Itulah sekilas gambaran sifatku yang dikatakan oleh  ayahku sendiri. Sekarang sifat itu ternyata semakin  menjadi-jadi. Segala  persoalan,  semua  keadaan,  yang  belum diketahui jawabannya,  diusahakan  dengan   segenap kemampuan untuk dipeecahkan misterinya. Pernah beberapa saat yang lalu aku sempat dibuat penasaran oleh  ayam tetangga. Ayam ini berbulu hitam mulus tetapi  selalu bertelur berwarna putih. Sedangkan ayamku sendiri yang  berwarna putih, mengapa tidak bisa bertelur hitam. Hal semacam ini sebenarnya terlalu dicari-cari dan terlalu  konyol  untuk dimasalahkan tetapi  bagiku  tidak!  Aku harus tahu jawaban yang pasti dan tepat.
Banyak yang akan dengan mudah menjawab bahwa warna bulu ayam sama sekali tidak berhubungan dengan warna telurnya. Jawaban ini tentu saja benar, bahkan sangat benar tetapi aku tidak puas dengan jawaban semacam itu. Aku menginginkan jawaban yang lebih tepat dan lebih akurat. Maksudku, ingin jawaban yang tidak mungkin terbantahkan lagi, seperti dua tambah dua sama dengan empat dalam basis sepuluh.
Di perpustakaan sekolah aku mencoba mencari jawaban yang lebih ilmiah dengan membuka Ensiklopedia. Dari sana ternyata belum ditemukan jawaban yang tepat. Ketika masalah itu diajukan pada guru biologi, jawabannya tidak jauh berbeda dengan jawaban di atas setelah lebih dahulu bibirnya yang merah tebal tersenyum penuh makna.
Tentu saja dengan jawaban semacam itu aku sama sekali tidak puas.  Sekarang teman-teman mulai kutanya.  Jawaban  mereka beraneka ragam tetapi tidak satu pun bisa  membuatku puas. Cuma jawaban Handoko, yang sekali pun tidak terlalu tepat tetapi bisa kuterima dengan baik.
Ingin tahu bagaimana jawaban Handoko? Sebenarnya  jawaban Handoko harus ditulis di sini, agar semua bisa mengetahuinya tetapi sayang, atau lebih tepatnya,  maaf,  sekarang atau sampai saat ini tidak bisa disampaikan, karena ada beberapa hal sedang diselidiki, dengan harapan  bisa merampungkan jawaban itu. Mungkin ada yang kecewa  setengah mati karenanya tetapi percayalah hal itu terpaksa dilakukan. Sekarang sebaiknya cerita ini dilanjutkan, yang  terus terang saja, semuanya berpangkal pada sifat selalu  ingin tahu.
Lulus SMA, terpaksa pindah ke kota lain melanjutkan pelajaran  di  perguruan tinggi. Di kota baru ini dengan cepat  akrab, baik dengan  kotanya  maupun dengan penduduknya. Di samping teman-teman kuliah, para pemuda di kampung tempat indekost, segera menjadi teman baik.
Di antara banyak teman di kampung, ada seorang pemuda yang masih bujangan dan berhasil lebih menarik perhatian.  Wajah dan sikapnya  biasa-biasa  saja seperti pemuda  lainnya  begitu  juga  dengan  rumah  dan kekayaannya,  dia biasa-biasa saja tetapi ada satu hal  yang  aku pikir  sulit  sekali  diketemukan pada  orang  lain.  Dia  punya kegemaran mengumpulkan cangkir-cangkir retak.
Banyak orang kaya gemar mengumpulkan benda-benda antik termasuk cangkir-cangkir antik tetapi aku, bahkan  mungkin juga  anda,  pasti belum pernah mengetahui atau menemukan orang gemar mengumpulkan benda-benda retak. Apa sih arti benda-benda retak? Bukankah benda-benda semacam itu tidak mempunyai nilai kecuali untuk isi tempat sampah?
Hanya saja Santoso, lengkapnya Santoso Harimulyo, begitulah nama pemuda yang berhasil menarik perhatianku, bukan saja tidak pernah  membuang cangkir-cangkir miliknya yang  retak, malahan  dia  giat mencari cangkir retak guna menambah koleksinya. Kegemaran ini begitu hebatnya, sampai-sampai pernah melihat dia tidak segan-segan  mengorek-ngorek tempat sampah umum, dengan harapan bisa menemukan cangkir retak di sana.
"Mengapa tidak menghubungi pabrik cangkir saja," kataku pada suatu kesempatan dengan nada bercanda  padanya.  "Di  sana engkau dengan mudah bisa menemukan ratusan cangkir retak, atau paling tidak bisa mencoba memborong  cangkir-cangkir retak produksi pabrik itu."
Santoso menatapku dengan pandangan yang sulit dijabarkan  maknanya, yang jelas sinar  mata  itu  seperti mengandung makna yang amat dalam.