"Aku juga nunggu tenda saja!" imbuh Bayu. Jelas tergambar rasa takut di wajahnya. Ia memang yang paling penakut.
"Maaf, kalau begitu saya gak jadi ikut, Mas!" ujarku kepada dua orang tadi, "Gak enak kalau naik sendirian!" Aku pikir Tejo dan Farid pun pasti akan memilih tidak ikut.
Si ketua berkata lagi, "Tidak semua anggota kami juga mau ikut naik! Yang ikut cuma tiga belas orang! Bagaimana? Ada yang minat gabung?"
"Maaf, gak jadi, tapi terima kasih sudah mengajak kami!" jawabku. Aku sebetulnya tertarik, tapi tidak ingin nanti dianggap egois. "Hati-hati dan semoga lancar, Mas!" sambungku.
"Oke! Trima kasih!"
Kami semua berdiri seolah untuk mengantar kepergian mereka. Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menusuk. Bara api unggun perlahan-lahan berbaur dengan kelam. Kami mengakhiri konser dan masuk ke dalam tenda.
***
Bayu, pagi-pagi sekali membangunkan kami semua. "Kita ke sini bukan untuk pindah tidur!" Dia sudah berpakaian rapi. Rambutnya yang diminyaki tersisir rapi. Hemnya dimasukan celana dan mengenakan ikat pinggang.
Tejo tertawa melihat dandanannya. "Kamu itu tidak seperti anak camping!" celetuknya meledek anak Bojonegoro itu, "Lebih mirip petugas kehutanan!"
Kami pun tertawa mendengar lelucon yang sangat cocok itu. Belum pernah ada anak berdandan seformal seperti itu di perkemahan.
Pada saat masak untuk sarapan pagi, kami tertegun melihat hasil perbuatan Tejo. Panci dan wajan berubah bentuk. Namun anak itu tanpa sedikit pun merasa bersalah, malahan cekikikan.