Sewaktu menikmati roti dan kopi hangat, Farid tiba-tiba berkata bahwa ia semalam sebenarnya juga ingin ikut naik ke Welirang.
"Bagaimana kalau naik sekarang?" tantang Tejo.
"Boleh! Siapa takut!" Farid menampakan wajah serius.
Aku mengambil ransel, mengisi dengan air minum dan roti. "Ayo berangkat! Kita naik semampunya saja, tidak harus sampai puncak, dan turun lagi sebelum malam!"
Tejo dan Farid seolah tidak percaya dengan keputusanku yang mendadak itu. Mereka sejenak tertegun dan saling melempar pandang.
"Ayo! Jangan cuma sesumbar!" dorong Aryo seolah memberi semangat. Ia dan Bayu tersenyum setengah meledek. "Ayo siapa takut!"
Tejo dan Farid beranjak dari duduknya dan meregangkan otot-otot seolah mau pemanasan. Malu untuk mundur.
Kedua anak Bojonegoro menunjukan sikap riang gembira. "Asyik, kita berdua nanti bisa bermain-main di sungai sambil nunggu cewek-cewek!" Aryo melontarkan sindiran ke kami yang berniat naik ke Welirang.
Aku, Tejo dan Farid, akhirnya nekad berangkat. Entah nanti kuat apa tidak, itu urusan belakang. Setelah berjalan sekitar dua puluh menit dari persimpangan, kami sampai di Pos Pet Bocor, jalanan berubah menjadi makadam. Jalan yang rusak di sana sini akibat sering dilalui mobil pengangkut belerang.
Dengan tetap mengikuti jalan yang terjal dan terus menanjak, sekitar tiga jam kemudian, kami tiba di Pos Kop-kopan. Pemandangan di sekitar sangat memesona, sehingga bisa melebur rasa lelah. Hawa dingin berkisar antara tiga belas sampai tujuh belas derajad Celsius. Beda di setiap ketinggian.
Dari pondokan menuju ke arah puncak Gunung Welirang, kami melewati hutan Cemara. Hutan tropis dan perdu. Istirahat lagi untuk yang ke sekian kalinya. Saat itu sekalian untuk menunaikan shalat duhur.