"Aku ketinggalan rombongan!" jawab gadis cantik itu.
"Keterlalaun sekali ketuanya!" seruku. "Kok bisa gak tahu anggotanya ketinggalan!"
Kami berkenalan. Gadis itu bernama Citra. Ia mengaku tadinya pergi ke sungai untuk buang air kecil. Setelah kembali ternyata rombongannya sudah berangkat, meninggalkannya.
"Kami pas naik tadi berpapasan dengan mereka di hutan cemara!" kata Tejo sambil menampakkan rasa penuh kepedulian, "Sembrono sekali ketuamu itu! Untung kamu ketemu kami. Ayo kita turun, Dik!"
Mendung hitam yang menggantung di langit mulai menitikan butiran lembut, menerpah wajah kami. Kami dengan lebih pelan, berjalan beriringan, menempatkan Citra di antara kami.
"Tersenyum dianya padaku..." Farid mendendangkan lagu dengan suara merdu.
Aku dan Tejo menimpali, "Manis.., manis.., manis...!"
Kami terus berjalan tanpa berhenti untuk istirahat. Mungkin, sebagai laki-laki, kami merasa malu sama Citra andaikata sampai minta berhenti. Malu kalau dianggap kalah sama perempuan. Dalam hati kami berharap biar gadis itu yang lebih dulu usul untuk istirahat. Sialnya itu tidak terjadi.
Berkali-kali aku melirik ke arah Citra. barangkali kami semua diam-diam melakukan hal yang sama, yang akhirnya memotivasi dan memberikan energi tersendiri untuk terus melangkahkan kaki menyusuri jalan berbatu. Kendati dengan tertati-tati.
Aku merasa ada sesuatu yang menarik. Gadis cantik itu sepertinya masih tampak segar bugar. Wajahnya seperti baru saja keluar dari salon kecantikan, bahkan bibirnya tampak memakai lipstik. Merah ranum. 'Buat apa pakai lipstik di gunung?' batinku penasaran. Tapi aku ingat Aryo, yang juga berpenampilan rapi seperti pegawai negeri saat berkemah.
Ketika sampai di pos bawah, kami bertemu kembali dengan rombongan pecinta alam. Mereka sedang istirahat.