Mohon tunggu...
Timotius Cong
Timotius Cong Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penginjil

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Depresi BISA Di Sembuhkan

10 Juni 2020   16:21 Diperbarui: 18 Juni 2020   17:48 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 15 Maret 1998 adalah hari di mana saya melepas masa lajang. Tidak tahu apa yang menarik dari saya, hingga dia rela mengikuti saya mengarungi bahtera rumah tangga. Di mana saya sebagai kapten kapal pun tidak tahu bagaimana menjadi suami yang baik

Setelah 10 tahun menikah yaitu thn 2008. Tiba-tiba istri saya sesak nafas. Dalam hati mulai bertanya, apa penyebabnya? Terlintas dalam pikiran bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Paru-paru. Seperti yang saya tahu bahwa seorang yang menderita sesak nafas, kalau bukan sakit paru-paru apa lagi. Ada kepikiran dia sakit jantung, tetapi pikiran tersebut saya abaikan karena dia baru berumur 32 tahun.  Terlalu muda untuk divonis sakit jantung. 

Usaha melakukan pertolongan pertama, setiap ada serangan sesak nafas yang terjadi tiba-tiba sebelum dibawa ke RS terdekat tentu harus di lakukan.  Maka saya menyediakan tabung oxygen dan membekali dia dengan Ventolin. Sejenis obat yang disemprotkan ke mulut untuk melegakan pernapasan.

Ada perasaan lega karena sudah menemukan cara mengatasi masalah ini. Akan tetapi, saya masih bertanya-tanya. Sakit apa gerangan istri saya? Sakit paru-paru atau Jantung? Mau pergi berobat. Tentu yang terpikir adalah biaya yang mahal. Jika tidak pergi berobat, kalau terjadi apa-apa, gimana? 

Sampai pada suatu pagi di gereja, tiba-tiba istri saya sesak nafas. Saya langsung memberikan Ventolin, anehnya tidak ada perubahan apa-apa. Hingga akhirnya di larikan ke rumah sakit terdekat, langsung masuk UGD dan di beri oxygen serta tes jantung dengan EKG. Hasilnya, jantungnya bagus dan tidak ada masalah. 

Hal itu semakin membuat saya heran, dan bersyukur. Di satu sisi saya bersyukur berarti tidak ada masalah di jantung. Disisi lain masih heran. Sebenarnya sakit apa? Lalu ada yang berkata, tes jantung dengan EKG kurang akurat, harus dengan USG dan Treadmill. Wah terbayang lagi biayanya. 

Pada saat kejadian, ada seorang jemaat gereja melihat dan menaruh belas kasihan pada kami. Dia menawarkan kami untuk pergi ke rumah sakit. Di sana ada dokter yang adalah saudaranya. Dia berkata kepada saya,"Bapak jangan kuatir, saya akan menanggung semua biaya pemeriksaan dan pengobatan ibu, yang penting bapak bawa ibu ke Rumah sakit tersebut." 

Segera saya membuat janji dengan dokter tersebut. Ternyata dia adalah dokter internis. Dimulailah pemeriksaan Awal yaitu pemeriksaan Tiroid. Kata dokter tersebut bahwa Tiroid juga bisa membuat seseorang mengalami sesak nafas. 

Dari tanda-tanda dan riwayat istri saya. Kami melihat ada kemungkinan, dia mengalami masalah Tiroid. Dikarenakan waktu masih anak-anak, dia kadang-kadang susah nafas, tetapi hal itu dianggap biasa oleh orang tuanya, karena setelah dewasa sudah tidak lagi. Setelah hasil pemeriksaan darah keluar. Dokter berkata bahwa istri saya tidak sakit Tiroid. 

Dikarenakan tidak ada masalah Tiroid maka dokter menyarankan untuk rontgen Paru-Paru karena "sesak nafas 90 % tidak jauh dari masalah Paru-paru," kata dokter menjelaskan. Setelah hasil pemeriksaan rontgen Paru-paru keluar. 

Dokter menjelaskan bahwa Paru-paru istri saya juga baik-baik. Di satu sisi bersyukur istri saya bukan sakit Tiroid dan paru-paru, tetapi di sisi lain bertambah bingung, apa yang terjadi pada istri saya. Mengapa dia bisa sesak nafas? Saya berpikir, mungkin lebih baik ada penyakit, karena lebih mudah mengobatinya. Daripada seperti ini, bukan paru-paru dan Tiroid tetapi masih sesak nafas. 

Setelah pemeriksaan Tiroid dan rontgen Paru-paru, hanya tersisa satu kemungkin lagi yaitu Jantung, karena jantung juga bisa menyebabkan sesak nafas. Maka saya buat janji dengan dokter, dan mendapatkan surat untuk pemeriksaan Jantung, baik melalui Treadmill dan USG jantung. 

Hati saya mulai berdebar dan takut saat mendengar penjelasan dokter sambil dia melakukan USG Jantung, bahwa  ada lubang-lubang di jantung istri saya, berarti ada kemungkinan dia sakit jantung.  Akan tetapi, dokter berkata, "Lubang-lubang kecil tersebut juga tidak menjadi masalah, karena itu adalah bawaan lahir. Jadi tidak terlalu signifikan menjadi penyebab sesak nafas." 

Dokter jantung melanjutkan, yang terbaik dalam pemeriksaan jantung adalah saat dia sesak nafas, supaya kita bisa melihat apa yang terjadi di jantungnya. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana caranya buat dia sesak nafas? 

Masalahnya, selama ke dokter tidak pernah sesak nafas sebab sesak nafas yang dia alami terjadi secara tiba-tiba. Lalu dokter menyuruh untuk mengadakan pemeriksaan jantung melalui Treadmill.  

Mulailah istri saya berjalan di Treadmill. semakin lama semakin kencang. Dia mulai terlihat ngos ngosan sampai mengalami sesak nafas. Segera dokter datang melihat grafik dari detak jantungnya. Hasilnya, sekalipun istri saya sesak nafas ternyata jantung istri saya normal. 

Setelah menjalani pemeriksaan dari satu spesialis ke spesialis lain, dan satu ruangan ke ruangan lain. Dokter mengembalikan istri saya ke dokter Internis yang adalah dokter pertama tempat kami berkunjung. 

Dokter internis menyimpulkan bahwa istri saya sakit Spasmofilia. Apa itu spasmofilia? Sampai saat ini, saya juga tidak mengerti tepatnya sakit apa itu. Tetapi obat-obat yang diberikan lebih cenderung disebut obat penenang. Karena obat tersebut memang cocok mencegah sesak nafas. 

Obat Kalxetine di minum 2x1. Jika ada gejala mau sesak nafas, segera minum obat yang kecil-kecil warna biru (saya sudah lupa namanya) akan langsung merasa ngantuk dan tidak sesak.

Sejak minum obat ini, istri saya sudah tidak sesak lagi. Dokter berkata, obat ini harus di minum selama 2 tahun. Di karenakan ada hasil dari obat tersebut, maka secara rutin istri saya minum obat tersebut.

Akan tetapi, setelah 2 tahun yaitu tahun 2010, tiba-tiba istri saya sesak lagi. Saya kaget dan merasa minum obat tersebut sia-sia. Obat tersebut tidak menyembuhkan, hanya menahan. Jadi saya juga bingung harus berbuat apa. Apalagi efek samping Kalxetine membuat rambut istri saya mudah rontok sehingga mulai menipis.

Saya mulai menganalisa sendiri. Terbersit dalam pikiran saya, "Jangan-jangan sesak nafasnya ini karena masalah psikologis, jadi dia menderita sakit Psikosomatis."Mengapa saya bisa menyimpulkan demikian? karena semua masalah penyakit fisik yang menjadi penyebab sesak nafas sudah diperiksa dan hasilnya baik-baik. Demikian juga obat yang selama ini dia minum lebih cenderung obat penenang. 

Akan tetapi, pertanyaannya, apa masalah Psikologi yang dialami oleh istri saya?Apakah Depresi bisa membuat orang sesak nafas?Apa penyebab dia mengalami depresi seperti itu? apakah masalah uang? Saya merasa hidup kami cukup-cukup aja, pekerjaan juga baik-baik aja.

Saya mulai berpikir untuk mengajak dia pergi konseling. Akan tetapi, pada saat saya ajak dia ke Psikolog, dia tidak mau. Karena bagi dia, orang yang pergi ke Psikolog akan langsung di anggap sakit jiwa. Jadi stigma negatif ini yang tidak siap dia terima. Padahal tidak semua orang yang ke psikolog selalu sakit jiwa. Demikian juga, saat saya mengatakan dia depresi dan stress, dia juga tidak terima. karena dia berkata bahwa dia baik-baik saja.

Kalau begitu, saya yang harus belajar mengkonseling dia secara pribadi. Sedangkan saya bukan konselor, bukan psikolog. Hanya Hamba Tuhan yang bisanya menasihati orang dengan ayat-ayat Alkitab. Sementara istri saya, sudah saya nasihati dengan Firman Tuhan tetap tidak mampan.

Pada suatu hari, saya berusaha menciptakan suasana yang baik. Saat itulah dia mau jujur kepada saya. Dia mengatakan satu kalimat yang membuat saya tergoncang. Apa yang dia katakan? Dia berkata, "Justru yang membuat saya depresi, bukan orang lain dan juga bukan masalah, tetapi KAMU." Sambil menunjukkan tangannya ke arah saya. 

Dia melanjutnya, 'Apapun masalah hidup, saya bisa terima jika kamu berubah." Wah, saya tidak bisa menerima hal itu. Saya merasa sudah cukup mengasihinya, tetapi sebagai konselor dadakan, saya harus menerima hal itu. 

Lalu saya bertanya, "Hal apa dari diri saya yang membuat kamu depresi?" Dia menjawab, "Sikapmu pada saya yaitu kalau kamu bicara selalu bentak-bentak, suara keras sampai 3 rumah terdengar. Kalau saya lagi sakit, kamu tahunya cuma marah-marah dan ngomel-ngomel." Hari itu saya langsung shock.

Saya terus berpikir dan baru sadar, ternyata, yang menyebabkan istri saya depresi, bukan masalah hidup dan juga bukan orang lain, tetapi saya yang adalah orang dekat dia. Saya terus merenungkan apa yang dia katakan. 

Di satu sisi, saya tidak bisa terima, tetapi di sisi lain, inilah kenyataan yang harus saya cerna dan renungkan. Satu kalimat demi kalimat keluar dari mulutnya sambil menangis. Walaupun menyakitkan bagi saya, karena dituduh seperti itu. 

Saya belajar diam dan mencoba mendengar semua curahan hatinya. Setelah dia selesai mengatakan semua sakit hati, dan kepahitan hidupnya kepada saya. Saya tidak mau membantah dan tidak membela diri lagi. Hanya terdiam dan meminta maaf kepada dia. 

Dia juga memaafkan saya, kami berpelukan sambil menangis. Saya merasa menyesal, "Mengapa saya secara tidak sadar sudah menyakiti istri yang saya kasihi. Padahal dia sudah rela hidup bersama dengan saya. Sekalipun saya hidup pas-pasan." Ternyata antara mengasihi dan menyakiti sangat tipis sekali perbedaannya.

Memang harus diakui, saya memiliki karakter yang keras. Seringkali pada saat stres di pelayanan membuat saya menumpahkan kemarahan dan kekesalan kepada istri dan anak-anak. Jika bukan kepada mereka siapa lagi? kalau kepada orang lain dan jemaat, masalah bisa tertambah besar. Hanya kepada keluarga yang tidak berdaya, kita merasa lebih aman menumpahkan kemarahan kita. Memang saya yang lega tetapi mereka yang terluka. 

Demikian juga pada saat dia sakit, saya marah-marah dan ngomel. Sebenarnya ingin memberitahu dia bahwa saya sangat sedih atas apa yang terjadi pada dia. Saya takut terjadi apa-apa pada dia, tetapi karena saya lakukan dengan mengomel dan marah-marah. Jadi yang terlihat bukan kasih, tetapi kemarahan saya. Sehingga dia bukan semakin membaik tetapi semakin depresi. 

Mulai hari itu, saya berdoa, "Tuhan ampunilah saya, dan ajarkan saya bagaimana cara mengasihi istri dan anak-anak." Saya mencoba berubah. Sekalipun tidak mudah. Tetapi saya harus berkomitmen untuk berubah demi istri.

 Saya mencoba ambil kuliah intensif berkaitan dengan konseling dan pembahasan psikologi di STTRI tempat saya ambil S2. Di situ saya mulai belajar memahami orang lain.

 Saya baru belajar bahwa ternyata setiap masalah dan tingkah laku yang di lakukan orang lain selalu ada penyebabnya. Saya juga di ajar untuk jujur mengungkapkan perasaan sedih, kecewa dan senang. 

Di mana selama ini, sebagai Hamba Tuhan sudah ada aturan yang tidak tertulis. Jika kita mengungkapkan perasaan sedih, takut, kuatir dan marah akan di cap tidak beriman. Sehingga selama ini, saya harus berpura-pura baik-baik sekalipun hidup sudah seperti mau diakhiri saja. 

Dari kuliah intensif dan kelompok diskusi yang saya ikuti membuat saya semakin jujur dan terbuka. Hal itu membantu emosi saya semakin bisa diutarakan pada tempat dan waktu yang benar.

Hasilnya sejak tahun 2014, istri saya berangsur-angsur sembuh dan sesak nafasnya berkurang. Pas tahun 2015 obat Kalxetin sudah tidak dia minum lagi secara rutin, dan penyakit sesak nafasnya sudah sembuh. 

Memang sekali-kali dia merasa mau kumat, terutama jika lagi kecapean dan stres masalah pelayanan. Tetapi segera bisa di atasi dengan cepat, baik dengan mencoba mengalihkan perhatian ke hal-hal lain dan berdoa. Yang penting tidak sesak nafas seperti dulu dan tidak perlu lagi meminum obat Kalxetin secara rutin. 

Meminumnya hanya saat merasa tidak nyaman, tetapi itupun dengan dosis yang kecil yaitu 1x1 dan hanya 3 hari. Setelah gejala tidak nyaman hilang, obat langsung di hentikan. Tetapi sudah amat jarang terjadi. 

Pada awal Pandemi Corona. memang ada rasa tidak nyaman dan mau kumat muncul lagi, karena kecemasan terhadap pandemi Corona. Lalu saya minta dia untuk tidak membaca dan menonton berita-berita tentang Corona baik di Group WA atau TV. Setelah dia tidak membaca berita-berita tentang Corona, rasa cemas sudah bisa di atasi.

Dari pengalaman ini, saya baru tahu ada sesak nafas yang terjadi pada seseorang tidak selalu disebabkan oleh penyakit fisik seperti Paru-paru dan Jantung, tetapi bisa terjadi karena masalah Psikologis yang disebut penyakit Psikosomatis.

Jadi para pembaca sekalian, jika keluarga anda mengalami Depresi. Memang banyak penyebab dari depresi seseorang, tetapi jangan lupa sumbangsih yang besar terhadap depresi bisa dari  anda sendiri. 

Ada beberapa saran:

1. Kasihilah pasangan kita dengan sepenuh hati.

Menyakiti pasangan kita sama dengan menyakiti kita sendiri. Memang sebagai lelaki kita merasa ada superioritas. Seringkali saya ingin dihormati, di anggap dan di dengar.

Saya merasa lemah saat dia tidak mau mentaati apa yang saya perintahkan. Maka kadang-kadang saya marah-marah dan membentak dengan tujuan agar dia diam dan menuruti apa yang saya mau.

Kita semua menikah tanpa pengalaman kecuali pernah bercerai lalu menikah lagi. Hal itu juga tidak menjamin bahwa pernikahan kedua akan lebih baik, karena ada juga yang sudah menikah kedua kali tetap bercerai. 

Menurut saya, banyak sekali pertengkaran terjadi karena kesalahpahaman kepada pasangan kita. Sehingga membuat kita melakukan tindakan yang kita anggap benar, padahal sedang menyakiti pasangan kita. Jadi saya belajar lagi bahwa pasangan kita bukan tempat kita melampiaskan amarah oleh karena tekanan pekerjaan. Tetapi jadikan dia tempat kita mengekspresikan kasih.

2. Menemani dan Mendengar lebih baik daripada mengomel

Saya memiliki kecenderung  mengomel dan marah, saat istri dan anak melakukan kesalahan atau ada masalah. Tujuan saya adalah agar mereka tahu bahwa saya sedih atas apa yang terjadi. 

Akan tetapi, karena saya mengomel dan marah-marah. Jadi yang terlihat bukan kesedihan, kasih dan perhatian saya kepada mereka. Tetapi kemarahan saya yang membuat mereka semakin stres, kemudian berakhir dengan depresi. 

Dari situ saya belajar, jika tidak ada kata-kata yang bisa kita ucapkan, lebih baik diam, mendengar dan menemani mereka. Setelah saya praktekkan, istri saya semakin baik dan sembuh dari sesak nafasnya tanpa membutuhkan obat lagi.

3. Instrospeksi diri, Jangan sampai secara tidak sadar, kita menjadi penyebab Depresi orang yang kita kasihi

Mungkin ada orang dekat kita yang sedang mengalami depresi. Selain kita mencari penyebab dari hal-hal lain. Coba instrospeksi diri. Jangan-Jangan kita sendiri yang menjadi penyebab mereka depresi. 

Jika kita yang menjadi penyebab mereka depresi, selain kita berubah, tidak ada cara lain lagi untuk membantu mereka sembuh dari depresi. 

Ada beberapa pengalaman mirip yang juga dialami teman saya.

Ada seorang teman yang suaminya depresi bahkan harus masuk Rumah Sakit Jiwa. Saya bertanya pada suaminya, "Mengapa anda mengalami depresi? Dia jujur menjawab, "Karena istrinya selama puluhan tahun menghina profesinya sebagai pelukis yang dianggap tidak bisa maju dan berkembang." Lama-lama dia merasa tidak berguna dan akhirnya depresi.  

Lalu saya tanya istrinya, "Mengapa anda menghina suami anda?" Istrinya menjawab bahwa, dia tidak bermaksud menghina suaminya karena menjadi pelukis. 

Semua yang dia ucapkan hanya bertujuan agar suaminya terdorong untuk lebih maju lagi. Akan tetapi, karena kata-kata yang digunakan seperti, "kamu tidak berguna, tidak bisa maju, makanya kamu harus belajar terus supaya maju." Suaminya bukan terdorong untuk maju, malahan merasa terhina dan direndahkan. Dia juga menyesal pernah mengucapkan kata-kata tersebut. 

Lalu ada lagi satu teman sekampung yang istrinya depresi dan sempat dinyatakan sakit jiwa. Istrinya bercerita bahwa dia stres, dan hidup dalam ketakutan karena seringkali suaminya memukul dan membentak dia. Sampai akhirnya dia tidak tahan lagi dan menjadi Depresi bahkan mengalami gangguan jiwa. 

Saat bertanya pada suaminya, "Mengapa anda melakukan hal itu pada istri anda?" Suaminya berkata, dia tidak bermaksud memukul istrinya. Memang dia marah-marah tetapi hanya ingin memberitahu istrinya agar jangan menganggu dia karena sedang stres oleh pekerjaan. Tetapi karena disampaikan dengan cara marah-marah. 

Tentu istrinya tidak bisa mengerti perasaannya. Maka istrinya tersingung dan merasa tidak dihargai. Merasa pulang-pulang kok marah-marah. Akhirnya, istrinya juga membalas kemarahan suaminya dengan marah-marah. 

Kemudian terjadilah pertengkaran dan pemukulan. Suaminya berkata, itupun dengan tujuan agar istrinya diam. Dia kaget, istrinya bukan diam malahan tambah berantem. 

Setelah di bawa pulang kampung. Suaminya belajar berubah, karena dia tidak menyangka, akibat perbuatannya, istrinya menjadi Depresi. Saat ini, istrinya sudah baik dan kembali ke Jakarta bahkan sekarang sudah berjualan kue di pasar.  

Jadi hati-hati, berkata dan berbuat. Berbicaralah jujur pada pasangan anda. Apapun perasaan anda, dia pasti mengerti. Jadi jangan menyampaikan perasaan anda dengan cara tidak konstruktif sypaya dia bisa mengerti anda. Sampai kapanpun mereka tidak akan mengerti perasaan kita, jika disampaikan dengan cara marah-marah.

Ingat !!! sumber depresi orang dekat anda, mungkin anda sendiri. Berubahlah.

Salam Kasih,

Ev. Timotius Cong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun