"Tidak, ma!" katanya dengan nada lirih. "Surat ini hanya untukku. Aku tidak ingin orang lain membacanya."
Kalau Nina sudah berkata seperti itu, Mamanya paham, percuma membujuk. Nina kukuh bahkan terlalu kukuh. Nina keras bahkan terlalu keras berpendirian. Sampai mati pun dia tidak akan berubah.
Pendirian yang kukuh itu terus dipertahankan sampai akhir hayatnya. Sejak Nina melahirkan bayi, seorang bayi laki-laki bertubuh montok dan sehat, kondisi tubuhnya terus menurun.. Murung dan penuh kerinduan. Hanya sesekali terlihat betapa kehadiran bayinya bisa memberi hiburan bagi dia yang tetap berkukuh ingin menunggu dalam kesendirian.
Kekukuhan hati gadis ini terlihat jelas pada akhir masa hidupnya. Pada mamanya dia minta agar calon suaminya itu dicari dan diajak ke rumah ini, dia ingin menunjukkan anak mereka berdua. Sayangnya Nina tetap tidak mau mengatakan siapa laki-laki itu dan di mana.
"Aku telah berjanji tidak akan mengatakan namanya pada siapa pun," begitu jawabnya, ketika mamanya bertanya bagaimana dia bisa mencari laki-laki itu kalau Nina tidak mau mengatakan siapa namanya dan di mana alamatnya.
"Aku yakin, suatu ketika nanti dia akan datang ke sini, karena begitulah dia berjanji kepadaku. Mama harus mewakili aku menunjukkan anakku padanya!"
Apalagi yang bisa dilakukan kecuali semakin terisak.
Sedangkan Nina, sejak kalimatnya yang terakhir ini, tidak pernah berbicara lagi. Cuma tangannya yang putih dan pucat selalu tertumpang di atas tangan anaknya yang tidur pulas tangan di sampingnya.
Nina akhirnya pergi. Pergi dengan seribu misteri.
Betapa kukuh pendirianmu, Nina, bisik sang mama berkali-kali ketika menyadari putrinya telah pergi. Sambil  menggendong cucu satu-satunya, wanita malang itu berikrar di depan jenasah putrinya:
"Pesanmu akan kujaga sampai akhir hayatku, nak! Pergilah dengan tenang. Semoga rindu dan duka yang kau titipkan padaku, kelak akan mendapat jawabannya."