Sambil masih berada di atas kuda, kedua orang yang berpakaian serba hitam itu tertawa ringan saat melihat seorang pemuda belia muncul dengan sapu di tangan. Untuk sejenak mereka merasa sangsi, benarkah pemuda itu memiliki kitab pusaka. Tapi mereka juga tidak mungkin meragukan informasi yang telah mereka terima dari seorang petinggi desa.
"Begini, anak muda, apakah ada orang lain yang tinggal di rumah ini?"
"Tidak ada, paman. Hanya saya!"
"Baik! Kalau begitu serahkan kitab pusaka yang kamu miliki kepada kami, maka kami akan membiarkanmu hidup dengan damai!"
"Maaf, kitab apa yang anda maksud?"
"Nah, dengan sikap pura-pura seperti ini artinya kamu sengaja mau membangkitkan emosi kami! Kamu mau melawan? Tapi terserah kalau kamu sudah bosan hidup!"
"Maaf saya tidak paham maksud anda?"
Lalu tanpa basa-basi lagi seorang meloncat dari kuda untuk langsung mengirimkan tendangan ke arah kepala. Tendangan yang cepat dan penuh tenaga dalam.
Japa memapak tendangan itu dengan telapak tangan kiri tanpa sedikitpun merubah posisi tubuhnya, bahkan tanpa memasang kuda-kuda. Anehnya ia masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Sementara si penyerang terpental ke belakang dan telapak kakinya terasa kesemutan hingga sebatas lutut. Ia dan kawannya jelas terkejut melihat bahwa ternyata mereka terlalu memandang sebelah mata.
"Maaf siapakah tuan-tuan ini, kenapa tiba-tiba menyerang saya?" tanya Japa tetap santun.