Â
Seperti biasa, panas yang menyengat sedang menerpa kota Jakarta. Mobil Ratno sengaja diparkir di pinggir jalan, sementara dirinya menyantap semangkuk mie ayam yang dijual dengan gerobak keliling yang kebetulan mangkal di sebelah rel kereta api tepat di seberang parkiran mobil. Hampir setiap pagi orangtuanya selalu berpesan agar mengurangi makanan kegemarannya itu, takut akan zat formalin yang sengaja dicampur dalam adonan mie agar tidak cepat basi. Ratno tidak pernah mengindahkan pesan tersebut.
Khawatir akan terjadi sesuatu, pria gemuk pendek itu buru-buru menghabisi makanannya. Kekhawatirannya terjadi juga, orang yang ditunggu tampak keluar dari balik pintu berukuran besar. Coca-Cola botol kecil langsung diminum habis. Minuman itu bukan sebagai penutup makannya, melainkan sebagai penawar rasa mual dan pereda sakit kepala. Bau interior mobil sedan yang dibawanya kadang membuat kepalanya jadi pusing. Dan memang benar, dalam sejarah Coca-Cola sejak awal kemunculannya minuman itu memang beriklan sebagai pereda mual dan sakit kepala.
Setengah berlari Ratno menghampiri tamunya, pria setengah baya yang kurus badannya tetapi terlihat sangat kekar. Setelah memastikan tamunya sudah nyaman duduk di kursi belakang yang berfungsi juga sebagai kursi pijat, Camry Hybrid yang dikendarai Ratno meninggalkan pelataran parkir Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Matahari sudah mulai tenggelam, Camry melaju pelan setelah menyeberangi lintasan rel kereta api yang terletak di daerah sekitar Tanah Abang. Berhenti di depan salah satu rumah gubuk yang berderet di pinggir rel. Penghuni rumah gubuk yang lain seakan tidak peduli dengan datangnya mobil mewah itu, mereka asyik menikmati alunan musik dangdut yang terdengar sangat keras dari sebuah loudspeaker murahan.
Ratno menutup pintu rumah setelah tamunya masuk terlebih dahulu. Kosong. Tidak ada perabotan di gubuk itu hanya sebuah kursi kayu yang sudah usang yang sedang diduduki Hartono di sebelah pojok. Hartono bergegas berdiri menghampiri tamunya.
"Dokter Karta," sambut Hartono, "Apa kabar?"
Mereka berjabat tangan. Karta hanya tersenyum.
"Aku bingung," Hartono kembali membuka suara, "Tempat seperti ini yang Anda inginkan untuk pertemuan pertama kita."
Hartono menyodorkan sebatang cerutu. Karta langsung menerima cerutu itu lalu menghisapnya pelan-pelan.
"Anda sudah bebas," Hartono menepuk bahu Karta, "Cipinang seharusnya merasa terhormat pernah ditempati oleh dokter bedah sekaliber Anda. Aku harap tempat itu tidak membuat Anda jadi semakin lemah."