Mohon tunggu...
Tony
Tony Mohon Tunggu... Administrasi - Asal dari desa Wangon

Seneng dengerin musik seperti Slip Away dari Shakatak.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Parantapa Murka (Bagian 2)

26 Agustus 2021   14:40 Diperbarui: 26 Agustus 2021   14:49 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

MOHON PERHATIAN

Cerita ini bersifat fiksi dan khayalan belaka. Apabila ada kesamaan nama tokoh dan tempat lokasi, itu hanya terjadi secara kebetulan saja dan tidak ada unsur kesengajaan. Kebijakan para pembaca sangat diharapkan.

BAGIAN 2 : ANJING ANJING PERANG    

Banyak kejanggalan yang terdapat di sekitar Hutan Serigala. Sabana yang luas di tempat itu iklimnya tidak selalu hangat. Lokasi yang satu lebih terlihat seperti tundra, lokasi gersang dimana ular seperti sidewinder pun enggan hidup disitu. Sementara hutan yang ada tepat di sebelahnya terlihat subur dan hijau. Dipenuhi oleh tumbuhan yang mirip pinus merah Jepang tetapi daun-daunnya sangat lebar dan lebat. Wangi pohon cedar tercium dari kejauhan, tetapi ternyata berasal dari semacam pohon beringin berdaun kuning yang tingginya tigapuluh lima meter. Meski berada didekat gunung yang puncaknya selalu tertutup oleh salju, hutan tersebut masih mendapat sengatan panas matahari yang sangat kuat walau masih berkabut.              

Seperti pada suatu pagi, dimana kabut masih tersisa menyelimuti hutan, terdengar lolongan dari kumpulan serigala. Lolongan yang tinggi dan panjang. Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak dari daerah tundra menuju ke hutan.

Seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun lari terbirit-birit dengan tanpa busana. Sementara di dalam hutan yang gelap terdapat puluhan pasang mata menyaksikan kejadian itu dari jauh. Lolongan serigala berhenti setelah si anak berhasil melewati batas antara daerah tundra dengan hutan yang subur. Setelah berlari beberapa langkah, si anak berhenti di depan seorang wanita.

Wanita itu memandang si anak yang menarik napas dengan terengah-engah. Badannya kurus, wajahnya terlihat renta dan tubuhnya yang telanjang kotor berbau busuk dan anyir. Si anak tampak mengenakan besi bulat seperti cincin yang melingkar di leher dan tersambung dengan rantai yang cukup panjang ke cincin besi bulat yang satunya. Wanita itu yakin bahwa si anak adalah anak kandungnya yang sempat hilang bersama suaminya entah sudah berapa lama. Tatapan mata si anak terlihat kosong. Sepertinya kejadian-kejadian yang sudah dilalui membuat dia menjadi gila. Kejadian-kejadian yang seharusnya tidak dijumpai dan tidak dirasakan oleh anak seumur dia.

Setelah menyerahkan besi bulat seperti yang ada di lehernya yang dia bawa selama dia berlari, si anak jatuh terkulai dan tangan wanita itu dengan sigap menangkapnya. Wanita itu memandang dua besi bulat yang ada di pangkuannya, satu melilit leher anaknya yang sudah mati dan yang lain masih melilit di leher seorang pria.

Wanita itu membelai kepala pria yang terlilit besi bulat. Kepala pria tanpa badan itu dikenal betul sebagai suaminya. Kelihatannya si suami rela memutus kepalanya sendiri agar si anak bisa segera melarikan diri pulang. Wanita itu yakin suaminya berbuat demikian karena bentuk potongannya tidak rapi dan si anak menggunakan alat potong yang sudah tumpul. Sebuah pesan ingin disampaikan bahwa mereka ingin mati di pelukan seorang wanita yang mereka cintai.

Wanita itu terdiam untuk beberapa saat. Sambil memangku tubuh anak dan kepala suaminya rasa-rasanya dia sudah tidak bisa lagi untuk menangis, sebab air matanya sudah kering.                                                          

Tidurlah wahai pahlawanku ... Tidurlah bersama malaikat-malaikat pelindungmu ... Saatnya nanti, pedangmu akan melayang ... Mengantar musuhmu ke gerbang neraka...

Nyanyian itu terdengar lirih dari belakang. Wanita itu hanya berharap akan satu hal bahwa besok matahari harus masih bersinar, sebab jangan terjadi kiamat sebelum dendamnya terbalas.        

Kemudian lolongan sekelompok serigala terdengar kembali. Lolongan yang lebih nyaring dan panjang.

Sesungguhnya, di tempat itu belum pernah ditemukan seekorpun serigala. 

***

Santa Fe meluncur dengan cepat di jalan tol.

Ramos duduk di samping sopir sambil membaca puluhan lembar data yang ditulis tangan oleh Untung. Agar lutut kakinya terasa nyaman, kursi yang didudukinya digeser sampai penuh ke belakang karena tubuhnya yang tinggi besar. Sejak berangkat dari Bekasi atau sekitar duapuluh menit yang lalu, belum terjadi percakapan sepatahpun di dalam mobil.

"Sepertinya aku mendapat kesusahan," Ramos menggumam sambil tetap memandang kertas-kertas yang ada di tangannya, "Tulisan-tulisan ini, minta ampun, sama sekali tidak bisa dibaca."

"Nama saya Rina Sri," si sopir memperkenalkan dirinya sambil tersenyum, "Itu ulah Pak Untung."

 "Maksud Anda?" tanya Ramos.

"Panggil saya Rina saja pak," jawab Rina sambil tetap fokus mengendarai mobil, "Benar juga tebakan Pak Untung, agar ada perbincangan di antara kita, Anda harus dipancing terlebih dahulu."

 "Maksudmu kertas-kertas ini..."              

"Tepat," Rina memotong suara Ramos, "Tulisan-tulisan di kertas itu memang tidak punya arti apa-apa, dan Anda pasti akan bertanya."

"Brengsek!" Ramos mendesah geram.

"Earphone," Rina menunjuk ke kursi Ramos, "Gunakan earphone untuk mendengarkan suara Pak Untung."

Ramos mengambil benda yang dimaksud yang disimpan rapi berada di belakang senderan kepala. Bentuknya yang kecil sehingga dapat dipakai dengan mudah.

"Kabelnya jangan sampai terlilit dan kusut," Rina berbicara sambil menyerahkan sebuah remote, "Usahakan kabel tetap lurus, seratnya sangat tipis dan sensitif. Tehnologi terkini, multi media interface dari Harman Becker, 6 cd changer, navigasi satelit, ampli dan speaker dari Bang & Olufsen, dan mungkin baru mobil ini yang dilengkapi earphone bertata suara Dolby Atmos. Tombol merah adalah milik saya, berisi lagu-lagu dari Phil... ah pasti Anda tidak paham. Tombol berwarna biru berisi lagu-lagu Jawa milik Pak Untung seperti lagu dari Waljinah. Anda mungkin pernah dengar judul lagu seperti Walang..."

"Cukup!" wajah serius Ramos memandang Rina, "Tombol mana yang harus aku tekan?"

"Maaf," Rina melirik ke Ramos, "Warna hijau milik Anda. Harap disimak benar-benar, sebab rekaman itu akan terhapus otomatis setelah selesai."

Warna hijau ditekan. Ramos serius mendengarkan suara Untung.

Santa Fe keluar dari jalan tol. Berhenti disebuah perempatan jalan karena traffic light menyala warna merah. Setelah pesan Untung selesai didengar, dengan tidak percaya kepala Ramos mendekat memandang wajah Rina secara perlahan hingga bertatap muka. Wajah cantik dengan bibirnya yang tipis itu tersenyum membalas pandangan Ramos.

"Kamu," suara Ramos terdengar lirih, "Peluru yang pernah bersarang di pinggang Untung berasal dari senjata kamu?"

***           

                                                                                                                            

Seperti biasa, panas yang menyengat sedang menerpa kota Jakarta. Mobil Ratno sengaja diparkir di pinggir jalan, sementara dirinya menyantap semangkuk mie ayam yang dijual dengan gerobak keliling yang kebetulan mangkal di sebelah rel kereta api tepat di seberang parkiran mobil. Hampir setiap pagi orangtuanya selalu berpesan agar mengurangi makanan kegemarannya itu, takut akan zat formalin yang sengaja dicampur dalam adonan mie agar tidak cepat basi. Ratno tidak pernah mengindahkan pesan tersebut.

Khawatir akan terjadi sesuatu, pria gemuk pendek itu buru-buru menghabisi makanannya. Kekhawatirannya terjadi juga, orang yang ditunggu tampak keluar dari balik pintu berukuran besar. Coca-Cola botol kecil langsung diminum habis. Minuman itu bukan sebagai penutup makannya, melainkan sebagai penawar rasa mual dan pereda sakit kepala. Bau interior mobil sedan yang dibawanya kadang membuat kepalanya jadi pusing. Dan memang benar, dalam sejarah Coca-Cola sejak awal kemunculannya minuman itu memang beriklan sebagai pereda mual dan sakit kepala.

Setengah berlari Ratno menghampiri tamunya, pria setengah baya yang kurus badannya tetapi terlihat sangat kekar. Setelah memastikan tamunya sudah nyaman duduk di kursi belakang yang berfungsi juga sebagai kursi pijat, Camry Hybrid yang dikendarai Ratno meninggalkan pelataran parkir Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

Matahari sudah mulai tenggelam, Camry melaju pelan setelah menyeberangi lintasan rel kereta api yang terletak di daerah sekitar Tanah Abang. Berhenti di depan salah satu rumah gubuk yang berderet di pinggir rel. Penghuni rumah gubuk yang lain seakan tidak peduli dengan datangnya mobil mewah itu, mereka asyik menikmati alunan musik dangdut yang terdengar sangat keras dari sebuah loudspeaker murahan.

Ratno menutup pintu rumah setelah tamunya masuk terlebih dahulu. Kosong. Tidak ada perabotan di gubuk itu hanya sebuah kursi kayu yang sudah usang yang sedang diduduki Hartono di sebelah pojok. Hartono bergegas berdiri menghampiri tamunya.

"Dokter Karta," sambut Hartono, "Apa kabar?"

Mereka berjabat tangan. Karta hanya tersenyum.

"Aku bingung," Hartono kembali membuka suara, "Tempat seperti ini yang Anda inginkan untuk pertemuan pertama kita."

Hartono menyodorkan sebatang cerutu. Karta langsung menerima cerutu itu lalu menghisapnya pelan-pelan.

"Anda sudah bebas," Hartono menepuk bahu Karta, "Cipinang seharusnya merasa terhormat pernah ditempati oleh dokter bedah sekaliber Anda. Aku harap tempat itu tidak membuat Anda jadi semakin lemah."

"Itulah sebabnya aku memilih tempat seperti ini," jawab Karta sambil mendekat ke kursi kayu bekas tempat duduk Hartono dan dengan tiba-tiba dibenturkannya ke tubuh Ratno. Sopir itu terkejut tidak kepayang. Tubuhnya langsung lunglai. Susah untuk bergerak melawan karena badannya yang gemuk. Ratno duduk kesakitan. Karta mematahkan salah satu kaki kursi yang dirasakannya paling kokoh, kemudian memukul kepala Ratno bertubi-tubi hingga batok kepalanya lembek seperti balon diisi penuh air.

Hartono tercengang melihat pembunuhan sopirnya itu di depan mata. Teknik membantai yang luar biasa, sebab tak setetespun darah keluar dari tubuh Ratno. 

        

***

Di depan bangunan kantor polisi Cilacap, Ramos duduk sendirian di samping pelataran parkir sambil berbicara dengan Untung melalui telepon genggamnya.

"Baik, jadi sekarang sudah jelas kalau Wahono dibunuh dan barang-barangnya masih utuh." Suara Untung terdengar dari handphone.

"Benar. Sepertinya si pembunuh tidak tertarik atau terlalu tolol dengan barang-barang milik Wahono," jawab Ramos.

"Suara rekaman itu, apakah kamu menangkap sesuatu?"

"Masih nihil, nanti aku pelajari kembali."

"Aku harap kamu fokus dengan ini, Ramos."

"Aku sedikit terhanyut. Setelah melihat foto-foto wajah Wahono dengan lehernya yang menganga berlubang, apakah kamu masih ingat saat kita bertemu dengan dia di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional? Aku masih ingat meski bertemu sebentar. Kamu waktu itu menyebut namaku dengan Ramos si anjing di depan Wahono. Tetapi Wahono hanya tertawa sambil meralat dengan sebutan Ramos si anjing yang baik. Wahono mengulang-ulang terus satu pesan yang sama waktu itu agar aku selalu dekat dengan kamu, apapun yang terjadi aku harus membantu Untung Winarto. Sampai sekarang aku belum paham maksudnya. Wahono pernah berkata bahwa untuk melawan monster kita harus bertindak seperti monster juga. Wahono melihat hal itu ada di dalam jiwaku, sesuatu yang jahat dan bengis ada di dalam diriku. Sebetulnya aku sedikit tersinggung. Sungguh, di mataku Wahono adalah pribadi yang cerdas dan benar-benar santun."

"Aku setuju dengan kamu, Ramos. Aku akan cerita tentang dia suatu saat nanti. Sekarang kamu usahakan cari pelakunya."

Dari jauh Rina memberi isyarat kepada Ramos.

"Si polisi cantik itu rupanya sudah selesai dengan tugasnya. Foto-foto dan suara rekaman Wahono sudah di kirim ke komputer Anda." Ramos memberi tahu kepada Untung.

"Baik nanti aku akan cek," jawab Untung, "Sekarang cari penginapan dan kalian istirahat saja dahulu. Sampaikan salam terima kasihku kepada teman-teman di Cilacap."

"Oke siap."

"Ada satu hal lagi, Ramos," Untung mengakhiri pembicaraan, "Suatu saat kamu akan tahu, kenapa sopir kamu yang cantik itu selalu mengenakan baju training."

***

Gelap dan berkabut. Dua mobil van berwarna hitam menanjak tanpa kendala menuju sebuah rumah yang berada di atas bukit di daerah kawasan wisata Puncak, Cipanas. Rumah besar yang keseluruhannya terbuat dari kayu itu mempunyai taman yang luas dan indah. Berdiri dengan terang oleh lampu-lampu yang ada disana-sini. Rumah itu terkesan ingin menyendiri, sebab tetangga terdekat jaraknya lebih dari tiga kilometer.

Mobil yang pertama berhenti di depan pintu masuk rumah, sementara van yang satunya berhenti sekitar seratus meter dari situ.

Empat orang pria bertubuh tegap berseragam tentara lengkap dengan senjata laras panjang keluar dari mobil yang pertama. Dua orang dari mereka langsung masuk ke dalam rumah, sementara dua yang lain sibuk menurunkan enam tong besar yang kemudian diletakan dekat pintu masuk rumah.

Karta keluar dari mobil dengan ditemani seorang pengawal yang juga bersenjata. Kaca jendela belakang mobil terbuka, Hartono tampak di dalam mobil sedang menghisap rokok.

"Aku tunggu disini saja," kata Hartono sambil menyerahkan beberapa lembar kertas ke Karta, "Cara merekrut mereka terserah Anda saja, aku takut shock seperti kemarin. Meski benar efektif tapi sangat biadab."

"Kita sudah sepakat malam ini bahwa bukan kuantitas yang sedang kita cari," jawab Karta sambil tersenyum lalu berjalan meninggalkan Hartono.

Interior rumah itu benar-benar berkelas, mirip sebuah kastil lengkap dengan tungku perapiannya. Perabotan dapur, perlengkapan ruang tamu dan karpet semuanya barang-barang pilihan. Terutama meja makan yang ukurannya sangat besar dimana duapuluh orang bisa bersantap bersama

Karta memperhatikan ruangan rumah itu hanya selintas saja. Matanya terfokus pada duapuluh orang pria yang semuanya berjaket dengan model dan warna merah yang sama yang duduk di meja makan.

Lima orang yang berseragam tentara dan bersenjata laras panjang berdiri di sekitar meja makan. Seperti dalam formasi militer, salah satu dari mereka yang bernama Harto memberi perintah pada semua yang berjaket merah agar berdiri memberi hormat kepada Karta.

"Tidak perlu, Harto," Karta memberi isyarat, "Duduk saja kembali."

Karta kembali melihat lembaran print-out foto yang ada di tangannya sambil mencocokan setiap wajah yang berjaket merah. Semuanya sudah sesuai.

"Terima kasih kalian sudah tertarik untuk bergabung dengan kami," Karta memulai pidatonya, "Kami sudah menjamu kalian dengan pesta yang gila dua hari dua malam di tempat ini. Makanan, minuman, perempuan, semuanya kami sediakan dengan berlebih. Kami menghargai betul orang-orang dengan jiwa patriot seperti kalian. Tidak seperti negara yang kacau ini, malah mencap kalian sebagai desertir. Siapa diantara kalian yang terlibat kasus Poso?"

Enam orang yang berjaket merah mengangkat tangannya dengan serempak.

"Enam orang," lanjut Karta, "Kalian benar-benar yang kami butuhkan. Bertindak sesuai nurani, untuk apa dilanjutkan kalau sudah tidak ada kecocokan? Lebih baik kabur dari tugas. Seragam tidak ada artinya lagi sekarang. Kami butuh yang terbaik, petarung sejati, punya nyali dan yang tidak memiliki hati. Yang terbaik akan ikut dengan kami, orang-orang yang benar-benar menikmati pekerjaannya selain demi uang, sementara untuk kalian yang lemah akan tinggal di sini. Kalian masing-masing akan mendapat selembar kertas dari saya, jangan sentuh kertas itu sebelum ada perintah selanjutnya."

Harto beserta empat orang temannya meletakan kertas polos di atas meja di depan masing-masing desertir.

Setelah semuanya sudah mendapatkan kertasnya masing-masing, tampak salah satu dari desertir itu kelihatan penasaran. Disentuhnya dan hendak dibaliknya kertas yang ada di depannya. Harto melihat kejadian itu dan langsung menghampiri. Senjata laras panjangnya yang sudah berperedam ditempelkan di kepala bagian belakang. Sebuah letupan terdengar lirih dari senjata milik Harto. Isi kepalanya meledak terburai mengotori meja makan, desertir itu mati seketika sebelum dia sempat membalikan kertasnya.               

"Camkan baik-baik," Karta mulai berbicara kembali, "Baca perintah yang ada dibalik kertas yang sudah dibagikan setelah korek api yang ada ditanganku ini menyala."

Karta mengambil sebungkus rokok dari dalam kantong jaketnya. Diambilnya rokok sebatang lalu menyalakan korek api. Lima orang yang bersenjata menjauhi meja makan mendekat ke Karta.

Tak lama kemudian didalam rumah itu terjadi kericuhan. Perintah yang tertera disetiap kertas itu sama bunyinya: BUNUH SEMUA YANG BERJAKET MERAH.

Semua yang mengenakan jaket merah saling menyerang dengan barang apa saja yang ada di sekitar mereka. Tampak salah satu dari mereka sudah terkapar tewas dengan leher ditusuk beberapa garpu makan, yang lainnya kepalanya remuk oleh benda keras dan banyak yang mati ditusuk dengan pisau dapur. Mereka saling membantai satu sama lain. Jeritan mereka yang tidak berdaya mirip suara babi yang hendak disembelih.

"Cukup!" Karta berteriak dengan nyaring.

Desertir yang berhasil mempertahankan nyawanya akhirnya berhenti bertarung. Yang masih berdiri tampak hanya enam orang, mereka yang terlibat kasus Poso.

Mereka diperintah Karta untuk segera masuk mobil, sementara tentaranya sibuk membuka tong-tong besar yang kemudian ditumpahkan keseluruh bangunan rumah dengan rata. Rumah kayu yang nyaman itu benar-benar bermandikan bensin.

"Tunggu!" salah satu desertir itu memandang Karta saat mereka hendak keluar rumah, "Ijinkan aku bertarung dengan anjing itu!"

Harto terperanjat kaget saat si desertir menunjuk ke dirinya.

Karta mengangguk pada Harto pertanda mengijinkannya untuk menerima tantangan.

Harto membuka seragamnya, diambilnya dua belati yang disimpan di pinggangnya lalu salah satunya diberikan kepada si desertir. Harto ingin terlihat fair di mata anak buahnya, padahal itu hanya untuk menutupi perasaan groginya saat ditantang.

"Aku akan melubangi kepalamu seperti yang kau lakukan terhadap saudaraku tadi," si desertir berbicara dengan geram sambil membuang belati milik Harto, lalu mengambil belati miliknya sendiri.

"Kalau begitu hari ini benar-benar sangat istimewa," jawab Harto sambil memainkan belatinya, "Sebab dua anjing pengkhianat bisa aku bunuh sekaligus!"

Suara besi beradu terdengar nyaring, percikan api sesekali terlihat dari dua belati yang bertemu. Harto dan lawannya saling mengayunkan belatinya, lengah sedikit fatal akibatnya.

Sementara mereka sedang bertarung, Karta dan yang lainnya meninggalkan ruangan pembantaian itu sambil menyalakan korek api. Dibakarnya rumah itu oleh Karta. Meski basah karena kabut, rumah kayu yang sudah disiram bensin itu tetap saja dapat menyala dengan mudah. Api membumbung tinggi dengan gagahnya, meliuk-liuk membakar tanpa ampun rumah dan semua isinya. Api semakin besar menyala membakar mayat-mayat para desertir dan juga siap melahap dua orang yang sedang bertarung dibakar amarah mereka.

Mobil-mobil hitam itu sudah siap beranjak pergi. Karta yang duduk bersebelahan dengan Hartono menyaksikan ganasnya api menghanguskan sebuah rumah.

Tak lama kemudian dari kejauhan tampak seseorang melompat keluar dari jilatan api, seseorang yang memenangkan pertarungan dengan adu belati. Bagai berdiri dekat tungku yang amat besar, orang itu berteriak sambil mengangkat sesuatu dari tangan kirinya sementara tangan kanannya masih terlihat menggenggam belati.

Datang dengan tubuh yang mengeluarkan asap, orang itu berjalan bergabung dengan mobil yang pertama. Lampu mobil Karta yang ada dibelakang mobil pertama dengan jelas menyorot orang tersebut, si desertir yang mukanya setengah terbakar sedang menjinjing kepala Harto.

       

***

Matahari pagi belum sepenuhnya muncul, Rina yang bermalam di hotel sederhana di sekitar pantai Cilacap sedang sibuk mencari Ramos. Tidak ada pesan yang ditinggalkan di hotel oleh Ramos, Rina akhirnya menyusuri pantai sambil memperhatikan setiap kedai yang berderet di sekitar penginapan.

Rina kebetulan berpapasan dengan sekelompok orang yang sedang jogging dan salah satu dari mereka memberitahu kepada Rina sambil menunjuk ke arah pulau Nusa Kambangan.

Rina memicingkan matanya memandang air laut yang naik turun disekitar pulau itu. Telepon genggamnya lalu terdengar berdering.

"Apakah kamu sudah menemukan si Ramos?" suara Untung terdengar lewat handphone.

"Fakta bahwa laut di sekitar Nusa Kambangan sangat berbahaya," jawab Rina, "Jarang ada orang yang selamat berenang mendekati pulau itu. Airnya sangat dingin dan sangat dalam serta kadang muncul beberapa binatang buaya."

"Lantas?"

"Si sinting itu sedang berolah raga pagi."

"Maksud kamu?" tanya Untung.

Dengan mendesah kesal Rina menjawab, "Ramos sedang berenang menuju pulau itu."

***

Ada beberapa binatang yang sudah mencari makan di saat pagi, salah satunya seperti hewan yang mirip iguana tapi berbulu lebat. Setelah mendapat calon mangsanya, iguana diam menunggu saat yang tepat. Bulunya yang berwarna coklat muda menjadi andalannya untuk berkamuflase di sekitar tundra yang tandus. Calon mangsanya akan mengira bahwa bulunya adalah rumput kering yang sudah terlepas dari akarnya. Tapi tidak untuk calon mangsanya yang satu ini, seekor binatang mirip kepik tapi mempunyai ekor seperti cicak. Hewan yang mirip iguana itu tidak mengalami kesulitan sama sekali saat lidahnya menjulur menangkap si kepik yang lamban. Tidak sampai dua detik, si kepik sudah berada di dalam perut iguana. Tidak sampai dua detik juga setelah berada di dalam perut, iguana itu mati. Ekor kepik yang terlihat lemah itu ternyata mampu kejang sekeras tulang dan memutar seperti kipas angin mengobrak-abrik isi kepala iguana dengan cepat. Kepik dengan leluasa keluar lewat lubang mata iguana yang sudah tersayat lebar, mengepakan sayapnya lalu terbang tinggi mencari aroma bau busuk dari kepulan asap berwarna hitam yang berasal dari dalam Hutan Serigala.

Anak dan suaminya diletakan di atas batu yang dikelilingi batu-batu besar lainnya mirip seperti Stonehenge. Wanita itu menunggu sampai apinya benar-benar padam membakar jasad anak dan kepala suaminya.

Setelah menjelang malam api itu sudah benar-benar padam dan hanya menyisakan dua besi bulat. Bulan purnama tampak indah bersinar, menyinari wanita itu yang sedang kejang kesakitan setelah menyaksikan proses kremasi anak dan suaminya. Sakit yang luar biasa, dadanya membusung sementara bahunya mengkerut kebelakang. Lehernya tertarik ke depan, mulutnya terbuka lebar sampai dagunya turun menempel ke leher. Jari-jari tangannya mulai memanjang sementara jari-jari kakinya menjadi kecil. Matanya mulai mengeluarkan darah karena menahan sakit. Tapi hal itu dia lakukan dengan senang hati, toh pada dasarnya dia sudah tidak memilik apa-apa lagi. Keputusannya sudah bulat, jiwanya harus mati terlebih dahulu untuk melahirkan jiwa yang baru lagi.

Berdiri di samping abu yang berasal dari anak dan suaminya, wanita itu bernapas dengan tersengal-sengal. Kedua pupil matanya berubah seperti mata kucing. Kepalanya menengadah ke langit dengan mulutnya terbuka lebar. Sinar bulan purnama menjadi saksi bahwa dari mulut wanita itu telah lahir entah binatang apa.

---Bersambung---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun