Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Nasihat Seorang Pengemis

14 Maret 2021   15:55 Diperbarui: 14 Maret 2021   21:16 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://clipart-library.com/beggar-picture.html

Nasihat Seorang Pengemis
Tri Budhi Sastrio

Kecelakaan dan keberuntungan kadang kala
Hanya dipisah oleh lembar tipis pembatasnya!
Karenanya mendengarkan nasehat petuah
Bahkan dari orang yang dianggap rendah hina
Sering kali menyelamatkan diri kita!

Hari Sabtu. Pagi-pagi sekali seluruh keluarga Hadi Wiyono sudah bangun semua.  Mereka sibuk menyiapkan diri.  Rencana  hari ini melakukan perjalanan yang cukup jauh dan mungkin untuk beberapa hari lamanya belum kembali. Dari kantor, Hadi Wiyono mendapat cuti delapan hari. Tentu saja kesempatan semacam itu tidak disia-siakan. Sejak sebulan sebelumnya, Hadi  Wiyono telah  merundingkan hal itu dengan istrinya. Kemana harus pergi? Setelah melalui banyak perundingan dan pertimbangan akhirnya diputuskan pergi melancong ke Bali. Mereka sekeluarga sebenarnya sudah dua kali pergi ke Bali.

"Apa tidak bosan ke Bali, bu?" tanya Hadi Wiyono  pada istrinya. "Bukankah kita sudah pernah ke sana? Bahkan kalau tidak salah sudah dua kali pergi ke sana!"

"Tetapi kapan itu?" balas istrinya, juga dengan nada bertanya. "Empat tahun dan dua tahun yang lalu, bukan?"

Hadi Wiyono mengangguk-angguk membenarkan.

"Bali dua tahun yang lalu tentu tidak sama dengan Bali hari ini," sang istri melanjutkan. "Aku ingin melihat Bali hari  ini, pak, sambil sekaligus mengenang masa-masa lalu."

Hadi Wiyono menggelengkan kepalanya perlahan tanda kurang sepaham. Untung ketika  itu pandangan istrinya tidak tertuju padanya.

"Kau pikir Bali sekarang berbeda dengan Bali dulu.  Apanya yang berbeda? Ya, perubahan tentu saja ada.  Bahkan pada diri kita sendiri pun perubahan selalu terjadi. Sedetik yang lalu dan tepat pada detik ini saja, kita  berubah.  Paling tidak  umur  bertambah sedetik  tetapi  perubahan  itu terlalu  kecil  untuk  diperhatikan.  Begitu  juga  dengan  Bali. Perubahan  memang  ada, tetapi perubahan itu  tentu  tidak  terlalu menyolok, bukan?"

"Menyolok atau tidak setiap perubahan tentu menarik dilihat," sang istri tetap pada pendapatnya. Hadi Wiyono mengangkat tangan tanda menyerah.

"Baiklah, baiklah," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku justru ingin melihat Bali dengan perubahan-perubahannya. Siapa di antara kita berdua yang melihat  atau berhasil  menemukan perubahan yang terjadi di Bali, lebih banyak dari yang lain, dialah yang terbaik."

"Setuju," kata  istrinya cepat. "Bahkan  aku  tidak  takut  bertaruh denganmu. Aku yakin, diriku akan menemukan  lebih banyak dari engkau."

"Belum tentu. Engkau bukan orang yang terlalu  cermat tetapi baiklah! Apa taruhannya?"

"Hmm, apa  ya?" istrinya bergumam.  "Bagaimana   kalau sebuah hak?"

Hadi Wiyono mengerutkan keningnya, sekali pun bibirnya tetap tersenyum. Dia tahu dengan pasti, istrinya seorang wanita dengan karakter tidak mau kalah. Sejak masih  pacaran  dulu, calon  istrinya  selalu  kukuh  pada  pendapatnya sendiri, sekalipun waktu  itu  pengungkapannya  tidak setandas sekarang.  Banyak kali ia terpaksa mengalah  terhadap kehendaknya.

Ketika  resmi  menikah  dan  mengarungi kehidupan  keluarga  bersama, sifat  tidak  mau  mengalahnya semakin   jelas terlihat. Pokoknya dia benar-benar wanita dengan keahlian  membantah. Hanya dengan alasan yang benar-benar tepat dan tidak mungkin dibantah, dia mau mengalah.

"Sebuah  hak?" ulang Hadi Wiyono. "Hak apa?"

"Hak untuk  menentukan ke mana kita  pergi  berlibur tahun depan," jawab istrinya. Mula-mula Hadi Wiyono seperti terperangah dan tidak menduga kalau hak itu yang akan dijadikan taruhan tetapi  sesaat  kemudian, laki-laki ini tersenyum lebar sebelum akhirnya dia tertawa kecil.

"Kau tidak setuju? Atau kau  takut  barangkali?"  tanya istrinya sebagai tanggapan atas sikapnya.

"Takut?  Sejak kapan aku takut bertaruh denganmu? Sama sekali  tidak takut tetapi samar-samar aku merasakan sesuatu  yang tidak adil atau lebih tepatnya suatu siasat."

"Kau memang pandai berdalih, pak," kata sang  istri.  "Kau memang  bisa  saja mengatakan tidak takut, tetapi  nyatanya  engkau tidak berani bukan? Kau merasakan sesuatu yang tidak adil, apanya yang  tidak  adil? Kalau berhasil mengamati lebih banyak dari aku, engkau menang. Sebaliknya kalau aku yang lebih  banyak maka  tentu  akulah yang menang. Apanya yang  tidak  adil  dengan taruhan ini?"

"Sekarang ini buktinya," kata Hadi Wiyono  tenang.  "Kalau engkau berhasil memenangkan taruhan itu,  tidak  ada masalah tetapi bagaimana kalau aku yang  berhasil  menang,  dan kemungkinan ini lebih besar dari sembilan puluh persen? Bagaimana?"

"Kalau engkau yang menang, hak menentukan liburan yang akan datang berada di tanganmu!"

"Justru di sinilah masalahnya yang sekarang terlihat jelas. Menang pun sebenarnya tidak berguna bagiku. Sekarang misalnya aku memutuskan  untuk  berlibur  ke Bogor, tetapi  kalau  engkau  tidak setuju  dan  bersikeras hendak ke Yogya,  pada  akhirnya kita akan berangkat ke Yogya. Hari ini mungkin engkau mengatakan tidak tetapi setahun lagi siapa yang bisa menjamin bahwa  engkau  tetap memegang janjimu? Tak seorang pun bisa menjamin!"

Sang istri tersenyum malu-malu. Sekali pun lebih  banyak tidak disadari tetapi dia tahu sangat sering dirinya membantah suaminya dan selama itu pula suaminya  selalu mengalah pada dirinya.

Putri tertua  mereka keluar dari kamar  dengan  rambut tersisir rapi tapi pakaiannya jelas kalau belum ganti.

"Kapan kita berangkat, bu?" tanyanya pada ibunya.

"Kalau  semuanya  sudah siap!" Hadi Wiyono  yang  menjawab. "Ibumu belum berdandan, menunggu kamu!" sambil berkata begitu, Hadi  Wiyono  melirik  istrinya.  Istrinya tersenyum membalas lirikan suaminya.

"Ayo, bu, dandan di kamarku saja!" ajak putrinya.

Wanita itu mengangguk dan bangkit dari duduknya.

 "Engkau juga harus segera bersiap-siap pak," katanya sebelum melangkah.

"Jangan khawatir! Sebentar saja aku selesai!" jawab Hadi Wiyono.

Rumah kembali hening tetapi kesibukan jelas ada.

Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya,  semuanya sudah siap. Berangsur-angsur semua perbekalan yang hendak mereka bawa diangkut dan dinaikkan ke atas Kijang station berwarna abu-abu itu.  Sopir keluarga Hadi Wiyono dan seorang  pembantu berkali-kali menaikkan tas-tas. Mereka berdua juga akan ikut serta.

Rumah memang akan ditinggalkan kosong tetapi dua hari sebelum keberangkatan, Hadi Wiyono sudah meminta  tolong kepada tetangga sebelah untuk sekedar melihat-lihat dan memperhatikan rumah mereka. Tentu saja tetangga sebelah tidak keberatan dengan permintaan sederhana itu.

Sepuluh menit  kemudian,  pintu pagar  dikunci  oleh  Hadi Wiyono  sendiri.  Setelah mengantongi kuncinya dan  sekali  lagi memandang  rumahnya,  Hadi  Wiyono  melangkah  ke  mobil  yang pintunya  terbuka.  Mesin Kijang  mendesis perlahan.  Halus dan meyakinkan.

Bulatan merah sudah semakin menyilaukan mata, ketika  kijang abu-abu mulai meluncur. Semua yang di  dalam kijang berseri-seri gembira. Perjalanan melancong selalu menggembirakan, apalagi bagi yang baru pertama kali mengunjungi  tempat  tujuan. Berbagai bayangan   keindahan  selalu mendatangkan kegembiraan bagi mereka.

Sekarang sudah sepuluh menit. Percakapan ringan  terdengar, sebelum  tiba-tiba  istri  Hadi  Wiyono  seperti  berseru  heran. Kemudian wanita setengah baya yang masih cantik itu, membuka dan memeriksa dompetnya.

"Ya, ampun,"  katanya kemudian pada suami  di  sebelahnya. "Obatku  ketinggalan,  pak! Padahal tadi  sudah  kusiapkan tetapi mungkin aku lupa memasukkan ke dompet!"

"Obat apa, bu?" tanya suaminya.

"Obat  dari  dokter lima hari yang lalu,"  jawab  istrinya. "Dokter mengatakan agar tidak lupa terus diminum  sampai obat itu habis sama sekali.  Bagaimana kalau kita kembali sebentar, pak?"

Hadi Wiyono mengangguk.

"Pak Kirman kita kembali dulu! Ada yang tertinggal"

Sopir menganggukkan kepalanya. Menyalakan lampu sein  kiri, merem  dan  meminggirkan kendaraan.   Setelah menunggu  beberapa  saat, dan keadaan  lalu lintas  dari  belakang sepi,  pak Kirman memutar mobilnya. Beberapa  saat  kemudian, mobil meluncur ke arah sebaliknya. Matahari  sekarang terang bersinar, menjanjikan hari yang cerah.

"Kok bisa lupa, bu?" tanya putri tertuanya.

"Ya, ya, aku sendiri juga heran," jawab sang ibu  tanpa menoleh ke belakang. "Padahal obat itu sudah disiapkan sejak tadi malam tetapi entah kenapa malah lupa dimasukkan ke tas tadi."

"Mungkin  ibumu  terlalu  sibuk  membayangkan  pulau  Bali sampai lupa dengan  obatnya,"  sekarang  Hadi   Wiyono  ikut menimbrung.

"Mungkin juga," jawab istrinya lembut sambil senyum.

Lalu lintas mulai sedikit ramai, sehingga  diperlukan waktu lebih lama untuk sampai ke rumah dibandingkan  dengan ketika mereka berangkat tadi.

"Kalian tidak usah turun, biar aku dan bapak yang turun dan ke  dalam," wanita setengah baya yang sekarang tampak lembut  itu berkata pada yang lain. Semuanya mengangguk. "Putar mobilnya sekalian pak Kirman!"

Sopir pun menganggukkan kepalanya. Hadi  Wiyono membuka pintu  pagar.  Setelah terbuka, keduanya melangkah masuk ke halaman.

"Hmm,  kukira  baru  lima hari yang akan  datang  bisa melihat  dan melangkah di halaman rumah ini, tidak tahunya,  baru setengah jam berpikir demikian, aku  terpaksa  harus  sudah melangkah di atasnya kembali."

Istrinya tersenyum mendengar gerutuan suaminya.  Dia tahu pasti, suaminya tentu tidak dan tidak akan pernah kesal pada dirinya, dia tentu sedang mencoba menggodanya.

"Tetapi mungkin ada juga hikmahnya, bu!" lanjut Hadi Wiyono.

"Hikmah apa, pak?" terpancing juga wanita itu oleh suaminya.

"Yah, misalnya saja, bukankah baru kali ini kita bisa berduaan yang betul-betul berduaan dalam rumah ini!"

"Wah engkau ada-ada saja!" balas sang istri.  Sekarang mereka berdua berada di depan pintu masuk.  Tanpa banyak menemui kesukaran pintu masuk terbuka  dengan  mudah.  Semuanya benar-benar  masih  seperti tadi. Memangnya perubahan  macam  apa yang bisa diharapkan untuk waktu sesingkat itu? Pintu kamar tidur utama yang juga dikunci, dengan mudah dibuka. Ternyata memang benar. Sebotol obat dengan label apotik tergeletak sendirian di atas meja rias.

"Wah  engkau benar-benar pelupa yang hebat, bu!" kata  Hadi Wiyono  yang  terus menyertai istrinya.  "Botol  obat tergeletak begitu jelas bisa sama sekali tidak tersentuh!"

"Aku sendiri juga heran, pak!" balas istrinya tanpa rasa tersinggung di dalamnya. "Tetapi mungkin seperti katamu tadi, kita rupanya ditakdirkan untuk suatu ketika  benar-benar berada berduaan dalam rumah ini!"

Sekarang Hadi Wiyono yang terpaksa tersenyum. Pernyataannya sendiri  digunakan untuk  menangkis  semua  olok-oloknya.

"Mungkin   pak  Kirman  sudah  selesai   memutar   mobilnya sekarang.  Ayo, kalau tidak ada apa-apa lagi yang perlu diambil, kita berangkat!"

"Ayolah!  Kukira sekarang benar-benar tidak ada lagi  yang tertinggal!"

Beberapa saat kemudian, mereka di halaman  kembali. Dan memang benar, mobil keluarga  mereka  sudah menunggu  di  depan. Setelah sekali lagi mengunci pintu  pagar, kedua pasangan suami-istri siap naik ke atas mobil.

Hanya saja entah  sejak kapan, dan mungkin cuma  para  penumpang yang berada di dalam mobil yang tahu, di depan sebelah kirii mobil berdiri seorang pengemis. Baru saja Hadi Wiyono membuka pintu mobil agar istrinya naik lebih  dulu, pengemis tua itu mendahului berkata:

"Kasihani pengemis tua, nyonya! Minta sedekah, nyonya!"

Yang sedikit mengherankan, mengapa pengemis tua  itu menujukan permintaannya pada nyonya Hadi Wiyono, tetapi tidak  pada tuan Hadi  Wiyono yang posisinya justru lebih  dekat  kepadanya? Rupanya  jarak lebih dekat bukan menjadikan keharusan bagi seorang pengemis meminta sedekah. Pengemis pun memang mempunyai kebebasan.  Tidak semua oran harus diminta sedekahnya. Tuan Hadi Wiyono mengerutkan kening tanda tidak senang. Dia   bukannya   tidak senang  karena  si   pengemis   menujukan permintaannya pada sang istri dan bukan pada dirinya. Bukan  itu! Bagi  dia,  pengemis  adalah parasit  dan  semua  parasit harus dibasmi. Parasit cuma bisa hidup dengan  merugikan  yang  lain. Kalau  dirinya  saja tidak bisa dihidupi, bagaimana  mungkin bisa memberi manfaat pada yang lain?

"Kasihani nyonya, pengemis tua, nyonya!"

Kalimat yang mungkin bisa menimbulkan iba bagi orang  lain, bagi tuan Hadi Wiyono malah menimbulkan rasa jengkel.  Seandainya dia sedang  berada  sendirian,  mungkin  pengemis itu sudah diusirnya.

"Ambilkan dompetku!" kata nyonya Hadi Wiyono  pada  salah seorang putrinya. Dompetnya memang dimasukkan  ke dalam tas besar tadi.

"Ah, engkau ini, bu!" seru tuan Wiyono kesal.

"Biarlah  pak!"  balas  istrinya  cepat,  tanpa  memberi kesempatan suaminya melanjutkan larangan yang lain.

"Ambilnya sulit, bu!" jawab putri tertuanya dari dalam.

"Ah, masa!" seru nyonya Hadi Wiyono. "Ayolah cepat!"

"Ini bu!"  kata putri tertuanya  beberapa  saat  kemudian sambil mengulurkan dompet berwarna kuning emas itu keluar. Dompet itu tampak mengembung gemuk. Tentu banyak uang di dalamnya. Wanita itu menerima dompetnya dan menarik selembar lima ribuan.

"Ini  pak!"  kata  nyonya Hadi  Wiyono  sambil  mengulurkan uang  pada pengemis tua di depannya.

"Terima kasih banyak nyonya," seru pengemis tua itu  dengan suara  lemah. Dia sedikit membungkukkan badannya ketika menerima uang. Nyonya Hadi Wiyono tersenyum.

"Hati-hati ya, pak!" pesannya kemudian. Nyonya Hadi Wiyono seperti khawatir pengemis tua itu tidak bisa menjaga dirinya dengan baik.

"Kalau sudah ayo berangkat, bu!" sela tuan Hadi Wiyono tidak sabar dan semakin kesal.

"Nyonya....." kata pengemis tua itu lirih, bersamaan dengan anggukan kepala wanita itu mengiakan ajakan suaminya.

"Ya?" kata nyonya Hadi Wiyono mengerutkan kening.

"Bisakah saya mengatakan sesuatu kepada nyonya? Saya ingin mengatakannya tanpa didengar oleh orang lain!"

Nyonya  Hadi Wiyono terperangah. Apalagi  suaminya.  Tuan  hadi Wiyono  tidak  sekedar  terperangah melainkan  juga marah besar. Dia yang memang pada dasarnya benci  pada  pengemis, sekarang  bencinya  semakin  menjadi-jadi, mendengar  bagaimana kurang ajarnya pengemis itu. Mulutnya  sudah hendak  memaki-maki pengemis itu sejadi-jadinya tetapi makian terpaksa ditelannya kembali, karena istrinya keburu berkata: "Mengapa tidak bapak katakan sekarang dan di  sini  saja?" Rupa-rupanya keterperangahan nyonya Hadi Wiyono tidak sama dengan suaminya.

"Bisa saja nyonya, tetapi sebaiknya nyonya sendiri yang mendengarnya, karena  yang lain tampaknya  tidak memahami  saya!"  Pengemis tua itu berkeras, sekali pun  suaranya tetap lemah dan lirih.

Untuk beberapa saat lamanya nyonya Hadi  Wiyono  terdiam. Beberapa pertimbangan berkelebat dalam benaknya. Ya, apa salahnya didengar kata-kata bapak tua ini sebentar, karena toh tidak ada. Paling-paling terlambat  sebentar.  Sekali pun singkat sempat  juga  wanita  itu  berdialog dengan hati dan pertimbangannya sendiri.

"Baiklah, pak! Ayo!" Ajaknya sambil melangkah ke  belakang mobil.  Dengan tertatih-tatih pengemis  tua  mengikuti  langkah nyonya  Hadi Wiyono, sementara di bibir  tersungging  senyuman yang sulit ditebak maknanya. Tuan Hadi Wiyono cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dia  sebenarnya ingin meledak saat itu, tetapi untunglah emosinya masih sanggup ditahan dan benar juga, tidak lebih dari satu menit diperlukan oleh nyonya Hadi Wiyono.

Pengemis  tua itu menatap mobil berwarna  abu-abu  meluncur menjauhi.  Pandangannya  bercampur beragam  perasaan.  Lalu siapakah  yang  menterjemahkan  makna dalam  pandangan  itu?  Tak seorang pun, kecuali mungkin bapak pengemis tua itu sendiri.

Di dalam mobil.

"Apa yang dikatakan pengemis tidak tahu diri  itu  padamu, bu?" tanya tuan Hadi Wiyono pada istrinya. Akhirnya laki-laki itu tidak tahan juga untuk tidak bertanya,  setelah sekian lama keadaan hening. Penumpang di belakang juga tidak banyak bersuara. Nyonya Hadi Wiyono tersenyum aneh.

"Tidak akan kukatakan sekarang! Tetapi nanti!"

Tuan Hadi Wiyono tidak memaksa. Harga dirinya menahannya.

Dalam perjalanan tidak banyak kejadian. Suasana memang ceria, tetapi tuan Hadi Wiyono kelihatan kurang  gembira. Mungkin insiden dengan pengemis tua atau mungkin juga karena sang istri tidak mau berterus terang menjadi penyebabnya. Di pelabuhan Ketapang, hari sudah  agak  sore. Sinar mentari sore menaburkan mutiara-mutiara indah di permukaan selat Bali. Tidak tampak perahu  nelayan  dan ini tidak mengherankan, karena selat Bali sedang menunjukkan  perbawanya  yang menggetarkan.  Meskipun gelombangnya tidak setinggi gunung tetapi  cukup membuat kapal-kapal ferry terombang-ambing.

"Ha, kebetulan ada kapal PJKA kosong. Kita bisa  naik dan menyeberang sekarang juga!"

"Tidak pak," nyonya Hadi Wiyono membuka suara, "kita  tidak akan menyeberang dengan kapal milik PJKA. Kita akan menyeberang dengan kapal tongkang."

Tuan Hadi Wiyono mengerutkan keningnya.

"Kau  sedang bergurau, bu!" kata tuan Hadi  Wiyono  tertawa kecut.

"Tidak, pokoknya aku memutuskan bahwa kita akan menyeberang dengan tongkang di sebelah sana itu."  Nyonya  Hadi Wiyono bersikeras.

"Hai, sejak kapan engkau menjadi seaneh ini. Kau perhatikan gelombang di tengah sana itu? Bukankah dalam perjalanan ke  Bali dua  tahun yang lalu engkau menyaksikan bagaimana tongkang  kecil  terombang-ambing tak menentu?  Kalau tidak salah ingat, kau mengatakan bahwa lebih  baik menunggu  dua atau tiga hari daripada memilih menyeberang  dengan kapal sekecil itu tetapi sekarang mengapa ...?"

"Ya, ibu ini aneh, mengapa harus memilih kapal  kecil kalau ada kapal yang lebih besar dan yang lebih aman!"  Putri tertuanya nyeletuk.

"Pokoknya kita menyeberang dengan tongkang, atau perjalanan ke Bali ini dibatalkan!" kata nyonya Hadi Wiyono tegas, tidak bisa ditawar-tawar.

"Hai ... hai ...!" seru tuan Hadi Wiyono sambil  menghela nafas  panjang. "Baiklah, kita akan menyeberang dengan tongkang. Pak Kirman, ayo kita ke pelabuhan yang sebelah sana itu!"

***

Keesokan harinya, di sebuah hotel di Denpasar.

Hari  masih  pagi tetapi tuan dan nyonya Hadi  Wiyono  sudah bangun. Mereka duduk di teras kamar yang mereka  sewa sambil menikmati kopi susu panas dan roti berselai.

Seorang pelayan mendatangi mengantarkan koran pagi, yang rupanya termasuk pelayanan pihak hotel. Tuan Hadi Wiyono menerima koran pagi itu dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih.

"Koran Bali Post tampaknya masih kalah dengan Surabaya Post, ya bu!" Hadi Wiyono memberi komentar koran yang dipegangnya.  Matanya tertuju pada halaman pertama. Komentar jelas ditujukan pada istrinya.

"Tetapi bagi penduduk Bali atau Denpasar khususnya, Bali Post tentu jauh  lebih baik dari Surabaya Post!" nyonya  Hadi Wiyono menangkis komentar suaminya.

"Ah, benar juga katamu dan hai, lihat ini!" seru  tuan Hadi  Wiyono  tiba-tiba. Berita di halaman pertama yang  dicetak dengan  judul  besar-besar, menarik perhatiannya,  bahkan sempat membuatnya berseru heran.

"Kapal  milik PJKA terbalik ketika merapat di  dermaga Gilimanuk. Cuma sebuah truk sempat keluar, yang lain terendam. Kejadian itu..... "

"Ya, Tuhan, kami bersyukur kehadirat-Mu,"  potong  nyonya Hadi Wiyono memotong kalimat suaminya.

"Orang mendapat musibah engkau malah bersyukur!" balas tuan Hadi Wiyono tidak mengerti.

"Aku bukan mengejek orang yang mendapat musibah  itu tetapi aku bersyukur karena keluarga kita selamat dari  kejadian itu.  Sekarang biar kuterangkan kepadamu kenapa  kemarin aku bersikeras naik kapal tongkang daripada naik kapal ferry milik PJKA  itu? Kau tentu heran dan mungkin marah padaku, bukan? Kau tahu aku sendiri sebenarnya takut sekali kemarin pak tetapi ..."

"Tetapi apa?" tanya tuan Hadi Wiyono tidak sabar.

"Tetapi aku percaya pada nasehat pengemis tua  yang  kuberi sedekah ketika  kita akan berangkat kemarin  pagi. Ia  berkata, kalau ingin tidak mendapat halangan jangan  menyeberang  dengan kapal besar katanya, menyeberanglah dengan kapal kecil! Ya Tuhan terima kasih  atas  berkat-Mu, dan pak pengemis tua, terima kasih atas nasehatmu!"

Tuan Hadi Wiyono ternganga mendengar keterangan seaneh itu. Koran di tangannya terkulai. Anak-anaknya masih tidur di kamar masing-masing. Apa yang bisa dikatakan  sekarang?  Dia  bisa membayangkan  dengan  jelas,  apa  yang  terjadi  seandainya  pak pengemis  tua itu tidak membisiki istrinya. Bukan saja  dia  akan kehilangan  mobilnya,  bahkan mungkin  kehilangan  nyawanya sekalian.

Dia  memang berterima kasih pada pengemis tua yang  kemarin itu tetapi pandangan dan citranya terhadap profesi pengemis  belum juga   berubah.  Pengemis adalah  parasit  dan semua parasit sebaiknya disingkirkan karena bukan saja tidak  berguna tetapi juga merugikan. Pendapat yang sekilas benar tetapi ilmu pengetahuan nanti membuktikan bahwa parasit juga bisa berguna. Apalagi pengemis bukan parasit, mereka itu tetap manusia yang disayangi Tuhan.

Jika Tuhan berkenan Dia dapat menggunakan apa saja dan siapa saja bahkan pengemis sekalipun untuk melaksanakan kehendakNya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun