Citra tertarik. Perlahan-lahan gadis manis itu membuka lipatan bon dan kemudian membacanya. Dahinya berkerut, kepalanya kadang-kadang bergedik ke kiri dan ke kanan. Bibirnya yang cemberut perlahan-lahan berubah menjadi senyuman.
Selesai membaca, Citra memandang Wahyu sambil tersenyum malu-malu.
"Aku....!"
Citra tidak jadi melanjutkan kata-katanya tetapi cepat-cepat menggandeng tangan Wahyu dan menariknya keluar dari Pelangi Ice-Cream.
"Aku keras kepala ya?" bisik Citra di tengah jalan.
Wahyu mengangguk. "Tetapi aku sayang padamu!"
"Aku juga!" desis Citra.
Sementara itu, kertas yang mengubah perangai Citra, tersimpan aman di tas gadis manis itu.
Pelangi,
Sialan engkau!
Kalau bukan gara-garamu,
Tidak mungkin sayangku marah-marah!
Sekarang, lewat kertas ini,
Engkau harus membantuku menyampaikan maafku.
Aku kan tidak mungkin membiarkan engkau merebut dia?
Juga tidak mungkin, kubiarkan
Citra mengukir dirimu, sementara hatiku tidak!
Akan kubisikkan keras-keras padanya:
Jangan mengukir Pelangi, sayang!
Tetapi ukirlah kasih sayang kita berdua dalam hatimu!
Sekarang, dan selama-lamanya. Amin!
Sajak tidak karuan inilah, sajak yang oleh Wahyu dikatakan sebagai hasil pemikiran kilat seorang calon sastrawan besar, yang mampu mengubah suasana hati Citra. Mungkin bait yang terakhir, yang persis seperti kalimat doa yang mempunyai tuah hebat! Mungkin saja! Yang jelas, tak eorang pun dari keduanya yang mampu mengukir pelangi, kecuali pelangi di hati mereka masing-masing. (R-SDA-25022021 -- 087853451949)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H