"Mana calon suamimu itu, nak?" begitu wanita itu sering bertanya pada putrinya.
"Dia pasti akan datang, ma!" selalu begitu jawab Nina. "Dia mengatakan sangat cinta padaku seperti aku pun sangat cinta pada dirinya."
"Tetapi siapa laki-laki itu, nak? Kau kan harus  memberitahu mamamu?"
Tetap kukuh dengan pendiriannya, Nina menolak.
"Nina tidak ingin setelah mama tahu, mama bilang papa. Nina khawatir kalau papa tahu, papa akan bertengkar dan marah-marah. Nina tidak ingin itu terjadi."
     "Mama tidak akan memberitahu papamu, nak!"
"Dia akan datang ke sini, setelah semua urusannya beres, begitu janjinya padaku, ma!" katanya menolak.
Kalau sudah begini wanita itu cuma bisa diam. Bagi seorang ibu keadaan anaknyalah yang sebenarnya paling penting. Segala macam kehormatan, harga diri, martabat dan pertimbangan lain akan mengalah pada satu hal, yaitu keadaan anaknya.
Seorang ibu akan berbahagia kalau melihat anak-nya berbahagia. Begitu juga dengan wanita itu. Akhirnya dia pasrah dan merasa ikut berbahagia, karena ternyata Nina tampak lebih bahagia dengan keadaannya yang sekarang.
Nina dengan lancar akan mengungkapkan seluruh perasaan hatinya, mengungkapkan perasaan cintanya, perasaan rindunya, cita-cita dan harapannya kalau kelak anaknya lahir. Sang mama mendengarkan itu semua dengan bibir mengulum senyum. Dirinya ikut berbahagia.
Semua  berakhir, ketika sepucuk surat tanpa alamat pengirim yang jelas, tiba di tangan Nina. Mamanya menyaksikan bagaimana tangan putrinya bergetar ketika membaca surat singkat itu tetapi Nina tidak membolehkan orang lain membaca surat itu. Tidak juga mamanya.