Keningku kembali berkerut. Terus terang aku tidak menduga kalau bantuan yang diminta Hamid adalah menulis surat. Kukira bantuan yang diminta kalau bukannya masalah berkelahi, tentunya bantuan untuk ikut serta menghajar seseorang. Tetapi menulis surat? Bah, apa hubungan kemarahannya dengan menulis surat?Â
Apa dia ingin menghajar seseorang dengan surat? Aku jadi tersenyum geli dalam hati membayangkan kemungkinan itu. Menghajar seseorang lewat surat, menggelikan, bukan?
"Kenapa kau tersenyum-senyum? Ada yang lucu?"
Aku gelagapan menerima pertanyaan sinis semacam itu. Kontan senyumku hilang tak berbekas.
"Kau mau membantuku tidak?" tanya Hamid lagi.
"Tentu saja mau!" jawabku bersungguh-sungguh.
Rupanya persoalan amat serius. Aku tidak boleh lagi memandang remeh persoalan si Hamid ini. Dia betul-betul serius dan bersungguh-sungguh, sampai-sampai dia berani berkata keras padaku. "Tetapi bagaimana pun juga engkau harus menceritakan semuanya kepadaku!"
"Itu bisa dilakukan nanti!" kata Hamid. "Sekarang yang penting aku harus menulis surat lebih dulu, Surat wasiat di atas materai. Aku ingin memberi kuasa kepada dirimu, untuk melakukan apa-apa yang tidak bisa kuselesaikan, karena siapa tahu aku gagal dalam usahaku ini!"
Aku menghela nafas panjang sambil mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja, suatu kebiasaan kalau sedang berpikir. Sekarang bukan cuma heran dengan tingkah si Hamid ini, tetapi aku juga bingung. Hamid datang marah-marah, menolak menceritakan kejadian yang menimpanya, dan sekarang memintaku menulis surat kuasa sekaligus surat wasiatnya. Apa-apaan ini?
"Tulis di atas surat kuasa itu bahwa aku menguasakan segala urusanku yang belum selesai pada dirimu. Semua piutang yang kumiliki, kuwariskan pada dirimu. Utang aku tidak punya dan sebagai imbangan untuk semua piutang yang kumiliki, engkau wajib menyelesaikan semua tugas dan kewajibanku yang belum selesai kukerjakan."
Hamid berhenti berbicara. Aku tetap duduk, belum beranjak mengambil kertas atau mesin tik. Aku masih bingung dan tidak mengerti.