"Tepat," Rina memotong suara Ramos, "Tulisan-tulisan di kertas itu memang tidak punya arti apa-apa, dan Anda pasti akan bertanya."
"Brengsek!" Ramos mendesah geram.
"Earphone," Rina menunjuk ke kursi Ramos, "Gunakan earphone untuk mendengarkan suara Pak Untung."
Ramos mengambil benda yang dimaksud yang disimpan rapi berada di belakang senderan kepala. Bentuknya yang kecil sehingga dapat dipakai dengan mudah.
"Kabelnya jangan sampai terlilit dan kusut," Rina berbicara sambil menyerahkan sebuah remote, "Usahakan kabel tetap lurus, seratnya sangat tipis dan sensitif. Tehnologi terkini, multi media interface dari Harman Becker, 6 cd changer, navigasi satelit, ampli dan speaker dari Bang & Olufsen, dan mungkin baru mobil ini yang dilengkapi earphone bertata suara Dolby Atmos. Tombol merah adalah milik saya, berisi lagu-lagu dari Phil... ah pasti Anda tidak paham. Tombol berwarna biru berisi lagu-lagu Jawa milik Pak Untung seperti lagu dari Waljinah. Anda mungkin pernah dengar judul lagu seperti Walang..."
"Cukup!" wajah serius Ramos memandang Rina, "Tombol mana yang harus aku tekan?"
"Maaf," Rina melirik ke Ramos, "Warna hijau milik Anda. Harap disimak benar-benar, sebab rekaman itu akan terhapus otomatis setelah selesai."
Warna hijau ditekan. Ramos serius mendengarkan suara Untung.
Santa Fe keluar dari jalan tol. Berhenti disebuah perempatan jalan karena traffic light menyala warna merah. Setelah pesan Untung selesai didengar, dengan tidak percaya kepala Ramos mendekat memandang wajah Rina secara perlahan hingga bertatap muka. Wajah cantik dengan bibirnya yang tipis itu tersenyum membalas pandangan Ramos.
"Kamu," suara Ramos terdengar lirih, "Peluru yang pernah bersarang di pinggang Untung berasal dari senjata kamu?"
*** Â Â Â Â Â Â