Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Satu Cinta Tiga Duka

17 Maret 2021   07:02 Diperbarui: 17 Maret 2021   07:07 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu Cinta Tiga Duka
Tri Budhi Sastrio

Cinta bisa bahagia bisa juga duka.
Tetapi tetaplah selalu berani mencinta.

"Ma, cari dia, bawa ke sini. Aku ingin bicara. Lima menit saja cukup, Ma! Aku ingin tunjukkan pada dia, bahwa anak di sebelahku ini adalah juga anaknya."

Suara gadis cantik yang pucat itu terasa bergetar lemah. Sementara wanita setengah baya yang dipanggil "Ma", sejak tadi tak kuasa membendung air mata. Naluri wanita dan naluri keibuannya, tahu persis apa yang sedang berkecamuk dalam dada putrinya.

Nina memang gadis yang malang dan kurang beruntung. Sejak menginjak dewasa, sifatnya yang pendiam dan tertutup, membuatnya kurang banyak punya teman. Akibatnya, seperti sudah bisa diduga sebelumnya, Nina menganggap dunia tidak lebih luas dari kamar pribadinya.

Cuma untungnya, Nina kebetulan dilahirkan di keluarga yang cukupan, sehingga sedikit banyak sifat tertutupnya tidak terlalu membuat dirinya terasing dalam pergaulan tetapi untuk satu hal, Nina benar-benar terasing.

Satupun, gadis yang boleh dibilang berparas lumayan ini, tidak mempunyai teman khusus. Semua terbatas sebagai teman biasa, bertemu waktu masuk sekolah, dan kemudian berjauhan lagi sewaktu pulang dan mengurung diri di kamar.

Papanya, yang termasuk orang yang kurang pedulian, semakin menambah parah sifat tertutup Nina.

"Aku malah suka gadis yang bersifat seperti ini," begitu  sang papa selalu memberikan pendapat kalau istrinya mendesak agar mencarikan jalan keluar mengatasi sifat Nina yang terlalu pemalu itu.

"Aku tidak suka gadis-gadis yang senangnya kelayapan dan berteman dengan banyak lelaki. Bukankah aku dulu memilih mama karena mama gadis yang pendiam dan betah di rumah?" begitu dia biasa menambahkan.

"Aku bukan menginginkan papa berusaha membuat  anak kita ini menjadi suka kelayapan dan berteman dengan banyak lelaki, pa," sang istri biasanya menangkis seperti ini. "Aku cuma ingin papa sedikit memberi perhatian lebih banyak pada Nina, sehingga tidak semakin tenggelam pada kebiasaannya yang sekarang ini, mengurung diri seharian di kamar. Ke sekolah pun dia tampak setengah terpaksa. Tidak kulihat gairah ingn sekolah seperti teman-teman gadis sebayanya. Kemudian tentang aku. Memang benar aku tidak suka kelayapan dan keluyuran tetapi aku kan tidak tertutup dalam pergaulan. Aku punya banyak teman, baik wanita maupun pria. Tanpa punya teman akan jadi apa sih anak gadis kita ini?"

Kalau sudah begini, perdebatan biasanya berlanjut, meskipun pada akhirnya, sang suamilah yang menang.

"Sudahlah, ma!" begitu biasanya sang suami meng-akhiri kemenangannya, "tiap orang punya ciri sifat masing-masing. Kita tidak perlu mengubah sifat Nina karena sifat ini tidak jelek dan tidak merugikan siapa-siapa."

"Memang tidak merugikan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri!" sang istri membalas.

Memang itulah yang terjadi kemudian. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja Nina menyatakan bahwa dirinya mencintai seorang laki-laki. Mengejutkan, tapi juga sekaligus menggembirakan, terutama bagi mama Nina. Dia tahu persis, apa itu cinta, karena paling tidak dia sendiri pernah mengalaminya. Meskipun pada akhirnya, tidak perduli pria atau wanita, semuanya akan kembali lagi pada sifatnya yang asli setelah menikah, tetapi jelas, akan ada perubahan sikap begitu mereka mulai jatuh cinta.

Begitu juga yang diharap wanita itu. Dia berharap dengan jatuh cinta, sifat tertutup putrinya yang keterlaluan akan berubah. Paling tidak untuk sementara ini.

Memang ada perubahan, meskipun Nina ternyata merahasiakan mati-matian, siapa laki-laki pujaannya itu.

"Lho, kan tidak ada salahnya menceritakan pada papa siapa laki-laki yang engkau cintai itu. Teman sekolahmu barangkali ya?" begitu sang papa membujuk setelah berkali-kali Nina menolak memberi keterangan siapa laki-laki berhasil yang merebut hatinya, dan memberi perubahan cukup besar pada sifat tertutupnya itu.

Nina biasanya menggeleng.

"Tidak sekarang, Pa!" begitu jawabnya selalu sambil seperti biasa, masuk ke kamar dan di sana berjam-jam.

Usaha mamanya juga berjalan tidak lancar. Nina selalu menolak memberi keterangan. Padahal ketika pertama kali memberitahu pada mamanya kalau dia sedang jatuh cinta, mamanya senang setengah mati. Anggapnya berakhir sudah segala sifat tertutup putrinya itu. Ternyata dia hanya setengah benar...

Nina masih kukuh dengan sifat tertutupnya meskipun ada banyak perubahan sejak pernyataannya itu.

Nina sekarang senang dan mulai sering memutar lagu-lagu bertema cinta. Di kamar mandi pun, senandung-senandung pujaan pada cinta, selalu melantun. Mamanya yang sering diam-diam mencuri dengar, tersenyum gembira. Tidak pernah sebelumnya Nina bersnandung macam itu, meskipun di kamar mandi sekali pun.

Hari-hari terus berlalu. Usaha kedua orang tua ini untuk mengorek keterangan dari putrinya tetap belum berhasil. Nina benar-benar penyimpan rahasia yang hebat. Tidak banyak wanita yang bisa berbuat semacam itu tetapi bagaimanapun juga, terutama bagi sang mama, perubahan-perubahan itu sudah sangat berarti.

Kemudian kejutan yang kedua datang.

Dengan berani dan ini sangat berlawanan dengan sifat tertutupnya selama ini, Nina memberitahu bahwa dirinya hamil dan laki-laki pujaannya, tidak lama lagi akan segera menikahinya.

Mungkin jika ada halilintar menyambar di siang bolong kedua pasangan orang tua itu tidak akan terkejut seperti waktu itu.

"Hah?" sang papa sampai terlonjak dari tempat duduknya ketika pernyataan mengejutkan itu meluncur lancar dari bibir anak gadisnya yang memang sengaja meminta mereka berdua berkumpul di ruang tamu.

Sedangkan sang mama, yang jelas tidak kalah terkejut dari suaminya, cuma bisa membelalak tidak percaya.

Nina sendiri mengerutkan kening, sepertinya heran melihat sikap dua orang tuanya.

"Lho, kenapa pa? Kenapa ma?" tanyanya malah.

"Kenapa?" Kau bertanya kenapa setelah menyampaikan itu?" tanya sang papa dengan suara keras. "Tidak tahukah engkau....."

Laki-laki ini menghentikan kata-katanya karena  gamitan istrinya.

"Sabar pa!" desis istrinya lembut.

"Bagaimana bisa   bersabar kalau dia melakukan hal sinting semacam ini?" balas sang suami, tanpa sedikitpun berusaha menahan rasa marahnya. Kemudian kembali pada anak gadisnya, yang tampak tetap tidak mengerti mengapa kedua orang tuanya, terutama ayahnya, marah mendengar kabar yang baginya merupakan kabar gembira itu.

"Tahukan engkau apa artinya hamil bagi seorang anak gadis yang belum menikah? Sadarkah kamu akan arti semua ini? Kehormatanmu juga kehormatan kedua orang tuamu yang sedang dipertaruhkan untuk, Nina? Kamu ..."

Mungkin karena terlalu emosi laki-laki itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Mukanya berubah merah padam, sementara nafasnya memburu.

"Nina," sang istri yang rupanya mulai menguasai diri kembali, menyela, sambil tetap berusaha berbicara setenang mungkin meskipun jelas sekali betapa dia sangat tidak tenang. "Siapa laki-laki itu, nak?" Kami ingin bertemu dengannya secepat mungkin."

"Untuk apa, ma?" tanya Nina polos.

Sekarang kesabaran sang papa benar-benar sampai batasnya. Dia yang sudah berusaha mengendalikan emosi sekuat tenaga, tidak tahan lagi mendapat jawaban begitu enteng dari anak gadisnya.

Sambil menggebrak meja, laki-laki ini bangkit dari duduknya. Nina, tidak kecuali mamanya, terlonjak dari tempat duduknya. Mungkin mereka berdua sama sekali tidak menyangka kalau sang papa akan menggebrak meja.

"Kau katakan untuk apa? Setan engkau! Katakan itu sekali lagi, kuhajar mampus kamu. Setelah kau coreng arang di mukaku, engkau masih bisa menjawab untuk apa? Ayo katakan siapa laki-laki itu? Akan kuseret dia ke sini, segera menikahimu atau kuhancurkan kepalanya?"

Sekarang Nina yang takut, mukanya berubah pucat, dan segera dia bergerak mendekati ibunya, memeluknya mencari perlindungan. Wanita itu membalas rangkulan putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Papa tidak bisa marah-marah sebelum semua perssoalan menjadi jelas. Kemarahan tidak pernah bisa menyelesaikan masalah."

 "Apa? Jadi engkau membela putrimu yang tidak tahu diuntung itu? Engkau rupanya berkomplot dengan putrimu dalam hal ini."

"Tidak! Aku tidak berkomplot dengan Nina. Aku juga ingin mendengar keterangan dari Nina tetapi kalau papa tetap dengan cara papa yang serudak-seruduk macam itu, papa tidak akan pernah mendapat keterangan dari Nina. Papa tahu sifat anakmu itu, kan? Sama seperti sifatmu sendiri, keras kepala dan tidak mau dikasari."

"Persetan dengan sifatnya!" kata laki-laki itu dengan keras. "Pokoknya kalau sekarang dia tidak mau mengaku, jangan harap aku mau mengurusnya lagi. Aku tidak sudi lagi menganggap dia putriku. Lebih baik tidak punya putri, dari pada punya putri yang bisanya membikin malu orang tua."

Laki-laki itu mengarahkan pandangannya pada Nina.

"Ayo, Nina! Cepat katakan siapa laki-laki itu. Jangan bikin kesabaranku semakin habis. Kau bisanya cuma menyusahkan dan mempermalukan diriku."

Alih-alih menjawab, Nina yang tubuhnya bergetar ketakutan malah menyeret mamanya masuk ke kamarnya.

"Hei!" bentak sang papa berusaha mencegah tetapi istrinya malah setuju dengan tindakan putrinya. Tentu saja dirinya semakin berang.

"Baik," katanya dengan suara keras, "mulai detik ini aku tidak akan mengurusi kalian berdua lagi. Kalian urus sendiri persoalan ini. Aku tidak mau tahu lagi."

Belum habis kata-katanya pintu kamar putrinya sudah tertutup. Putri dan istrinya menghilang ke dalam kamar.

Kandungan Nina semakin membesar, sekarang lebih dari tujuh bulan. Nina berhenti sekolah. Kehidupan keluarga itu berubah drastis. Hubungan harmonis di antara mereka, seakan-akan lenyap begitu saja, terutama hubungan sang papa dengan Nina. Sejak pertengkaran di ruang tamu itu, keduanya tidak lagi pernah bercakap-cakap.

Cuma dengan mamanya Nina mau bercakap-cakap.

"Mana calon suamimu itu, nak?" begitu wanita itu sering bertanya pada putrinya.

"Dia pasti akan datang, ma!" selalu begitu jawab Nina. "Dia mengatakan sangat cinta padaku seperti aku pun sangat cinta pada dirinya."

"Tetapi siapa laki-laki itu, nak? Kau kan harus  memberitahu mamamu?"

Tetap kukuh dengan pendiriannya, Nina menolak.

"Nina tidak ingin setelah mama tahu, mama bilang papa. Nina khawatir kalau papa tahu, papa akan bertengkar dan marah-marah. Nina tidak ingin itu terjadi."

          "Mama tidak akan memberitahu papamu, nak!"

"Dia akan datang ke sini, setelah semua urusannya beres, begitu janjinya padaku, ma!" katanya menolak.

Kalau sudah begini wanita itu cuma bisa diam. Bagi seorang ibu keadaan anaknyalah yang sebenarnya paling penting. Segala macam kehormatan, harga diri, martabat dan pertimbangan lain akan mengalah pada satu hal, yaitu keadaan anaknya.

Seorang ibu akan berbahagia kalau melihat anak-nya berbahagia. Begitu juga dengan wanita itu. Akhirnya dia pasrah dan merasa ikut berbahagia, karena ternyata Nina tampak lebih bahagia dengan keadaannya yang sekarang.

Nina dengan lancar akan mengungkapkan seluruh perasaan hatinya, mengungkapkan perasaan cintanya, perasaan rindunya, cita-cita dan harapannya kalau kelak anaknya lahir. Sang mama mendengarkan itu semua dengan bibir mengulum senyum. Dirinya ikut berbahagia.

Semua  berakhir, ketika sepucuk surat tanpa alamat pengirim yang jelas, tiba di tangan Nina. Mamanya menyaksikan bagaimana tangan putrinya bergetar ketika membaca surat singkat itu tetapi Nina tidak membolehkan orang lain membaca surat itu. Tidak juga mamanya.

"Tidak, ma!" katanya dengan nada lirih. "Surat ini hanya untukku. Aku tidak ingin orang lain membacanya."

Kalau Nina sudah berkata seperti itu, Mamanya paham, percuma membujuk. Nina kukuh bahkan terlalu kukuh. Nina keras bahkan terlalu keras berpendirian. Sampai mati pun dia tidak akan berubah.

Pendirian yang kukuh itu terus dipertahankan sampai akhir hayatnya. Sejak Nina melahirkan bayi, seorang bayi laki-laki bertubuh montok dan sehat, kondisi tubuhnya terus menurun.. Murung dan penuh kerinduan. Hanya sesekali terlihat betapa kehadiran bayinya bisa memberi hiburan bagi dia yang tetap berkukuh ingin menunggu dalam kesendirian.

Kekukuhan hati gadis ini terlihat jelas pada akhir masa hidupnya. Pada mamanya dia minta agar calon suaminya itu dicari dan diajak ke rumah ini, dia ingin menunjukkan anak mereka berdua. Sayangnya Nina tetap tidak mau mengatakan siapa laki-laki itu dan di mana.

"Aku telah berjanji tidak akan mengatakan namanya pada siapa pun," begitu jawabnya, ketika mamanya bertanya bagaimana dia bisa mencari laki-laki itu kalau Nina tidak mau mengatakan siapa namanya dan di mana alamatnya.

"Aku yakin, suatu ketika nanti dia akan datang ke sini, karena begitulah dia berjanji kepadaku. Mama harus mewakili aku menunjukkan anakku padanya!"

Apalagi yang bisa dilakukan kecuali semakin terisak.

Sedangkan Nina, sejak kalimatnya yang terakhir ini, tidak pernah berbicara lagi. Cuma tangannya yang putih dan pucat selalu tertumpang di atas tangan anaknya yang tidur pulas tangan di sampingnya.

Nina akhirnya pergi. Pergi dengan seribu misteri.

Betapa kukuh pendirianmu, Nina, bisik sang mama berkali-kali ketika menyadari putrinya telah pergi. Sambil  menggendong cucu satu-satunya, wanita malang itu berikrar di depan jenasah putrinya:

"Pesanmu akan kujaga sampai akhir hayatku, nak! Pergilah dengan tenang. Semoga rindu dan duka yang kau titipkan padaku, kelak akan mendapat jawabannya."

Kemudian dengan langkah terhuyung, wanita itu ke luar menemui suaminya yang duduk terpekur di ruang tamu.

"Nina telah pergi, pa!"

Dengan suara tersendat ia memberitahu suaminya.

"Engkau tidak ingin melihat dia di kamarnya, pa? Masihkah bersikukuh dengan pendirianmu sendiri sedangkan dia telah pergi? Apa sih artinya kehormatan dan harga diri dibandingkan dengan kesedihan dan kehancuran hatiku ini?"

Laki-laki itu dengan pandangan kosong bangkit dari duduknya kemudian, seperti robot melangkah ke kamar putrinya. hal yang selama berbulan-bulan dicoba untuk tidak dilakukan. Sementara matanya yang kosong mulai menampakkan  bayang-bayang air mata.

Di depan tempat tidur putrinya, laki-laki yang kukuh ini berlutut mencium dahi putrinya sambil berbisik memelas, sementara air mata yang dicoba dibendungnya perlahan menetes tepat di atas muka putrinya.

"Aku cinta padamu, nak!" bisiknya.

Sayang Nina tidak   lagi mendengarnya. Nina telah pergi dengan rindu dan dukanya. (R-SDA-17032021)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun