Indonesia menghadapi paradoks pembangunan dalam sektor pangan. Di satu sisi, pemerintah terus membangun infrastruktur irigasi dengan tujuan meningkatkan produktivitas pertanian. Pada 2015-2024, rencananya lebih dari 60 waduk akan dibangun untuk mendukung irigasi di sekitar 2 juta hektare lahan pertanian (Kementerian PUPR, 2024). Namun, di sisi lain, luas lahan sawah menyusut tajam saat ini dan menjadi rekor terendah dalam satu dekade terakhir (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2023).
Rosset (2006) dalam Food is Different: Why We Must Get the WTO Out of Agriculture menyatakan bahwa kedaulatan pangan tidak sekadar memastikan ketersediaan pangan, tetapi juga menempatkan petani kecil sebagai pengelola utama sumber daya agraria.
Kedaulatan pangan tidak hanya mengacu pada ketersediaan pangan secara fisik tetapi juga pada kontrol penuh atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan berdasarkan potensi lokal. Ketergantungan pada pembangunan fisik saja, tanpa memperhatikan aspek sosial-ekonomi dan ekologis, hanya akan menciptakan "ketahanan pangan palsu" yang mengorbankan kedaulatan pangan.
Kegagalan Indonesia untuk memadukan pembangunan fisik dengan tata kelola pertanian berbasis kedaulatan pangan menunjukkan kelemahan dalam praxsis pembangunan irigasi yang tidak koheren dengan kebijakan pertanian.
Pembangunan infrastruktur irigasi di Indonesia kerap dianggap sebagai solusi untuk memperkuat sistem pangan nasional, dan menjadi fokus utama kebijakan pemerintah Indonesia dalam satu dekade terakhir. Namun, pendekatan yang berfokus pada keamanan pangan tidak cukup untuk menjamin kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menuntut kendali penuh atas sumber daya lokal dalam produksi pangan, termasuk lahan pertanian. Sayangnya, pembangunan irigasi sering kali mengabaikan persoalan mendasar seperti alih fungsi lahan dan tata kelola pertanian.Â
Dalam 10 tahun terakhir, yaitu pada periode 2015-2024, pemerintah rencana membangun 61 bendungan. Dari jumlah tersebut, 47 bendungan telah selesai dibangun, dan target sisanya akan dilanjutkan pada tahun 2025 sementara luas sawahnya tidak mencerminkan kebutuhan sistem irigasi yang infrastrukturnya akan dibangun.
Pembangunan bendungan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Bendungan-bendungan yang telah dibangun tersebar di berbagai pulau, yaitu di Pulau Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara dan lebih dari 20 di Jawa.
Pembangunan infrastruktur irigasi merupakan elemen penting dalam mendukung kedaulatan pangan. Namun, fakta menunjukkan bahwa upaya masif yang dilakukan pemerintah, khususnya di era Presiden Joko Widodo, belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan produktivitas dan luasan sawah yang teririgasi. Beberapa poin kritis yang dapat diangkat:
Dari total luas sawah Indonesia yang mencapai 7,4 juta hektare, hanya sekitar 4,4 juta hektar yang memiliki sistem irigasi, sementara 3 juta hektare lainnya bergantung pada tadah hujan. Meski pemerintah telah mengklaim fokus pada pembangunan infrastruktur pangan, seperti jaringan irigasi dan bendungan, hasilnya belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam mendukung sawah non-irigasi. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas arah kebijakan dan prioritas yang diambil.
Proyek pembangunan 61 bendungan besar yang menyerap investasi besar-besaran dinilai tidak tepat guna. Alih-alih meningkatkan kemampuan irigasi nasional, banyak bendungan ini justru belum terintegrasi dengan baik ke jaringan irigasi eksisting. Dampaknya, potensi air yang dihasilkan bendungan belum termanfaatkan optimal untuk mendukung pengairan sawah. Selain itu, sebagian besar wilayah sawah tadah hujan tetap tidak tersentuh manfaat pembangunan ini.
Janji 1 Juta Hektare Irigasi Baru Tidak Tercapai
Salah satu narasi yang sering diangkat adalah klaim pemerintah bahwa pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi akan mengairi lebih dari 1 juta hektare lahan baru dan memperbaiki 3 juta hektare irigasi eksisting. Namun, hingga kini, tidak ada data yang transparan dan jelas mengenai luas sawah yang benar-benar mendapatkan manfaat. Bahkan, bukannya mendukung peningkatan produksi pertanian, program ini terkesan hanya menjadi proyek prestisius yang realisasinya jauh dari harapan.
A. Teori Developmentalisme
Pembangunan fisik sebagai indikator utama kemajuan adalah inti dari teori developmentalisme, yang dikritik oleh Escobar (1995) dalam Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Menurut Escobar, pembangunan sering kali melupakan dimensi sosial dan ekologis, sehingga mengabaikan dampak pada masyarakat yang paling terdampak. Dalam konteks Indonesia, pembangunan waduk dan irigasi sering kali mengesampingkan petani kecil yang menjadi tulang punggung produksi pangan.
Pembangunan waduk dan irigasi dilakukan tanpa memitigasi dampak negatif alih fungsi lahan, yang pada akhirnya melemahkan ketahanan sistem pangan.
B. Teori Kedaulatan Pangan
Rosset (2006) menekankan bahwa kedaulatan pangan melibatkan kendali lokal atas sumber daya pertanian, termasuk tanah, air, dan benih. Ia berpendapat bahwa tanpa perlindungan terhadap lahan pertanian dan pemberdayaan petani, kedaulatan pangan sulit dicapai meskipun infrastruktur irigasi memadai.
Pengembangan irigasi hanya cenderung memperkuat ketergantungan pada sistem pangan global dan mengesampingkan kebutuhan petani kecil.
Tulisan ini disusun menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan data sekunder dari laporan pemerintah (Kementerian PUPR dan BPS), organisasi non-pemerintah (KPA), serta literatur terkait. Analisis dilakukan untuk mengkaji hubungan antara pembangunan irigasi, menyusutnya lahan sawah, dan kelemahan dalam implementasi kebijakan pangan melalui perspektif teori kedaulatan pangan (Rosset, 2006) dan teori pembangunan (Escobar, 1995).
Dalam tulisan ini dideskripsikan secara singkat tentang ketimpangan antara pembangunan fisik infrastruktur irigasi dan keberlanjutan sistem pangan nasional, dengan menggunakan teori pembangunan berorientasi fisik (developmentalisme) dan pendekatan kedaulatan pangan yang dikemukakan oleh Rosset (2006).
1. Statistik Luas Lahan Sawah yang Tergerus
Pembangunan waduk selama satu dekade terakhir dirancang untuk mengairi sekitar 2 juta hektare sawah.Â
Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 74/10/Th. XXVII yang dikeluarkan pada 15 Oktober 2024 tersebut, total produksi padi nasional tahun 2024 diperkirakan mencapai 52,66 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau sekitar 31 juta ton beras.Â
Dalam catatan sejarah, pada 1950-an luas sawah kita yang ditanami padi di Jawa dan Madura berjumlah sekitar 3,5 juta, sementara di luar Jawa sekitar 2,4 juta ha (Oudejans, 1999).
Luas baku sawah (2019) di dominasi oleh Jawa (47%) disusul Sumatera (24%), lalu Sulawesi (13%), sementara Kalimantan (10%), Nusatenggara-Bali (6%), dan Maluku dan Papua (1%). Jika berdasarkan kualitasnya, ada sekitar 2,9 jt ha lahan beririgasi; 3,040jt ha lahan tadah hujan, dan 1,523 jt ha lahan sawah rawa pasang surut/lebak.
Pembangunan Infrastruktur Irigasi
Pembangunan waduk masif selama satu dekade terakhir menelan biaya triliunan rupiah, namun efektivitasnya terhambat oleh lemahnya tata kelola air. Berdasarkan studi Uphoff (1986), distribusi irigasi yang efektif memerlukan partisipasi petani, yang sering kali diabaikan dalam proyek pemerintah.
2. Kesenjangan Kebijakan Pembangunan
Ketimpangan antara pembangunan fisik dan perlindungan lahan sawah mengindikasikan absennya kebijakan terpadu. Banyak proyek waduk dan irigasi mengabaikan ancaman alih fungsi lahan untuk kepentingan industri dan perumahan. Misalnya, pada 2023, alih fungsi lahan mencapai 96 ribu hektare, yang sebagian besar terjadi di kawasan dengan infrastruktur irigasi memadai.
Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali
Kebijakan pembangunan irigasi tidak dibarengi dengan perlindungan lahan pertanian sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Akibatnya, pertanian skala kecil menjadi semakin rentan terhadap tekanan ekonomi dan ekologis.
Stagnasi Produktivitas Padi
Meskipun ada investasi besar dalam irigasi, produktivitas padi nasional pada 2024 hanya mencapai 54,7 juta ton, stagnan dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan luas panen sebesar 1,64% menjadi salah satu penyebab utama stagnasi tersebut.
3. Tantangan dalam Tata Kelola Irigasi
Tata kelola distribusi air juga menjadi hambatan. Menurut Uphoff (1986) dalam Improving International Irrigation Management with Farmer Participation, pengelolaan irigasi yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung dari petani lokal. Namun, di Indonesia, konflik perebutan akses air masih sering terjadi, mencerminkan lemahnya sistem manajemen irigasi yang terdesentralisasi.
Rekomendasi Kebijakan
1. Perlindungan Lahan Sawah
Implementasi tegas terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi prioritas untuk mencegah alih fungsi lahan.
2. Integrasi Infrastruktur dan Tata Kelola Pertanian
Mengintegrasikan pembangunan irigasi dengan reformasi tata kelola pertanian akan memastikan infrastruktur yang dibangun memberikan manfaat nyata. Pendekatan ini dapat mengadopsi model partisipatif sebagaimana diusulkan oleh Uphoff (1986).
3. Diversifikasi Fungsi Waduk
Waduk harus dirancang untuk mendukung fungsi multifungsi, termasuk irigasi, pengendalian banjir, dan pelestarian ekosistem.
4. Mendukung Kedaulatan Pangan
Pembangunan irigasi harus diarahkan untuk memperkuat kedaulatan pangan melalui pemberdayaan petani kecil, peningkatan akses terhadap teknologi pertanian, dan pemanfaatan sumber daya lokal.
Pembangunan infrastruktur irigasi di Indonesia masih lebih menekankan pada aspek keamanan pangan daripada kedaulatan pangan. Ketergantungan pada paradigma developmentalisme menciptakan kesenjangan antara infrastruktur fisik dan kebutuhan sektor pertanian. Tanpa perlindungan terhadap lahan sawah dan perbaikan tata kelola, upaya ini berisiko menjadi investasi yang tidak efektif. Sebagaimana diingatkan oleh Rosset (2006), kedaulatan pangan hanya dapat dicapai melalui kebijakan holistik yang menempatkan petani lokal sebagai aktor utama dalam sistem pangan nasional.
Belajar dari Keberhasilan Orde Baru dalam Swasembada Pangan 1984
Pemerintah saat ini, baik di bawah Presiden Joko Widodo maupun Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, semestinya dapat mengambil pelajaran dari keberhasilan swasembada pangan yang dicapai Orde Baru pada tahun 1984. Berikut rekomendasi berdasarkan keberhasilan tersebut:
1. Investasi yang Tepat Sasaran
Pemerintah Orde Baru memprioritaskan investasi langsung ke sektor pertanian, terutama pada pembangunan jaringan irigasi, subsidi pupuk, dan benih unggul. Pemerintah saat ini harus mengalokasikan anggaran ke program yang secara langsung mendukung produktivitas petani dan lahan sawah, daripada fokus pada proyek besar yang kurang relevan seperti bendungan multi-fungsi.
2. Rentang Waktu yang Realistis
Swasembada pangan 1984 dicapai dalam rentang waktu sekitar 15 tahun melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi yang berkesinambungan. Pemerintah perlu merancang target yang terukur dengan tahapan pencapaian jelas, misalnya 5 tahun untuk rehabilitasi irigasi eksisting dan 10 tahun untuk pembangunan irigasi baru yang efektif.
3. Tahapan Pencapaian yang Terencana
Intensifikasi: Peningkatan produktivitas sawah eksisting melalui penerapan teknologi pertanian, penyediaan irigasi, dan subsidi pupuk.
Ekstensifikasi: Pembukaan lahan sawah baru dengan infrastruktur pendukung yang memadai.
Diversifikasi: Pengembangan komoditas pangan alternatif untuk mendukung ketahanan pangan.
Pemerintah saat ini perlu mereplikasi tahapan ini dengan adaptasi terhadap tantangan modern.
4. Efektifitas Sumber Daya yang Digunakan
Orde Baru memaksimalkan sumber daya manusia, teknologi, dan keuangan secara terpadu. Selain itu, peran penyuluh pertanian sangat sentral dalam mendampingi petani di lapangan. Pemerintah kini harus memperkuat kolaborasi lintas sektor serta memastikan ketersediaan teknologi modern yang terjangkau bagi petani.
5. Dukungan Infrastruktur yang Holistik
Infrastruktur pendukung swasembada pangan Orde Baru mencakup:
- Pembangunan irigasi teknis skala besar.
- Jalan akses ke lahan pertanian untuk mempermudah distribusi hasil panen.
- Gudang penyimpanan hasil pertanian yang memadai.
- Sistem transportasi pangan yang efisien.
Infrastruktur ini perlu diterapkan secara konsisten dan terintegrasi untuk mendukung kedaulatan pangan saat ini.
---
Daftar Pustaka
Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Princeton University Press.
Rosset, P. (2006). Food is Different: Why We Must Get the WTO Out of Agriculture. Zed Books.
Uphoff, N. (1986). Improving International Irrigation Management with Farmer Participation. Cornell University Press.
Kementerian PUPR. (2024). Laporan Pembangunan Infrastruktur Irigasi.
Konsorsium Pembaruan Agraria. (2023). Laporan Tahunan 2023: Alih Fungsi Lahan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H