"Bagaimana?" tanya Hamid. "Jelas, bukan? Dan engkau mau menerima tugas ini?"
"Akan kuterima semua permintaan bantuanmu!" kataku pelan. "Tetapi persoalannya aku masih belum jelas. Engkau mengatakannya sepotong-sepotong. Apa engkau berharap aku bisa mengerti semua persoalanmu sementara engkau enggan menceritakannya padaku?"
Hamid menatapku sambil menggigit bibir. Dia berpikir mempertimbangkan banyak hal.
"Ceritakan semuanya padaku, agar aku bisa membantu sepenuhnya!" sambungku melihat kesempatan itu.
Hamid tampaknya mulai bisa berpikir dan mempertimbangkan kata-kataku.
"Bagaimana aku bisa menulis surat kuasa dan surat wasiat dengan baik kalau latar belakang penulisan itu aku tidak tahu?"
"Jadi surat kuasa juga memerlukan keterangan semacam itu?" tanya Hamid mulai memperlihatkan sifat aslinya lagi, sifat yang polos dan agak ketolol-tololan.
"Tentu saja!" jawabku cepat dan mantap. "Kau pikir mudah menulis surat kuasa. Paling tidak, aspek yuridisnya harus jelas, agar surat kuasa itu bisa diakui secara sah!"
Untuk keterangan yang ini terus terang saja sedikit mengada-ada, tetapi kalau tidak begini, bagaimana Hamid bisa kuyakinkan agar mau menceritakan semuanya? Mengada-ada sedikit, sah asal dilandasi oleh kepentingan yang lebih besar. Paling tidak, begitulah menurut keyakinanku ketika itu.
Hamid menatapku. Tampaknya dia masih ragu-ragu dan bimbang tetapi aku balas menatapnya dengan pandangan meyakinkan. Aku tahu dengan pasti bagaimana sifat Hamid. Dengan bersikap bersungguh-sungguh, aku dengan mudah bisa mempengaruhinya dan benar, aku akhirnya berhasil mempengaruhi dia. Ini kulihat dari sinar matanya.
"Kau tidak akan berbalik membatalkan janji bantuanmu kalau kuceritakan persoalan ini?" tanya Hamid. Mungkin untuk lebih meyakinkan keputusannya untuk bercerita.