Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Harga Sebuah Nama

24 Februari 2021   14:26 Diperbarui: 10 November 2024   12:48 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keningku kembali berkerut. Terus terang aku tidak menduga kalau bantuan yang diminta Hamid adalah menulis surat. Kukira bantuan yang diminta kalau bukannya masalah berkelahi, tentunya bantuan untuk ikut serta menghajar seseorang. Tetapi menulis surat? Bah, apa hubungan kemarahannya dengan menulis surat? 

Apa dia ingin menghajar seseorang dengan surat? Aku jadi tersenyum geli dalam hati membayangkan kemungkinan itu. Menghajar seseorang lewat surat, menggelikan, bukan?

"Kenapa kau tersenyum-senyum? Ada yang lucu?"

Aku gelagapan menerima pertanyaan sinis semacam itu. Kontan senyumku hilang tak berbekas.

"Kau mau membantuku tidak?" tanya Hamid lagi.

"Tentu saja mau!" jawabku bersungguh-sungguh.

Rupanya persoalan amat serius. Aku tidak boleh lagi memandang remeh persoalan si Hamid ini. Dia betul-betul serius dan bersungguh-sungguh, sampai-sampai dia berani berkata keras padaku. "Tetapi bagaimana pun juga engkau harus menceritakan semuanya kepadaku!"

"Itu bisa dilakukan nanti!" kata Hamid. "Sekarang yang penting aku harus menulis surat lebih dulu, Surat wasiat di atas materai. Aku ingin memberi kuasa kepada dirimu, untuk melakukan apa-apa yang tidak bisa kuselesaikan, karena siapa tahu aku gagal dalam usahaku ini!"

Aku menghela nafas panjang sambil mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja, suatu kebiasaan kalau sedang berpikir. Sekarang bukan cuma heran dengan tingkah si Hamid ini, tetapi aku juga bingung. Hamid datang marah-marah, menolak menceritakan kejadian yang menimpanya, dan sekarang memintaku menulis surat kuasa sekaligus surat wasiatnya. Apa-apaan ini?

"Tulis di atas surat kuasa itu bahwa aku menguasakan segala urusanku yang belum selesai pada dirimu. Semua piutang yang kumiliki, kuwariskan pada dirimu. Utang aku tidak punya dan sebagai imbangan untuk semua piutang yang kumiliki, engkau wajib menyelesaikan semua tugas dan kewajibanku yang belum selesai kukerjakan."

Hamid berhenti berbicara. Aku tetap duduk, belum beranjak mengambil kertas atau mesin tik. Aku masih bingung dan tidak mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun