyambar-nyambar, kemudian diiringi halilintar menggelegar. Bukan main terkejutnya Japa setelah mendengar penuturan Ki Sugyarta dan kedua orang tamunya. Rumah Raden Prawira ternyata sudah sekitar sepuluh tahun dalam keadaan kosong. Pemiliknya, Raden Prawira dan semua keluarganya, meninggal dunia akibat terbunuh dalam serangan hebat sekelompok orang tak dikenal. Kejadiannya berselang tepat tiga hari setelah Japa dikabarkan diculik.

Salah satu berita yang tersebar di luar, itu dikarenakan Raden Prawira dituduh mencuri harta milik Ki Suto Gumilar. Konon harta Ki Suto itu berasal ayahnya, yang diperoleh dari rampasan perang yang disembunyikan oleh komplotannya. Lantaran itu pula, sekitar enam belas tahun yang lalu Ki Suto dibunuh. Kemudian istrinya yang tengah mengandung anak pertama dinikahi oleh Raden Prawira.

"Apa..apakah.., yang dimaksud istri Raden Prawira itu adalah yang bernama Roro Sekar?" tanya Japa dengan suara terbata-bata.

"Betul." Jawab Ki Sugyarta singkat, "Dia adalah ibumu?"

Japa lebih terkejut ketika menyadari bahwa itu artinya Raden Suto Gumilar adalah ayah kandungnya, bukan Raden Prawira. Semua orang yang mendengar hal itu pun bisa menyimpulkannya sendiri.

"Kamu sangat beruntung Japa!" sambung Ki Sugyarta, "Seandainya kamu tidak diculik, kemungkinan besar kamu juga akan menjadi korban pembantaian itu!"

Japa menghela nafas panjang. Setelah hening beberapa saat. "Saya juga mendapat titipan untuk memberikan kantung ini kepada orang yang bernama Suto Gumilar. Yang ternyata adalah ayah kandung saya sendiri!"

Merasa kebingungan dengan keterangan aneh itu, ketiga orang itu pun menanyakan apa sebetulnya isi tas itu.

"Isinya kitab!" ucap Japa terus terang.

"Kitab? Boleh kami melihatnya!"

"Boleh, silakan!"

"Ha..! Inilah kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca!" seru Ki Sugyarta setelah membuka kantung.

"Negarakertagama!" timpal temannya.

"Benar! Dan yang satunya lagi kitab Sakti Mandraguna!"

Seorang lainnya mengajukan pertanyaan, "Bagaimana kamu bisa mendapatkan kitab-kitab ini? Aku pernah dengar cerita bahwa kitab ini diperebutkan banyak pendekar di dunia persilatan!"

"Aku dapat titipan ini dari Eyang Dhara," jawab Japa.

"Apa kitab ini hanya satu-satunya?" tanya seseorang.

"Ini mungkin salinannya, tapi yang asli sampai sekarang tidak pernah ditemukan!" sahut seorang tamu Ki Sugyarta, "Aku pernah dengar memang ada beberapa salinannya, tapi sudah mengalami beberapa perubahan, karena ada upaya dari orang-orang yang ingin menyesuaikan isinya dengan keinginan mereka! Tapi upaya itu justru menghasilkan kejanggalan, meskipun dengan tingkatan mutu yang tampak seolah-olah lebih tinggi!"

"Sebentar, kamu bilang bahwa kitab ini hendak kamu berikan kepada Raden Suto," urai Ki Sugyarta, "Yang adalah ayahmu yang sudah almarhum, berarti kitab ini adalah buatmu. Kamulah pewarisnya!"

"Hm.., benar juga!"

"Oh iya, Japa!" Seorang tamu bertanya, "Kamu tadi bilang mendapatkan kitab ini dari Eyang Dhara, siapakah dia?"

***

Keesokan harinya, Japa membersihkan rumah Raden Prawira. Warga kampung di situ menjadi saksi bahwa dirinyalah yang paling berhak memiliki rumah itu. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang berani menempati, khawatir kalau akan disangkut-pautkan dengan soal penggelapan harta rampasan perang. Mereka yang peduli juga mengingatkan Japa agar selalu waspada jika ada orang asing.

"Demi keselamatanmu," pesan seorang tetangga yang baik hati, "Jangan pernah mengaku bahwa kamu masih kerabat Raden Prawira!"

"Jika ada tamu asing, sebaiknya kamu lari lewat pintu belakang!" pesan tetangga yang lain.

Sang surya baru saja tergelincir di ufuk barat, mengakhiri tugasnya menerangi semesta pada hari itu. Rumah yang sudah tampak lumayan bersih itu sedang didatangi oleh dua orang berkuda. Mereka berperawakan gagah dan berwajah cukup sangar.

Saat mendengar suara derap kaki kuda memasuki pelataran, Japa segera keluar menyambut dengan ramah. "Ada yang bisa saya bantu paman?"

Sambil masih berada di atas kuda, kedua orang yang berpakaian serba hitam itu tertawa ringan saat melihat seorang pemuda belia muncul dengan sapu di tangan. Untuk sejenak mereka merasa sangsi, benarkah pemuda itu memiliki kitab pusaka. Tapi mereka juga tidak mungkin meragukan informasi yang telah mereka terima dari seorang petinggi desa.

"Begini, anak muda, apakah ada orang lain yang tinggal di rumah ini?"

"Tidak ada, paman. Hanya saya!"

"Baik! Kalau begitu serahkan kitab pusaka yang kamu miliki kepada kami, maka kami akan membiarkanmu hidup dengan damai!"

"Maaf, kitab apa yang anda maksud?"

"Nah, dengan sikap pura-pura seperti ini artinya kamu sengaja mau membangkitkan emosi kami! Kamu mau melawan? Tapi terserah kalau kamu sudah bosan hidup!"

"Maaf saya tidak paham maksud anda?"

Lalu tanpa basa-basi lagi seorang meloncat dari kuda untuk langsung mengirimkan tendangan ke arah kepala. Tendangan yang cepat dan penuh tenaga dalam.

Japa memapak tendangan itu dengan telapak tangan kiri tanpa sedikitpun merubah posisi tubuhnya, bahkan tanpa memasang kuda-kuda. Anehnya ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

Sementara si penyerang terpental ke belakang dan telapak kakinya terasa kesemutan hingga sebatas lutut. Ia dan kawannya jelas terkejut melihat bahwa ternyata mereka terlalu memandang sebelah mata.

"Maaf siapakah tuan-tuan ini, kenapa tiba-tiba menyerang saya?" tanya Japa tetap santun.

"Serahkan saja kitab yang kau miliki! Atau..."

"Atau apa?"

"Atau kau mampus!" jawab orang yang masih di atas kuda ketus. Selesai berkata demikian orang tersebut langsung meluncur dengan pukulan beruntun. "Ciaaat!" Rupanya dia telah mengambil pelajaran dari kejadian kawannya tadi, sehingga ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.

Sekalipun sudah mendesak dengan hebat, namun tidak ada satu pun pukulan yang berhasil mengenai sasaran. Ia terus bernafsu menyerang sekuat tenaga. Kawannya yang tadi terlempar kini mencabut golok dan ikut ambil bagian. Kedua orang bersenjata golok yang merupakan pendekar dari perkumpulan Golok Setan itu tanpa malu mengeroyok dengan sengit.

Maklum bahwa pihak lawan jelas serius ingin menghabisinya, maka sapu di tangan kanan Japa digunakan sebagai senjata, menangkis sabetan golok berkali-kali. "Baik kalau kalian memaksa!" ucap Japa, "Saya harus membela diri!" Dengan mengeluarkan ilmu silat yang telah dipelajarinya dari Eyang Dhara, ia memberikan perlawanan yang tak kalah sengit.

Oleh karena ternyata pemuda belia itu cukup tangguh maka kedua pengeroyok itu lalu mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka, yakni ilmu silat Golok Momok Kerot. Japa mampu mengimbangi kepandaian mereka, bahkan ia dua kali berhasil menyarangkan pukulan ujung sapu ke kepala mereka. Gebukan itu cukup membuat lawan tanpa malu menjerit dan terus meringis kesakitan.

Dalam beberapa gebrakan saja kedua pendekar kawakan itu telah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh tongkat sapu yang meliuk-liuk di depan wajah mereka. Jelas mereka berada dalam kondisi bahaya. Sementara Japa masih nampak tenang sekali, seolah ia masih sedang melakukan pemanasan, belum pertarungan yang sesungguhnya.

Pada suatu momen, Japa mengeluarkan seruan dan sapu yang telah dialiri tenaga dalam itu ia pakai menyodok dan tepat secara bergantian mengenai dada kedua lawannya.

Kedua pengeroyok mengeluarkan jeritan ngeri dan tersungkur di tanah sambil memuntahkan darah. seorang berpakain bangsawan yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan merasa terkejut dengan wajah pucat, betapa dua pendekar yang ia andalkan telah kalah, maka ia pun memilih pergi menyingkir.

"Anak muda," kata seorang lawan setelah berhasil berdiri, "Kau hebat, maafkan kami!" Kemudian kedua pendekar itu dengan langkah sempoyongan menaiki kuda dan meninggalkan tempat itu.

Japa hanya mengangguk sambil kedua telapak tangannya ditangkupkan memberi hormat.

bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun