"Apa? Jadi engkau membela putrimu yang tidak tahu diuntung itu? Engkau rupanya berkomplot dengan putrimu dalam hal ini."
"Tidak! Aku tidak berkomplot dengan Nina. Aku juga ingin mendengar keterangan dari Nina tetapi kalau papa tetap dengan cara papa yang serudak-seruduk macam itu, papa tidak akan pernah mendapat keterangan dari Nina. Papa tahu sifat anakmu itu, kan? Sama seperti sifatmu sendiri, keras kepala dan tidak mau dikasari."
"Persetan dengan sifatnya!" kata laki-laki itu dengan keras. "Pokoknya kalau sekarang dia tidak mau mengaku, jangan harap aku mau mengurusnya lagi. Aku tidak sudi lagi menganggap dia putriku. Lebih baik tidak punya putri, dari pada punya putri yang bisanya membikin malu orang tua."
Laki-laki itu mengarahkan pandangannya pada Nina.
"Ayo, Nina! Cepat katakan siapa laki-laki itu. Jangan bikin kesabaranku semakin habis. Kau bisanya cuma menyusahkan dan mempermalukan diriku."
Alih-alih menjawab, Nina yang tubuhnya bergetar ketakutan malah menyeret mamanya masuk ke kamarnya.
"Hei!" bentak sang papa berusaha mencegah tetapi istrinya malah setuju dengan tindakan putrinya. Tentu saja dirinya semakin berang.
"Baik," katanya dengan suara keras, "mulai detik ini aku tidak akan mengurusi kalian berdua lagi. Kalian urus sendiri persoalan ini. Aku tidak mau tahu lagi."
Belum habis kata-katanya pintu kamar putrinya sudah tertutup. Putri dan istrinya menghilang ke dalam kamar.
Kandungan Nina semakin membesar, sekarang lebih dari tujuh bulan. Nina berhenti sekolah. Kehidupan keluarga itu berubah drastis. Hubungan harmonis di antara mereka, seakan-akan lenyap begitu saja, terutama hubungan sang papa dengan Nina. Sejak pertengkaran di ruang tamu itu, keduanya tidak lagi pernah bercakap-cakap.
Cuma dengan mamanya Nina mau bercakap-cakap.