"Tidak akan kukatakan sekarang! Tetapi nanti!"
Tuan Hadi Wiyono tidak memaksa. Harga dirinya menahannya.
Dalam perjalanan tidak banyak kejadian. Suasana memang ceria, tetapi tuan Hadi Wiyono kelihatan kurang  gembira. Mungkin insiden dengan pengemis tua atau mungkin juga karena sang istri tidak mau berterus terang menjadi penyebabnya. Di pelabuhan Ketapang, hari sudah  agak  sore. Sinar mentari sore menaburkan mutiara-mutiara indah di permukaan selat Bali. Tidak tampak perahu  nelayan  dan ini tidak mengherankan, karena selat Bali sedang menunjukkan  perbawanya  yang menggetarkan.  Meskipun gelombangnya tidak setinggi gunung tetapi  cukup membuat kapal-kapal ferry terombang-ambing.
"Ha, kebetulan ada kapal PJKA kosong. Kita bisa  naik dan menyeberang sekarang juga!"
"Tidak pak," nyonya Hadi Wiyono membuka suara, "kita  tidak akan menyeberang dengan kapal milik PJKA. Kita akan menyeberang dengan kapal tongkang."
Tuan Hadi Wiyono mengerutkan keningnya.
"Kau  sedang bergurau, bu!" kata tuan Hadi  Wiyono  tertawa kecut.
"Tidak, pokoknya aku memutuskan bahwa kita akan menyeberang dengan tongkang di sebelah sana itu."  Nyonya  Hadi Wiyono bersikeras.
"Hai, sejak kapan engkau menjadi seaneh ini. Kau perhatikan gelombang di tengah sana itu? Bukankah dalam perjalanan ke  Bali dua  tahun yang lalu engkau menyaksikan bagaimana tongkang  kecil  terombang-ambing tak menentu?  Kalau tidak salah ingat, kau mengatakan bahwa lebih  baik menunggu  dua atau tiga hari daripada memilih menyeberang  dengan kapal sekecil itu tetapi sekarang mengapa ...?"
"Ya, ibu ini aneh, mengapa harus memilih kapal  kecil kalau ada kapal yang lebih besar dan yang lebih aman!"  Putri tertuanya nyeletuk.
"Pokoknya kita menyeberang dengan tongkang, atau perjalanan ke Bali ini dibatalkan!" kata nyonya Hadi Wiyono tegas, tidak bisa ditawar-tawar.