Ironi ini tentu berdampak pada citra dan kredibilitas koperasi yang baik dan luhur sesuai makna sejatinya yang telah dirumuskan oleh para perintis gerakan koperasi pada mulanya.
Koperasi itu jadul dan kuno
Pandangan ini mayoritas dari anak-anak muda yang kurang tertarik dan enggan untuk berpartisipasi sebagai anggota di koperasi. Ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat yang bergabung menjadi anggota notabene adalah orang "tua" yang kisaran usia mulai 35 tahun ke atas.Â
Koperasi dinilai ketinggalan zaman, sistem yang masih cenderung konvensional dan kurang kekinian sehingga kurang diminati kaum muda.
Sebagian alasan yang cukup logis adalah karena koperasi dalam perkembangannya masih kurang beradaptasi dengan perkembangan teknologi, bila dibandingkan dengan perbankan.
Anak muda, khususnya generasi milenial yang boleh dibilang sudah begitu melek dengan teknologi, berkeinginan semua proses akses layanan keuangan koperasi dengan lebih instan dan praktis, mulai dari proses mendaftar menjadi anggota hingga proses transaksi dan layanan keuangan lainnya dengan memanfaatkan teknologi digitalisasi.
Karyawan/petugas koperasi cenderung arogan dengan masyarakat.
Stigma ini muncul dilatarbelakangi oleh pandangan sebagian orang yang menyamakan karyawan koperasi dengan debt colector yang cara penagihannya cenderung terkesan agresif dan arogan.
Sebagian masyarakat yang saya temui di lapangan merasa enggan untuk mengajukan pinjaman di koperasi karena khawatir jika pinjamannya macet, mereka takut akan ditagih dengan cara yang arogan dan kurang etis.Â
Seperti pengakuan tiga orang ibu rumah tangga yang sempat saya temui ketika hendak melakukan survey pinjaman di lapangan. Mama Feni (nama samaran) mengaku bahwa ia bersama suaminya merasa sangat terganggu dengan ulah seorang penagihan hutang yang cenderung arogan dengan mengucapkan kata-kata kasar, makian dan ancaman.
Ia dan suami juga merasa terganggu karena pernah ditagih angsuran saat jam 11 malam. Bahkan barang-barang rumah tangga mereka nyaris diambil dengan paksa.