Aku menatapnya dengan pandangan tanpa ekspresi, tetapi akhirnya aku mengangguk pelan.
"Tentu saja aku ingin tahu!" kataku lirih, mencoba mendinginkan suasana.
"Kau tahu nama lengkapku, bukan?" tanya Hamid lagi.
Aku mengangguk. Nama lengkapnya kupikir bukan nama yang jelek apalagi sampai menimbulkan peluang untuk sebuah penghinaan. Sekarang aku semakin heran. Bagaimana mungkin nama Hamid Kartakusuma bisa menimbulkan peluang untuk sebuah olok-olok? Kukira sulit, bagi anak yang paling pandai sekali pun mencari kata olok-olok untuk nama sebagus itu.
"Nah, nama lengkapku itu yang mereka hina habis-habisan!" Hamid melanjutkan, memutuskan jalan pikiranku. "Aku benar-benar penasaran dan tidak bisa menerima hal ini. Aku ...!"
Hamid tidak melanjutkan kata-katanya, sedangkan dadanya bergelombang naik turun, mungkin dia teringat kembali saat-saat penghinaan itu terjadi, sehingga marahnya meluap lagi.
"Bagaimana mungkin namamu bisa mereka gunakan sebagai olok-olok?" tanyaku akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Apa? Kau tanya bagaimana mungkin? Ah, engkau ini bagaimana! Nyatanya mereka telah menghina nama itu habis-habisan. Mereka tidak menghargai nama pemberian orang tuaku itu. Padahal bagiku, harga sebuah nama, jauh lebih tinggi dari harga sebuah rumah. Nama adalah martabat dan martabat adalah kehormatan dan kehormatan pantang untuk direndahkan. Manusia yang tidak bisa membela namanya, berarti tidak bisa membela kehormatannya. Orang seperti itu tidak pantas menyebut dirinya manusia!"
Ya, ampun, belajar dari mana si Hamid ini kata-kata seperti itu, gerutuku dalam hati. Dari buku barangkali tetapi belajar dari mana tidaklah penting. Yang penting Hamid mengucapkan itu semua dengan suara bersungguh-sungguh.
"Kehormatan memang harus dipertahankan dan dibela!" kataku setuju dengan pendapat Hamid. "Terutama bagi seorang laki-laki. Kehormatan pantas dibela dengan apa saja, bahkan juga dengan nyawa. Aku setuju dengan pendapatmu ini!"
"Bagus!" seru Hamid gembira. "Engkau memang teman sejati!"