Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Misteri Cangkir Retak

8 Maret 2021   09:30 Diperbarui: 8 Maret 2021   10:12 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misteri Cangkir Retak
Tri Budhi Sastrio

Memang banyak yang aneh di dunia ini.
Manusia tidak terkecuali, sarat misteri. 

Kalau seandainya ada orang usil dan iseng memberi julukan padaku sebagai orang paling serba ingin tahu, aku takkan pernah menolaknya. Mengapa? Bukan karena aku senang dengan julukan  nyentrik  seperti itu tetapi karena itu kenyataannya. Sejak anak-anak sifat ingin serba tahu seperti  itu sudah tampak nyata. Ayahku sendiri, dalam suatu kesempatan, waktu aku telah menginjak dewasa, pernah mengatakan  padaku tentang hal itu.    

"Santo," katanya ketika itu, "sejak engkau mulai  mengerti  dan   bisa   berbicara,  ayah kewalahan   menerima   pertanyaan-pertanyaanmu."

Aku menunduk sambil tersenyum malu ketika itu.

"Dan bukan itu saja," kata ayah kemudian melanjutkan sambil  bibirnya tersenyum. "Pertanyaan yang kau lontarkan kadang terlalu rinci sampai-sampai  Ayah tidak  mungkin menjawabnya.  Sangat  sering, kalau tidak  boleh  dikatakan  semua,  pertanyaanmu  selalu  melewati batas yang  ditentukan  oleh adat   ketimuran. Contoh paling gamblang adalah pertanyaanmu ketika ibumu hamil adikmu yang nomer dua. Ketika itu engkau bertanya: `Ayah mengapa perut ibu  bisa  besar seperti itu?' Aku  masih  ingat  dengan  jelas bagaimana aku melengak mendapat pertanyaan  seperti  itu  dari  anak  seusiamu  meskipun pertanyaan  itu kujawab juga. Di dalam perut ibum ada adikmu."

"Ada adikku tanyamu seperti tidak mempercayai keterangan Ayah. Gaya bertanyamu juga tidak jauh berbeda orang dewasa, membuat ayah mau tidak mau terpaksa tertawa geli meskipun cuma di dalam hati.

          "Tetapi dari mana adikku masuk ke sana?" tanyamu menggelikan.

          "Untuk pertanyaan yang ini Ayah tidak bisa tertawa geli. Bagaimana mungkin sempat tertawa geli kalau pertanyaan konyol  semacam  itu  diajukan oleh anak kecil? Matamu yang bersinar terang menatap menunggu jawaban. Ayah sungguh-sungguh bingung waktu itu. Matamu terus  mendesak, menunggu jawaban  tetapi mulut dan pikiran Ayah belum menemukan  jawaban  yang  tepat. Akhirnya,  setelah  beberapa  saat  bingung,  Ayah menjawab seperti ini."

"Bagaimana kalau pertanyaanmu dijawab setelah engkau besar nanti?"

Sebenarnya malu sekali terpaksa menjawab seperti  itu padamu  tetapi  Ayah tidak melihat jawaban lain yang  lebih tepat.  Sedangkan dirimu, jelas sekali tidak puas, tetapi bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh, seperti paham kesulitan Ayah. Sifatmu yang lain juga tidak habis-habisnya membuat Ayah heran."

Itulah sekilas gambaran sifatku yang dikatakan oleh  ayahku sendiri. Sekarang sifat itu ternyata semakin  menjadi-jadi. Segala   persoalan,  semua  keadaan,  yang   belum diketahui jawabannya,  diusahakan   dengan    segenap kemampuan untuk dipeecahkan misterinya. Pernah beberapa saat yang lalu aku sempat dibuat penasaran oleh  ayam tetangga. Ayam ini berbulu hitam mulus tetapi  selalu bertelur berwarna putih. Sedangkan ayamku sendiri yang  berwarna putih, mengapa tidak bisa bertelur hitam. Hal semacam ini sebenarnya terlalu dicari-cari dan terlalu  konyol  untuk dimasalahkan tetapi  bagiku  tidak!  Aku harus tahu jawaban yang pasti dan tepat.

Banyak yang akan dengan mudah menjawab bahwa warna bulu ayam sama sekali tidak berhubungan dengan warna telurnya. Jawaban ini tentu saja benar, bahkan sangat benar tetapi aku tidak puas dengan jawaban semacam itu. Aku menginginkan jawaban yang lebih tepat dan lebih akurat. Maksudku, ingin jawaban yang tidak mungkin terbantahkan lagi, seperti dua tambah dua sama dengan empat dalam basis sepuluh.

Di perpustakaan sekolah aku mencoba mencari jawaban yang lebih ilmiah dengan membuka Ensiklopedia. Dari sana ternyata belum ditemukan jawaban yang tepat. Ketika masalah itu diajukan pada guru biologi, jawabannya tidak jauh berbeda dengan jawaban di atas setelah lebih dahulu bibirnya yang merah tebal tersenyum penuh makna.

Tentu saja dengan jawaban semacam itu aku sama sekali tidak puas.  Sekarang teman-teman mulai kutanya.  Jawaban  mereka beraneka ragam tetapi tidak satu pun bisa  membuatku puas. Cuma jawaban Handoko, yang sekali pun tidak terlalu tepat tetapi bisa kuterima dengan baik.

Ingin tahu bagaimana jawaban Handoko? Sebenarnya  jawaban Handoko harus ditulis di sini, agar semua bisa mengetahuinya tetapi sayang, atau lebih tepatnya,  maaf,  sekarang atau sampai saat ini tidak bisa disampaikan, karena ada beberapa hal sedang diselidiki, dengan harapan  bisa merampungkan jawaban itu. Mungkin ada yang kecewa  setengah mati karenanya tetapi percayalah hal itu terpaksa dilakukan. Sekarang sebaiknya cerita ini dilanjutkan, yang  terus terang saja, semuanya berpangkal pada sifat selalu  ingin tahu.

Lulus SMA, terpaksa pindah ke kota lain melanjutkan pelajaran  di  perguruan tinggi. Di kota baru ini dengan cepat  akrab, baik dengan  kotanya  maupun dengan penduduknya. Di samping teman-teman kuliah, para pemuda di kampung tempat indekost, segera menjadi teman baik.

Di antara banyak teman di kampung, ada seorang pemuda yang masih bujangan dan berhasil lebih menarik perhatian.  Wajah dan sikapnya  biasa-biasa  saja seperti pemuda   lainnya  begitu  juga   dengan   rumah   dan kekayaannya,  dia biasa-biasa saja tetapi ada satu hal  yang  aku pikir  sulit  sekali  diketemukan pada  orang  lain.  Dia  punya kegemaran mengumpulkan cangkir-cangkir retak.

Banyak orang kaya gemar mengumpulkan benda-benda antik termasuk cangkir-cangkir antik tetapi aku, bahkan  mungkin juga  anda,  pasti belum pernah mengetahui atau menemukan orang gemar mengumpulkan benda-benda retak. Apa sih arti benda-benda retak? Bukankah benda-benda semacam itu tidak mempunyai nilai kecuali untuk isi tempat sampah?

Hanya saja Santoso, lengkapnya Santoso Harimulyo, begitulah nama pemuda yang berhasil menarik perhatianku, bukan saja tidak pernah  membuang cangkir-cangkir miliknya yang  retak, malahan  dia  giat mencari cangkir retak guna menambah koleksinya. Kegemaran ini begitu hebatnya, sampai-sampai pernah melihat dia tidak segan-segan  mengorek-ngorek tempat sampah umum, dengan harapan bisa menemukan cangkir retak di sana.

"Mengapa tidak menghubungi pabrik cangkir saja," kataku pada suatu kesempatan dengan nada bercanda  padanya.  "Di  sana engkau dengan mudah bisa menemukan ratusan cangkir retak, atau paling tidak bisa mencoba memborong  cangkir-cangkir retak produksi pabrik itu."

Santoso menatapku dengan pandangan yang sulit dijabarkan  maknanya, yang jelas sinar  mata  itu  seperti mengandung makna yang amat dalam.

"Engkau tidak tahu, kawan," katanya beberapa saat kemudian. Dia memang selalu memanggilku kawan, sekali pun dia  tahu namaku.  Mungkin  karena nama kami berdua  mirip  satu  sama lain,  dia  jadinya  memilih memanggilku  kawan  daripada  Santo. Dia Santoso Harimulyo sedangkan aku Santo Sobirin.

"Cangkir-cangkir retak yang kukumpulkan," Santoso melanjutkan, "bukan sembarang cangkir-cangkir retak!"

Aku mengernyitkan kening ketika itu, heran. Aku tidak melihat sesuatu yang  aneh.  Cangkir-cangkir retak yang  dikumpulkan memang cangkir-cangkir retak biasa.

"Kulihat  semua  cangkir  retak  biasa yang ada   dalam koleksimu!" kataku hendak membantah  pernyataannya  yang terakhir tadi.

Santoso kembali tersenyum dengan sejuta makna di dalamnya.

"Kau tahu kulitnya tidak isinya. Cuma tahu ekornya tetapi tidak kepalanya. Sekilas memang tidak ada apa-apanya tetapi jika mau menggunakan mata dan otakmu sekaligus, mungkin bisa melihat maksud yang terkandung  di dalamnya,  atau paling tidak engkau tentu berpikir bahwa pasti ada sesuatu dengan koleksi-koleksi semacam itu."

Mataku membelalak lebar menatap Santoso yang  samar-samar  bisa kurasakan sedang meneropong jauh ke depan. Entah apa yang diteropongnya. Orang ini ternyata mulai menggelitik sifat ingin tahuku. Aku yang pada dasarnya memang selalu ingin tahu, sekarang seperti ditantang.

"Baiklah," kataku akhirnya, "kau tidak usah  katakan  apa maksud tersembunyi dalam tindakanmu itu. Beri aku ..."

"Kau pikir aku akan semudah itu bercerita padamu. Jangankan sekarang engkau memang tidak mau, kau berlutut memohon sekali pun belum tentu aku meluluskan permintaan semacam itu!"

Dia benar-benar seenak perutnya saja memotong  kata-kataku yang belum selesai. Menghadapi orang lain mungkin aku akan kesal tetapi khusus menghadapi dia, entah mengapa aku bisa tetap bersabar.

"Beri aku waktu sehari dan aku pasti sudah tahu apa  maksud dari semua tindakanmu," kataku. Terus terang saja ketika itu aku terlalu menyombongkan diri tetapi mana mungkin aku mengaku kalah dan merengek-rengek ingin tahu apa maksudnya.

"Jangankan cuma sehari," balas Santoso tetap  dengan senyum yang tidak bisa kutebak maknanya, "setahun pun akan kuberikan. Engkau baru akan tahu maksudku itu, kalau aku sendiri yang mengatakannya padamu!"

"Kita lihat saja besok. Khusus untuk besok, aku tidak  akan masuk kuliah. Aku akan berada di ruang koleksimu, menggunakan pikiranku. Sore harinya akan kubuat engkau terkejut dengan jawabanku tetapi ..."

"Tetapi  apa?"  tanyanya tidak sabar melihat aku  tidak  jadi melanjutkan. Rupanya berhasil juga aku menggugah emosinya.

"Tetapi  aku khawatir begitu aku bisa menebak dengan  benar, engkau tetap menyalahkan karena malu mengakui!"

"Ha, ha, engkau tidak perlu khawatir kawan. Akan  kutulis maksudku itu di atas sehelai kertas, akan kumasukkan ke dalam amplop, kemudian kulem. Besok setelah engkau menjawabnya, engkau boleh buka amplop itu dan engkau bisa melihat jawaban yang benar. Setuju?"

"Setuju!" jawabku bersemangat. "Kau punya kertas, amplop, dan lem?"

Dia mengangguk, kemudian bangkit dan masuk ke kamarnya.

"Kau tunggu di sini, akan kutulis dan kulem  di  dalam!" katanya memberi pesan sambil berjalan. Aku mengangguk, tetapi aku tahu dia sudah tidak melihat anggukanku, karena dia sudah menghilang di balik pintu kamar tulisnya. Sekitar dua menit kemudian, dia keluar dengan  amplop di tangan.

"Di  sini  semuanya!" katanya padaku.  "Satu  pesanku, engkau juga harus bersikap jujur dan jantan. Jangan coba-coba membuka amplop ini atau berusaha meneropong  tulisan  di dalamnya!"

"Oho, percayalah  kepadaku.  Aku tidak akan   berbuat serendah itu!"

"Aku percaya padamu, kawan dan sampai jumpa besok!"

Aku mengangguk. Kuterima amplop dari tangannya dan kemudian keluar tanpa pamit lagi. Pertarungan telah dimulai. Besok aku harus membuktikan kemampuanku. Kesokan harinya, aku tidak masuk kuliah. Selesai mandi dan sarapan pagi, aku berangkat ke rumah Santoso. Ternyata dia sudah berpakaian  rapi  dan duduk di  beranda  rumah,  seperti memang sedang menunggu kedatanganku.

"Kau kelihatannya mau pergi!" kataku sambil  menjatuhkan pantat di kursi sebelah kanannya.

"Ya," jawabnya sambil menganggukkan kepalanya. "Sore nanti baru kembali. Kau tidak akan terganggu dengan penyelidikanmu. Bagaimana? Aku berangkat dulu, ya!"

Aku mengangguk. Beberapa saat kemudian Santoso lenyap dari pandanganku. Aku tidak cepat-cepat beranjak dari tempat duduk. Tanpa kusadari diam-diam muncul perasaan menyesal atas kesembronoanku. Tangan kananku masuk ke saku baju. Lipatan amplop berisi jawaban terasa.

"Ah," desahku," seakan melontarkan penyesalan di hati, "akan kubongkar rahasiamu, kawan!"

Aku  bangkit  dan melangkah masuk ke dalam.  Kamar  koleksi cangkir retak terbuka pintunya. Rupanya Santoso sudah menyiapkan segalanya. Aku melangkah masuk dengan mantap. Di meja tulis dekat pintu, segelas besar teh  tersedia. Secarik kertas ada di bawahnya. Ketika aku mendekat, kulihat tulisan tangan Santoso: "UNTUK KAU MINUM KALAU ENGKAU HAUS."

Diam-diam  aku  tersenyum. Dia rupanya menyangka  aku  akan lama  dalam ruangan ini. Sangkaannya akan benar kalau aku tidak segera berhasil membongkar maksud semua ini, tetapi bagaimana kalau dalam waktu singkat saja aku  berhasil menerka dan menebaknya? Bukankah aku tidak perlu berlama-lama di sini, dan ini berarti tidak sempat haus?

Setelah sekali lagi menggelengkan kepala, aku berputar dan mulai penyelidikanku. Seluruh dinding ruangan penuh dengan rak-rak kayu berpelitur mengkilap. Tiga perempat bagian rak-rak itu penuh dengan cangkir-cangkir retak beraneka warna. Yang seperempat masih kosong  tetapi kupikir  dalam  waktu kurang dari setengah tahun, rak-rak itu tentu sudah terisi.

Aku berjalan mendekat, kumulai dari pojok sebelah  kanan. Kuambil cangkir di deretan rak nomer dua. Cangkir berwarna biru. Garis retakannya terlihat memanjang dari  arah kanan atas ke kiri bawah. Cangkir ini tentu penah tertumbuk benda keras atau mungkin   jatuh  sehingga  retak   seperti itu. Di pegangannya tergantung sehelai benang label catatan.

Label itu buatan Santoso sendiri.

No. 098 Diketemukan di tempat sampah di depan rumah Jl. Anjasmorono. 96, tanggal 2 Agustus 1980 tepatnya pukul 4.00 sore. Garis retaknya cukup unik dan menimbulkan keindahan tersendiri.  STS.

Kuperhatikan garis  retakannya tapi  aku  tidak  berhasil menemukan di mana keunikan dan keindahannya, malahan aku mendapat kesan cangkir ini ternodai karena retak.

Kuletakkan kembali cangkir nomer 098 itu.  Aku  berpindah ke rak yang lain. Memungut cangkir dan membaca catatan yang ada. Gaya catatannya hampir sama semua. Yang berbeda cumalah komentar tentang garis retakannya. Ada saja bahan untuk komentarnya.

Cangkir no. 126 diberi komentar 'Kalau saja  benturan yang terjadi sedikit lebih keras, cangkir ini tentu tidak sekedar retak melainkan sudah pecah berantakan.'

Cangkir  no.  017, komentarnya lain  lagi.  'Sudut  dan momentum  tepat  sekali, sehingga berhasil  menghasilkan  retakan dengan sudut hampir tepat sembilan puluh derajat.'

Begitulah, dari cangkir yang satu aku berpindah ke  cangkir yang lain. Semuanya kujelajahi tetapi semakin kupikirkan, aku jadi semakin bingung sendiri. Memang  banyak alasan muncul mengapa Santoso mengoleksi cangkir-cangkir retak semacam ini tetapi semua alasan yang melintas kurasakan tidak cocok.

Aku coba membayangkan wajah dan sifat Santoso  tetapi aku sama sekali tidak berhasil menarik hubungan dengan  koleksi cangkir retaknya.

Mungkin ada ratusan kali aku mondar-mandir  dalam  ruangan itu, sambil  memutar otak, mencoba  merangkai  dan menghubungkan  sifat-sifatnya dengan tujuan dari semua ini.  Karena terlalu banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi, lagi-lagi aku gagal menarik kesimpulan.

Sekarang  aku  haus. Santoso ternyata bisa menduga  dengan tepat. Ah, bagaimana bisa menebak persoalan sederhana seperti ini saja aku tidak berhasil, desisku sendirian.

Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada cangkir berwarna hitam yang ada di rak paling kiri paling atas. Baru kali ini aku melihat cangkir berwarna hitam seperti itu. Aku mendekat dan menggunakan kursi untuk mengambilnya.

Cangkir ini tidak berlabel seperti cangkir yang  lain.  Ketika diperhatikan dengan lebih cermat,  cangkir   itu   sama  sekali  tidak  retak.   Kubolak-balik   dan kuperhatikan  lebih cermat tetapi aku tetap gagal menemukan garis retakannya.

Mungkinkah  Santoso salah menempatkan cangkir ini?  Kuambil cangkir di sebelah cangkir hitam ini. Ternyata cangkir bernomer urut: 002. Ini berarti kehadiran cangkir hitam disadari dan diketahui oleh Santoso. Lalu maksudnya?

Sekarang  bukan lagi sekedar bingung tetapi sudah  mendekati kemelut  dalam otak. Aku benar-benar tak habis mengerti, mengapa ada cangkir hitam yang tidak retak berada  di  antara  cangkir-cangkir retak.

Sekitar dua jam lagi kuhabiskan dalam ruangan koleksi  itu, sebelum akhirnya dengan gontai aku melangkah keluar. Di luar aku baru merasakan kalau perutku lapar. Rupanya tadi, karena terlalu asyik  berpikir, sampai lupa kalau belum makan siang. Aku terus pulang dengan langkah yang kurang bersemangat.

Selesai  makan  aku  tetap  tidak  bisa  tidur.  Pikiranku dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Satu demi satu  kemungkinan itu kuanalisis tetapi semuanya kelihatan mengandung kelemahan.

Berkali-kali aku tergoda dengan lipatan amplop yang sengaja kuletakkan di meja. Aku tergoda untuk membuka dan mengetahui apa maksud Santoso dengan mengoleksi cangkir-cangkir retak tetapi jiwa tidak mau kalahku berhasil menahan keinginan buruk itu.

Mungkin aku masih akan terus berpikir dan berpikir  kalau saja Santoso tidak datang mencariku.

Dia menatapku dengan pandangan penuh maknanya.

"Bagaimana kawan?" tanyanya sambil duduk tanpa menunggu aku menyilahkan. Kebetulan sekali tuan rumah tempat aku indekos sedang  tidur,  sehingga  kami  lebih  bebas  berbincang. "Sudah  ditemukan  maksudku?  Kalau  sudah, aku ingin tahu sekarang?"

Aku menatapnya sampai lama, sebelum akhirnya aku  terpaksa menggeleng perlahan.

"Banyak kemungkinan yang muncul  tetapi  aku tidak suka itu. Aku harus betul-betul yakin, atau tidak sama sekali, daripada mencoba-coba toh akhirnya salah juga."

"Tidak ada salahnya kau kemukakan kemungkinan-kemungkinan itu, siapa tahu salah satu di antaranya benar!"

Aku menggeleng.

"Kali ini aku benar-benar takluk. Boleh kubuka amplop  ini sekarang?" tanyaku sambil mengeluarkan amplop dari  saku baju.

Dia mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Boleh!"

"Tidak kau periksa dulu?"

"Tidak usah! Aku percaya padamu, kawan!"

"Baiklah. Akan kebuka sekarang!"

Kusobek amplop itu dengan gerakan yang sedikit  tergesa-gesa, lalu kutari ke lua selembar kertas  .

        Perlahan-lahan, dengan tangan agak bergetar, kubuka lipatan kertas itu. Kertasnya benar-benar terlalu lebar sedangkan tulisannya cuma sedikit di tengah-tengah kertas.

Perlahan-lahan  mataku  menyapu  tulisan  tangan   Santoso di tengah-tengah kertas.

    

AKU INGIN DENGAN USAHAKU INI, SUATU KETIKA NANTI NAMAKU DIMASUKKAN KE DALAM BUKU TENTANG REKOR-REKOR ANEH SEDUNIA.

Sampai  lama  sekali  aku menatap tulisan  itu.  Ya  ampun, betapa sederhananya tetapi mengapa aku sama sekali tidak berpikir ke arah sana?

"Bagaimana? Kau puas sekarang?" suara Santoso menyadarkanku.

"Memang tak bisa dipungkiri aku gagal membuktikan kata-kataku tetapi satu hal tidak kumengerti. Mengapa di koleksimu ada sebuah cangkir hitam yang sama sekali  tidak retak?"

"Ya, itulah! Bukankah kemarin sudah kukatakan, kalau engkau mau melihat dan sekaligus berpikir dengan cermat, mungkin engkau bisa melihat maksudku. Pada mulanya aku bermaksud membuat koleksi cangkir-cangkir berwarna aneh  tetapi  baru  saja  aku  berhasil mendapatkan cangkir berwarna hitam, sebuah ide yang kupikir lebih sempurna melintas. Mungkin saja ada orang yang sama idenya dengan aku, tapi kalau pengoleksi cangkir retak, aku yakin belum. Itulah sebabnya,  saat itu juga aku banting setir. Tujuan semacam  apa lagi yang melandasi pengoleksi semacam aku ini kalau bukan ingin dikenal sebagai orang yang lain daripada yang lain?"

"Tapi pegawai pabrik cangkir bisa mengumpulkan  lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat kalau dia  mau!"  kataku mencoba mementahkan argumennya

"Nilai  cangkir  yang  masih sama  sekali  belum  terpakai, dengan  cangkir  yang retak yang sudah dipakai tentu  saja  berbeda. Yang  pertama  tidak mempunyai nilai keanehan, cuma punya  nilai kecerobohan  kerja.  Sedangkan  yang kedua punya nilai keunikan tersendiri."

Apalagi yang bisa kukatakan sekarang, kecuali  menerima semua  itu.  Memang bukan hal yang mustahil, kalau  nama  temanku yang aneh ini suatu ketika nanti dikenal oleh dunia internasional. (R-SDA-09032021-087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun