Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Jangan Mengukir Pelangi, Sayang!

25 Februari 2021   13:38 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:41 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://paintingandframe.com/prints/vladimir_kush_the_rainbow-78384.html

Jangan Mengukir Pelangi, Sayang!
Tri Budhi Sastrio

Cinta masa remaja memang bak pelangi
Indah mempesona meskipun nun jauh disana!
Semua remaja semoga selalu diberkati
Sehingga mereka berhasil
Meniti tangga pelangi kebahagiaan!

Setahun berpacaran mungkin bukan hal yang luar biasa. Mengenal pribadi seseorang kadang-kadang cuma diperlukan beberapa saat. Meskipun ada juga, walaupun jarang terjadi, setelah berkumpul berpuluh tahun ternyata belum cukup juga untuk mengenal jiwa dan pribadi seseorang.

Bagi Wahyu dan Citra, setahun ternyata sudah cukup. Wahyu merasa dirinya telah mengenal Citra luar dalam. Begitu juga dengan Citra. Citra merasa seluruh isi hati Wahyu terbeber jelas di depannya.

Rahasia apa di hati Wahyu yang dia tidak tahu? Semuanya tahu! Bahkan ketika Wahyu mencuri uang kakeknya seminggu yang lalu, Wahyu menceritakan pada dirinya.

"Untuk apa kau curi uang itu?" tanya Citra waktu itu.

"Untuk mengganti kaca rumah Tarno yang tak sengaja kupecahkan!" jawab Wahyu.

"Hai, kapan kau pecahkan kaca rumah Tarno? Mengapa hal itu tak kau ceritakan padaku?" Citra marah.

Bukankah seandainya dia tidak mendesak Wahyu untuk menceritakan dari mana dia mendapatkan uang seratus ribu yang ditemukan di dompetnya, dia tidak akan pernah tahu kalau kekasihnya ini memecahkan kaca rumah Tarno?

Citra paling tidak senang kalau apa-apa yang dialami Wahyu dia sampai tidak tahu.

"Aku tidak menceritakan karena kupikir bukan hal penting, sehingga perlu diberitahukan pada dirimu!" jawab Wahyu.

"Apa? Memecahkan kaca rumah orang kau anggap bukan hal penting? Kemudian kau curi uang kakekmu juga kau katakan bukan persoalan penting? Tidak salah kau katakan begini?"

Bukannya tersinggung tetapi Wahyu malah senyum. Dia kenal Citra. Dia kenal wataknya dengan baik. Citra suka sekali marah, tetapi marahnya seperti angin. Sebentar bertiup kencang untuk kemudian menghilang tak berbekas.

"Kau menganggap hal itu penting?" tanya Wahyu.

"Ya!" jawab Citra keras.

"Seandainya aku tahu kalau masalah itu dianggap penting, tentu sudah kuceritakan padamu sejak kemarin-kemarin!" jawab Wahyu.

"Huh!" dengus Citra. "Kali ini kau kumaafkan tetapi sekali lagi engkau main rahasia-rahasiaan dengan kesalahanmu, jangan harap aku memperhatikan dirimu lagi!"

"Beres!" jawab Wahyu gembira.

"Jangan gembira dulu!" potong Citra cepat. "Ini belum selesai! Kau harus ceritakan semua persoalan sampai kebagian yang paling kecil! Baru setelah itu aku maafkan engkau!"

"Jangan khawatir!" jawab Wahyu.

Kemudian mulailah Wahyu menceritakan semuanya.

Sekarang, tepat setahun Citra dan Wahyu berkenalan.

"Kau ingat hari ini?" tanya Citra dalam perjalanan pulang sekolah. Citra duduk di kelas II IPS sedangkan Wahyu duduk di kelas III IPA.

"Hari ini? Ada apa?" tanya Wahyu tidak mengerti.

"Hari ini tepat setahun kita berkenalan, bukan?" Citra mengingatkan Wahyu.

Wahyu mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat.

"Aku tidak ingat persisnya," kata Wahyu, "tetapi tampaknya memang sudah setahun kita berkenalan!"

"Kau tidak ingin merayakan hari ini?" tanya Citra.

"Tentu saja ingin, cuma bagaimana merayakannya? Aku tidak punya uang sekarang."

"Aku punya!" kata Citra.

"Berapa?"

"Seratus ribu!"

"Darimana engkau dapat?"

"Diberi Ayah!"

"Untuk?"

"Tentu saja untukku!" jawab Citra.

"Ya, aku tahu uang itu untukmu tetapi yang kumaksud, ayahmu memberi uang seratus ribu untuk keperluan apa!"

"Kemarin aku bilang sama ayah, hari ini ada film bagus dan aku sudah janji untuk mentraktir empat teman. Jadi aku minta uang pada ayah seratus ribu!"

"Kau berbohong pada ayahmu!" kata Wahyu.

"Kau kan bisa kuanggap sebagai empat orang teman!" kata Citra sambil tertawa nakal. "Jatah ice-cream untuk empat anak bisa kau habiskan sendiri. Jadi tidak salah kalau aku katakan hendak mentraktir empat teman, bukan? Aku tidak pernah berbohong selama ini!"

Wahyu menggaruk-garuk kepalanya.

"Kau memang anak pintar," kata Wahyu akhirnya. "Kau mau traktir aku apa sekarang?"

"Terserah, kau mau apa, boleh! Asal tidak lebih dari seratus ribu!"

"Bagaimana kalau ke tempat ice-cream?" usul Wahyu.

"Boleh!" kata Citra. "Aku memang sudah menduga, ke mana lagi engkau mau pergi kalau bukan ke tempat kesukaanmu. Warung ice-cream!"

"Kau kan juga suka, sayang!" kata Wahyu.

"Huh, setelah tahu akan dibelikan ice-cream, panggil sayang segala! Coba tidak, memanggil adik saja mungkin tidak mau!"

Wahyu tersenyum lebar. Hatinya gembira sekali hari itu. Dunia terasa indah dan menyenangkan, belum lagi ditambah oleh bayangan ice-cream, satu-satunya makanan ringan yang paling digemarinya.

Di Pelangi Ice-Cream.

Separuh dari meja di tempat penjualan ice-cream itu terisi. Salah satu di antaranya ditempati oleh Wahyu dan Citra. Tidak seperti meja lainnya, di meja mereka ada empat piring ice-cream. Padahal orangnya cuma dua.

"Kau tidak malu dilihat orang lain?" bisik Citra. "Orangnya cuma dua tetapi ice-creamnya empat piring!"

"Kenapa harus malu?" balas Wahyu. "Ini kan uangku sendiri!"

"Uangku!" Citra membetulkan ucapan pacarnya.

"Eh ya, uangmu!" kata Wahyu tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.

"Ayo cepat habiskan ice-creammu!" kata Citra kemudian.

"Tenang, sayang! Pasti kuhabiskan!"

Citra tidak bicara karena asyik dengan ice-cream di piringnya.

Piring pertama Wahyu sudah licin. Berganti piring kedua sekarang. Citra pura-pura tidak memperhatikan ketika Wahyu mengganti piringnya yang sudah kosong dengan piring yang masih berisi penuh. Sedangkan Wahyu sama sekali tidak terlihat rikuh apalagi malu. Baginya, untuk ice-cream semua tindakan adalah sah dan benar!

"Eh tahu mengapa pemilik tempat ini memberi nama Pelangi?" tanya Citra tiba-tiba.

Wahyu mengangkat kepala sedikit. Mulutnya penuh dengan ice-cream.

"Mana aku tahu!" jawab Wahyu agak sudah bicara. Mungkin karena ice-cream di mulutnya belum semua tertelan. "Aku kan bukan pemilik tempat ini!"

"Aku tahu kau bukan pemilik tempat ini!" kata Citra kesal. "Masa engkau tidak bisa berpikir atau menduga mengapa dia memilih nama Pelangi dan bukan nama lainnya? Bukankah masih banyak nama lain yang lebih indah dan lebih cocok untuk tempat semacam ini?"

Wahyu menyuap lagi sesendok ice-cream.

"Mungkin saja karena dia kagum pada pelangi!" kata Wahyu kemudian. "Eh, kau pernah melihat pelangi, tidak?" tanya Wahyu.

"Pernah!" kata Citra. "Kau?"

Wahyu menggeleng.

"Aku belum pernah melihatnya, kecuali dalam lukisan!" kata Wahyu.

Citra meletakkan sendoknya, dan menatap Wahyu tajam-tajam. Kalau waktu itu Citra ingin menunjukkan rasa herannya, maka jelas dia berhasil dengan baik. Muka dan matanya memancarkan rasa heran.

"Kau yang sudah sebesar ini belum pernah melihat pelangi?" tanya Citra tidak percaya.

"Apa anehnya ada orang belum pernah melihat pelangi!" jawab Wahyu seenaknya.

"Bukan cuma aneh tapi juga menggelikan!" balas Citra sinis. "Kau ini tampaknya tidak menyadari bahwa manusia yang belum pernah melihat pelangi, harus merasa malu karena itu!"

"Apa? Merasa malu? Bah, aku tidak akan merasa malu kalau cuma tidak pernah melihat pelangi. Kau cukup pergi ke tempat air terjun yang cukup besar, di sana engkau bisa melihat pelangi kapan saja engkau mau. Pelangi tidak lebih dari penguraian berkas sinar matahari jadi warna-warna dasarnya. Apa sih anehnya pelangi? Sama sekali tidak aneh! Jadi cukup mengherankan kalau ada orang mengatakan, seseorang perlu malu karena tidak melihat pelangi!"

Muka Citra perlahan-lahan memerah.

"Huh!" dengusnya kesal. "Mulai saat ini hubungan kita putus!"

Wahyu terkejut setengah mati.

"Maksudmu?" tanya Wahyu dengan suara bergetar.

"Putus!" tegas Citra sambil membelalak lebar. "Engkau tidak perlu lagi bicara denganku dan aku juga tidak akan bicara dengan kamu!"

"Tetapi...."

"Tidak ada tapi-tapian!" potong Citra cepat. "Kalau aku tahu sejak pertama engkau laki-laki yang tidak pernah melihat pelangi, tidak sudi aku menjadi kekasihmu! Akan kucari laki-laki yang tahu menghargai keindahan alam, yang pernah melihat pelangi dan tahu mengaguminya. Tidak seperti engkau, melihat pelangi saja tidak pernah tetapi ini mungkin masih bisa dimaafkan. Yang tidak bisa dimaafkan adalah engkau sama sekali tidak menghargai keindahan alam itu. Pelangi adalah titian keramat para dewa-dewi."

"Itu dongeng, nona manis!" kata Wahyu mulai tersenyum.

Rasa terkejut di hati Wahyu mulai hilang. Dia tadi memang terkejut setengah mati ketika Citra tiba-tiba saja memutuskan bagitu saja hubungan mereka. Baru setelah tahu latar belakangnya, dia bisa tenang. Bukan latar belakang yang gawat, yang perlu dicemaskan!

"Dongeng lututmu!" kata Citra kesal. "Itu bukan dongeng. Itu kenyataan. Pokoknya aku ....!"

"Baiklah!" potong Wahyu cepat. "Kau katakan itu bukan bukan dongeng, aku setuju tetapi apakah yang aku katakan tadi bukankah juga suatu kenyataan? Pelangi muncul karena ada penguraian sinar matahari oleh titik-titik air. Akan kubukakan buku fisika kalau engkau tidak percaya ini!"

"Aku tidak butuh buku fisika!" kata Citra ketus. "Pokoknya, kalau engkau tidak mau meminta maaf padaku dan mengakui keindahan pelangi, jangan harap aku mau bicara dengan engkau lagi!"

"Aku akan minta maaf kalau aku bersalah!" kata Wahyu mulai agak keras. "Sedangkan pengakuan akan keindahan pelangi, itu tergantung pada pribadi seseorang. Engkau tidak bisa memaksa seseorang untuk mengakui sesuatu itu indah atau tidak!"

"Jadi selama ini tidak merasa kalau bersalah!" tanya Citra.

"Ya!" jawab Wahyu.

Kedua pasangan muda ini saling membelalakkan mata. Mereka berdua tidak menyadari kalau beberapa orang mulai tertarik dengan suara mereka yang semakin keras.

"Baik!" kata Citra sambil bangkit dari duduknya. "Aku pulang sekarang!"

Citra menyambar tasnya dan bersiap-siap melangkah.

"Hai tunggu!" seru Wahyu. "Bagaimana dengan ice-cream ini? Aku tidak mempunyai uang!"

"Membayar ice-cream saja tidak becus, begitu berani meremehkan keindahan pelangi!" ejek Citra.

"Yang punya ide makan ice-cream bukan aku!" kata Wahyu sambil kembali menyendok ice-creamnya. Pertengkaran ini rupanya tidak banyak berarti bagi selera Wahyu. Sedikit pun seleranya tidak terganggu.

"Nih! Engkau bayar! Kembaliannya kembalikan padaku!" kata Citra sambil melemparkan selembar ratusan ribu ke meja.

"Kuhabiskan dulu! Kau mau bukan menunggunya sebentar?"

"Aku...!"

"Sambil meneruskan makan ice-cream siapa tahu aku mendapat ide yang berhubungan dengan pelangi. Biasanya, kalau aku berpikir sambil makan ice-cream hasilnya selalu memuaskan. Kalau engkau mau menunggu siapa tahu sengketa kecil ini bisa kubereskan!"

Perlahan-lahan Citra duduk kembali di kursinya. Termakan juga kata-kata Wahyu. Setahun waktu yang cukup lama untuk bisa meninggalkan begitu saja seorang kekasih.

Wahyu meneruskan makan ice-creamnya. Sekarang piring ketiga.

Selama menyelesaikan piring yang ketiga ini, keduanya sama sekali tidak bercakap-cakap. Bahkan saling pandang pun tidak. Keduanya seakan-akan sepakat untuk tidak saling berbicara maupun saling pandang sebelum sengketa kecil ini selesai.

Piring ketiga kosong dengan cepat. Piring keempat atau yang terakhir sekarang. Piring yang keempat ini pun dengan cepat diselesaikan oleh Wahyu. Tidak banyak orang yang bisa menyikat empat piring ice-cream buah seperti yang dilakukan Wahyu ini.

"Aku akan membayar ke kasir dulu!" kata Wahyu sambil mengusap mulutnya dengan sapu tangan. Citra tidak menjawab cuma kepala bergerak pelan. Wahyu mengangkat alisnya sambil bangkit dari duduknya dan berjalan ke kasir.

Di kasir, tidak seperti yang diperkirakan oleh Citra, Wahyu ternyata cukup lama. Entah apa yang dikerjakannya tetapi dari dari kejauhan Citra melihat Wahyu menulis sesuatu.

Membayar ice-cream harus menulis sesuatu? Ini yang dia tidak pernah melihatnya. Citra heran tetapi dia tidak melakukan apa-apa.

Citra kembali mendengus ketika Wahyu mendatangi mejanya dengan muka berseri-seri. Apa yang membuat setan keras kepala ini begitu gembira, tanya Citra pada dirinya sendiri.

"Tidak kurang lama engkau berdiri di depan kasir yang cantik itu?" tanya Citra sambil bangkit dari duduknya.

"Tenang!" kata Wahyu sambil menyambar tasnya. "Ini kembalian uangnya!"

Wahyu mengulurkan beberapa lembar uang kertas, beberapa uang recehan dan selembar kertas yang terlipat serampangan.

"Kertas apa ini?" tanya Citra ketus sambil menerima uang dari tangan Wahyu. "Aku tidak membutuhkan bon!"

"Bonnya memang tidak kau butuhkan!" kata Wahyu, "tetapi tulisan di balik bon ini yang penting. Hasil pemikiran kilat seorang calon sastrawan besar. Kalau engkau tidak mau membacanya, engkau akan menyesal seumur hidup!"

Citra tertarik. Perlahan-lahan gadis manis itu membuka lipatan bon dan kemudian membacanya. Dahinya berkerut, kepalanya kadang-kadang bergedik ke kiri dan ke kanan. Bibirnya yang cemberut perlahan-lahan berubah menjadi senyuman.

Selesai membaca, Citra memandang Wahyu sambil tersenyum malu-malu.

"Aku....!"

Citra tidak jadi melanjutkan kata-katanya tetapi cepat-cepat menggandeng tangan Wahyu dan menariknya keluar dari Pelangi Ice-Cream.

"Aku keras kepala ya?" bisik Citra di tengah jalan.

Wahyu mengangguk. "Tetapi aku sayang padamu!"

"Aku juga!" desis Citra.

Sementara itu, kertas yang mengubah perangai Citra, tersimpan aman di tas gadis manis itu.

Pelangi,
Sialan engkau!
Kalau bukan gara-garamu,
Tidak mungkin sayangku marah-marah!
Sekarang, lewat kertas ini,
Engkau harus membantuku menyampaikan maafku.
Aku kan tidak mungkin membiarkan engkau merebut dia?
Juga tidak mungkin, kubiarkan
Citra mengukir dirimu, sementara hatiku tidak!
Akan kubisikkan keras-keras padanya:
Jangan mengukir Pelangi, sayang!
Tetapi ukirlah kasih sayang kita berdua dalam hatimu!
Sekarang, dan selama-lamanya. Amin!

Sajak tidak karuan inilah, sajak yang oleh Wahyu dikatakan sebagai hasil pemikiran kilat seorang calon sastrawan besar, yang mampu mengubah suasana hati Citra. Mungkin bait yang terakhir, yang persis seperti kalimat doa yang mempunyai tuah hebat! Mungkin saja! Yang jelas, tak eorang pun dari keduanya yang mampu mengukir pelangi, kecuali pelangi di hati mereka masing-masing. (R-SDA-25022021 -- 087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun