"Jangankan cuma sehari," balas Santoso tetap  dengan senyum yang tidak bisa kutebak maknanya, "setahun pun akan kuberikan. Engkau baru akan tahu maksudku itu, kalau aku sendiri yang mengatakannya padamu!"
"Kita lihat saja besok. Khusus untuk besok, aku tidak  akan masuk kuliah. Aku akan berada di ruang koleksimu, menggunakan pikiranku. Sore harinya akan kubuat engkau terkejut dengan jawabanku tetapi ..."
"Tetapi  apa?"  tanyanya tidak sabar melihat aku  tidak  jadi melanjutkan. Rupanya berhasil juga aku menggugah emosinya.
"Tetapi  aku khawatir begitu aku bisa menebak dengan  benar, engkau tetap menyalahkan karena malu mengakui!"
"Ha, ha, engkau tidak perlu khawatir kawan. Akan  kutulis maksudku itu di atas sehelai kertas, akan kumasukkan ke dalam amplop, kemudian kulem. Besok setelah engkau menjawabnya, engkau boleh buka amplop itu dan engkau bisa melihat jawaban yang benar. Setuju?"
"Setuju!" jawabku bersemangat. "Kau punya kertas, amplop, dan lem?"
Dia mengangguk, kemudian bangkit dan masuk ke kamarnya.
"Kau tunggu di sini, akan kutulis dan kulem  di  dalam!" katanya memberi pesan sambil berjalan. Aku mengangguk, tetapi aku tahu dia sudah tidak melihat anggukanku, karena dia sudah menghilang di balik pintu kamar tulisnya. Sekitar dua menit kemudian, dia keluar dengan  amplop di tangan.
"Di  sini  semuanya!" katanya padaku.  "Satu  pesanku, engkau juga harus bersikap jujur dan jantan. Jangan coba-coba membuka amplop ini atau berusaha meneropong  tulisan  di dalamnya!"
"Oho, percayalah  kepadaku.  Aku tidak akan  berbuat serendah itu!"
"Aku percaya padamu, kawan dan sampai jumpa besok!"