Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penulis Mantra: "Awatara Brahma" Meringkas Mahapurana

29 April 2020   03:19 Diperbarui: 29 April 2020   04:32 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti janji pada artikel sebelumnya ("Keterwakilan Kita dan Pengrajin Kata, Catatan atas Ekaristi Mario Lawi"), demi menghormati Hari Puisi Nasional, saya kembali mengunggah artikel lawas yang belum pernah posting di Kompasiana sebelumnya (tetapi bisa ditemukan di platform lain sebagai GH).

___________

Saya kembali mendapatkan kehormatan membedah karya antologi puisi sastrawan NTT. Kali ini sebuah perintah, datang dari Lanny Koroh, si doktor bahasa itu. Apalagi jika bukan perintah, ketika permintaan datang sebagai sabda?

Lany perintahkan saya mengulas Penulis Mantra, antologi puisi kedua Dewa Putu Sahadewa, seorang dokter spesialis kandungan merangkap juragan rumah sakit merangkap tuan tanah merangkap sastrawan merangkap juragan kedai. Ulasan ini harus disampaikan pada acara launching buku tersebut, 16/12/16 di Taman Dedari, Kota Kupang.

Sebagaimana halnya ketika mengulas Ekaristi karya Sang Mario Lawi, pada kesempatan ini pun saya perlu mengingatkan bahwa saya bukan ahli sastra. Maka jangan berharap di sini Anda akan menemukan ulasan memuaskan tentang aspek instrinsik dalam sajak-sajak Dewa Sahadewa. Sungguh saya tak lihai akan rima, rasa, nada, diksi, gaya bahasa.

Lagi pula saya tak terlalu yakin jika keindahan puisi disebabkan pemilihan diksi, majas, rima, dan irama yang tepat.

Bagi saya, seindah-indahnya puisi adalah pada getaran yang dihasilkan dalam batin penikmat. Getaran itu muncul oleh tangkapan makna. Urusan makna adalah urusan tema dan amanat. Kesamaan frekuensi tema dan amanat antara penyair dan peminat adalah kunci. Tema dan amanat adalah daging; sementara diksi, majas, rima, dan irama semata bumbu. Tanpa bumbu, daging bisa gurih. Tak sebaliknya.

Sebagai penikmat, domain saya adalah pada makna dan suasana yang terasa saat tersapa kata, larik, dan bait.

Ketika kata dideklarasikan, tafsir akan makna menjadi hak penikmat, pun kondisi batin yang ditimbulkannya.

Karena puisi adalah pemadatan kalimat, kumpulan konotasi, dan rangkaian metafora maka selisih pemaknaan antara penyair dan penikmat sudah jadi konsekuensi.

Jadi, sebelum kita berangkat lebih jauh, ada dua hal menuntut mufakat kita. Pertama, jangan ulasan ini ditanggapi serius. Anggap saja kembang api, sekedar agar malam kita gempita. Kedua, jangan cemberut jika saya salah menafsir Penulis Mantra.

Siapa Dewa Sahadewa, Mengapa Penulis Mantra

Mari mulai dengan otak atik gathuk. Agar bisa menikmati, Anda terlebih dahulu harus yakin --atau berlaku seolah-olah yakin--bahwa tak ada peristiwa yang saling lepas-bebas di muka bumi. Satu peristiwa terikat-erat dengan yang lainnya, entah sebagai sebab, pun akibat.

Mengapa penyair ini, pada 47 tahun lampau diberi label Dewa Putu Sahadewa? Mengapa ia terlahir sebagai orang Bali penganut Hindu? Mengapa Penulis Mantra menjadi judul?

Dewa Sahadewa, abaikan Putu-nya, tentu bukan nama asal-asalan. Di dalamnya terkandung doa orang tua akan seperti apa kelak putera mereka. Bisa juga kedua orang tua hanya perpanjangan tangan semesta demi sebuah pesan.

Dewa yang diulang lagi pada akhir seperti hendak memberi penekanan jika inilah keyword-nya, atau mungkin menunjukkan level. Dewa dari dewa, seperti orang Manggarai menambahkan Mori (tuan, dari bahasa Bima) pada Kraeng (tuan, dari bahasa Bugis). Mori Kraeng, tuan dari tuan, adalah Tuhan.

Siapakah dewa dari dewa? Mahadewa! Apakah Sahadewa sekedar problem typo dari Mahadewa?

Dalam keyakinan Hindu, mahadewa adalah Trimurti, AOM, manifestasi kekuatan utama Brahman, Sang Hyang Widhi, Tuhan Semesta Alam, Allah, dalam tiga sosok: Pencipta (Utpathi) yaitu Brahma; Pemelihara (Sthiti) yakni Wisnu; dan pelebur (Pralina) adalah Siwa. Maka Dewa Sahadewa bisa jadi adalah awatara/avatar[1] salah satu dari 3 mahadewa itu.

Siapa?

Bagaimana jika Sahadewa bukan problem typo dari Mahadewa? Jika Sahadewa memang dimaksud sebagai Sahadewa.

Dalam kakawin Sudamala[2], tersebut lah tokoh utama, Sahadewa (atau Sadewa), bungsu Pandawa yang menyembuhkan kutukan Ra Nini, sosok rakshasi Batari Umayi, istri Batara Guru. Atas keberhasilannya, Sahadewa dijuluki Sudamala yang bermakna "menghilangkan penyakit."

Masyarakat Nusantara masa kini melafalkan Sudamala sebagai dokter! Terbukti Dewa Sahadewa yang kini dokter adalah kenyataan yang berhubungan dengan peristiwa pemberian nama 40-an tahun lampau.

Lalu bagaimana dengan statusnya sebagai "titisan dewa"?

Dalam kidung Sudamala ada dua mahadewa turut mainkan lakon. Yang pertama adalah Batara Guru, mahadewa peninggalan Nusantara pra-Hindu, penguasa Kayangan Tengguru; dan yang kedua adalah Batara Brahma, mahadewa Hindi yang dikisahkan menjadi pasangan selingkuh Batari Umayi, affair yang menjadi pangkal tulah.

Karena sejak awal kita tak membahas mahadewa Nusantara, tetapi Hindi, maka serta-merta Brahma adalah tersangka yang menitis pada Dewa Putu Sahadewa (abaikan versi kakawin Sudamala di mana Batara Guru-lah yang merasuki Sahadewa).

Anda tidak yakin?

Baik. Coba jawab, mengapa judul antologi ini Penulis Mantra?

Mantra adalah rangkaian kata yang memiliki daya magis, ia mengalirkan energi yang mengubah hakikat sesuatu atau mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Singkatnya, ia adalah kata yang berdampak mencipta.

Mencipta? Ini code keras, Tuan!

Siapakah di antara Mahadewa AOM bersandi mencipta? Tentu saja Brahma.

"But, don't judge a book by its cover," begitu yang selalu ditekankan Linda Tagi saat menyesatkan pecinta sastra pemula di komunitas kecilnya. Maka baiklah jika kita masuk ke halaman dalam.

Kosmologi Penciptaan dan Peleburan

Penulis Mantra adalah kitab deklarasi diri dan bocoran rahasia semesta dan kehidupan. Tentang awal semesta, Brahma diciptakan, hingga Siwa meleburkan. Ini bukan sebuah antologi puisi biasa. Ini sebuah himne, juga gita yang meringkas mahapurana.

"Dedari" adalah kisah awal semesta

Jika saya kuratornya, karya yang akan saya letakan pada tempat pertama adalah puisi "Dedari."

Ia mulai dengan menyatakan jalan kehidupan yang telah digariskan awal dan akhirnya. Sebuah takdir. "Sebelum tahun berakhir, Kau memulainya. Sebuah perjanjian ditulis dengan nyanyian." Kau-lirik pada bait ini mengacu pada Brahman/Tuhan/Allah.

"Dilahirkan sebagai bayi ...yang menangisi kegelapan dan dingin dunia tetapi segala cahaya terang di jiwamu menyinari matahari memutar semua planetku." Saat ini kau-lirik (Brahman) dan aku-lirik (Brahma) masih menjadi dua entitas berbeda. Bagian ini adalah ringkasan awal semesta hingga Brahma diciptakan Sang Brahman.

Bandingkan kecocokannya dengan Nasadiya Sukta[3] di dalam Ragveda[4]. Saya meringkas dan sedikit mengubah bentuknya.

"Pada mulanya tidak ada sesuatu yang ada namun tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada kematian, juga kehidupan. Tanpa siang tanpa malam. Pada awalnya hanya kegelapan menyelimuti dalam kegelapan. Segalanya ketakterbatasan kekosongan. tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong.Sinarnya terentang keluar. Siapakah sungguh tahu? menerangkannya? Dari manakah kejadian itu, dan dari manakah timbulnya? Para Dewa ada setelah kejadian itu. Lalu, siapakah yang tahu, darimana ia muncul? Dia, yang merupakan awal pertama dari kejadian itu, dari-Nya kejadian itu muncul atau mungkin tidak. Dia yang mengawasi dunia dari surga tertinggi, sangat mengetahuinya atau mungkin juga tidak."

Dari tak ada apa-apa, hanya seluas-luasnya kosong, gelap yang diselimuti gelap. Lalu Allah mencipta.[5]

Perhatikan ... "Para Dewa ada setelah kejadian itu."

Adalah AUM: Brahma (A), Wisnu (U) dan Siwa (M) yang merupakan wujud tiga kuasa Brahman. Di antara ketiganya, hanya Brahma yang melalui proses kelahiran. Keluar dari teratai di dalam pusar Wisnu.

Di dalam Bhagavata Purana[6] disebutkan:

"Munculnya alam semesta dari pori-pori Tuhan dalam wujud Karanodakasayi Visnu, dari sini muncul Garbhodakasayi Visnu yang berikutnya dari pusar Beliau muncul bentuk yang menyerupai bunga padma. Di atas bunga padma inilah Tuhan menciptakan mahluk hidup yang pertama, yaitu Dewa Brahma. Dewa Brahma diberi wewenang sebagai arsitek yang menciptakan susunan galaksi beserta isinya dalam satu alam semesta yang dikuasainya. Alam semesta berjumlah jutaan dan tidak terhitung banyaknya yang muncul dari pori-pori Karanodakasayi Visnu dan setiap alam semesta memiliki dewa Brahma yang berbeda-beda."

Kemudian "Kau menjadi kata dalam bahasa, menjadi ibu bagi dirimu" dan aku-lirik dan kau-lirik menjadi satu entitas tunggal Brahman dan Brahma sebagai pewujudan kuasa penciptaan.

Rahasia ke-Allah-an Brahman juga dinyatakan di dalam puisi "Di Ketinggian Ende", juga Brahma sebagai manifestasi kuasa penciptaaan Brahman. Baik aku-lirik dan kau-lirik mengacu pada keduanya (sebagai satu kesatuan).

Bait pertama "Aku tak perlu berdiri untuk menjadi ada tak perlu berlari untuk sampai tak perlu tubuh untuk cinta" adalah gambaran ke-Allah-an yang tak perlu syarat untuk mengada.

Pada bait berikut, "terus menulis huruf-huruf menyusun namamu" menggambarkan penciptaan sebagai proses yang tak berhenti. Ini juga menunjukkan---seperti di dalam agama-agama lain--- kata/mantra/sabda memainkan peran penting penciptaan. God Said, Kunfaya kun.

Peran Sabda/bunyi dan cahaya di dalam penciptaan materi juga menunjukkan kesatuan tak terpisahkan antara energi dan materi, hal yang baru di kemudian hari dipahami oleh ilmu pengetahuan.

Puisi "Redup Cahaya" dan "Mimpi Terakhir": Gambaran Umum Rahasia Penciptaan menuju Peleburan 

Di dalam puisi "Redup Cahaya" aku-lirik (Brahma) menulis tentang dirinya sendiri mencipta. "Tubuhku telah menuliskan banyak jejak tak tahu mana yang tercatat".

Sekali lagi ditegaskan di sini bagaimana kehidupan diciptakan sendiri oleh Allah dari tubuh Allah, semesta keluar dari pori-pori Allah. Atman yang menjadi jiwa setiap mahkluk pada dasarnya adalah cercah Paramatman, cahaya sang Ilahi, Sang Cinta, yang menubuh oleh cinta. Tat savitur varenyam (Engkaulah sumber segala cahaya).[7]

"Cinta satu-satunya yang memberi warna" (beragam bentuk Purusa/daya batin dan Prakerti/pradana/rupa/daya kebendaan) "maka biarkan semburat" (cercah cahaya ilahi yang menjadi atman pada diri mahkluk) "menjadi cerita dalam lukisan perjalanan" (kisah sejak penciptaan dan berjalannya kehidupan) "menuju redup cahaya" (pralaya, peleburan ketika atman pembali pada Sang Cinta dan dari sana kehidupan akan kembali diciptakan).

Di dalam puisi "Mimpi Terakhir", aku-lirik (Brahma) bicara tentang peciptaan. "Kotak-kotak yang di dalamnya bermekaran seluruh pagi dan matahari".

Perhatikan, "kotak-kotak," sebuah bentuk jamak, menujukkan Hindusme menerima konsep multiverse, dan setiap semesta memiliki satu Brahma sendiri. Hal ini jauh lebih maju dibandingkan sejumlah kebudayaan yang masih memandang bumi sebagai pusat semesta, atau setidaknya sebagai satu-satunya tempat dimana manusia hidup.

Di dalam "Mimpi Terakhir" juga dinyatakan Brahma tidak bisa menghindari datangnya pralaya--"kelelahan, mimpi terakhir, jarum jatuh, kota-kota menjauh, tusukan di jantung yang mengubah semua warna menjadi kelabu, ungu, dan hitam"--sebab pralaya adalah kuasa Siwa, manisfestasi Kuasa Peleburan Sang Brahman/Allah--"tiba saatnya kau akan memilih perih"||.

Meskipun kematian atau pralina adalah momentum mulia ketika atman kembali ke asalnya, sebagai yang menciptakan Brahma tetap saja bersedih --"yang terlihat hanya punggung penuh luka"||.

"Memasuki Akhir Tahun": Rahasia Pralaya

Setelah itu, Dewa Sahadewa (Yang sedang menjadi "awatara" Brahma di dalam konteks kita) lebih menitikberatkan pada pralaya.

Puisi "Memasuki Akhir Tahun" lebih banyak berisi umbar kesal Brahma (aku-lirik) terhadap masa pralaya ketika Siwa menjalankan tugasnya meleburkan kehidupan.

Saat prakritika pralaya (yang sepadan Kiamat), kehidupan, bahkan Brahma yang tercipta dari cahaya Ilahi akan kembali kepada yang Ilahi. "Tubuhku menjadi bayangan mengumpulkan sisa-sisa sinar."

Brahma, meskipun tahu dan sadar akan takdir penciptaan-peleburan tentu saja marah. "Letupan kemarahan membubuhkan tanda seru."

Bait: "Meski aku tak pernah sampai pada masa lalumu" ditujukan kepada Siwa (kau-lirik), sang penguasa waktu, sang pelebur di hari penghabisan.

Ini mengingatkan pada dua kisah di dalam Siwa Purana:

Yang pertama, berceritalah Romaharsana tentang pertengkaran Brahma dan Wisnu soal klaim siapa menciptakan siapa (siapa yang menjadi awal dari yang lainnya). Untuk mengakhiri pertempuran dua mahadewa itu, Siwa muncul dalam wujud lingga api yang sangat besar. Siwa meminta Brahma dan Wisnu untuk menemukan awal (Aadi/Alfa) dan akhir (Antha/Omega) dari lingga itu. Brahma dan Wisnu tak pernah menemukannya.

Yang kedua, ketika Narada memohon pada Brahma untuk mengajarinya cara memuja dan memperoleh berkah Dewa Siwa.

Brahma berkata kepada Narada, "Siwa adalah keajaiban dari semua keajaiban. Pada saat pralaya (kiamat) segalanya akan dihancurkan. Tidak akan ada siang ataupun malam. Tidak akan ada unsur apapun. Kemudian Ia yang tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk, wujud dan evolusi, Ia yang bersinar, tanpa akhir dan abadi. Ialah Siwa, Ialah Siwa." 

"Dalam Satu Napas": Kematian sebagai pralaya individual, nitya pralaya

Puisi "Dalam Satu Napas" bicara tentang rahasia pralaya individual atau nitya pralaya atau kematian, "memejam mata."

Rahasia yang hendak disampaikan di sini adalah saat nitya pralaya, jiwa/jivatman/atman "tiba di simpan jalan" antara mencapai moksa atau harus kembali reinkarnasi untuk menjalani samsara.

Moksa adalah kondisi ketika atman kembali bersatu dengan Pararatman, Sang Mahajiwa, Jiwa Ilahi, Tuhan.

Jika manusia semasa hidup banyak melakukan perbuatan buruk, yang menandakan kecintaannya pada materi/hal duniawi, jiwanya tidak akan mencapai moksa, namun kembali hidup di dalam tubuh yang berbeda: reinkarnasi.

Sedikit catatan, gagasan Moksa --juga atman sebagai jajaring yang terhubung satu sama lain dan menyatu pada Paramatman--inilah yang menurut saya digunakan Dewi RSD di dalam Supernova, terutama dalam buku Intelegensi Embun Pagi.

Saat mati, atman memiliki kemampuan melihat lebih banyak hal karena tidak terhalang tubuh materinya, maka ia "melihat yang tidak terlihat". 

Memuja Wisnu, Menggoda Siwa, Tritunggal AUM, dan tentang Brahma sendiri

Memuja Wisnu di dalam puisi "Angin Utara" dan puisi "Sejarah Hujan"

Dewa Angin Utara salah satunya ditemukan di dalam alam tradisi Yunani. Angin Utara adalah Boreas, Dewa Angin (Anemoi) pembawa musim dingin. Ia tidak datang di bulan Agustus, karena Juli hingga September adalah kekuasaan Notos. Lagi pula Boreas justru membawa kesedihan. Orang-orang harus mengenakan mantel tebal menutup seluruh tubuh dalam warna-warna kelabu. Tentu Dewa Sahadewa tidak bicara tentang Boreas.

Di dalam "Angin Utara" dan "Sejarah Hujan", aku-lirik adalah Brahma yang merindukan Wisnu (kau-lirik).

Di dalam Dewata Nawa Sanga[10], adalah Wisnu yang menempati pos utara. Wisnu dan Brahma boleh dikatakan belahan jiwa dalam hubungan setara dua mahadewa yang mewakili dua dari tiga kekuatan utama Sang Hyang Widhi--"Engkau belahan jiwa tetapi tak tersentuh jemari"||.

"Tak tersentuh jari" digunakan untuk menggambarkan hubungan yang suci, bukan sepasang kekasih birahi.

Brahma lahir dari teratai pada pusar Wisnu. Brahma dan Wisnu berkarya bersama. Brahma mencipta, Wisnu yang memelihara.

Dalam berbagai kisah, Brahma dan Wisnu juga sering bersama--"kita berjalan di atas harum tanah basah"||. Misalnya saja dalam menciptakan Batara Kala. Wisnu dan Brahma bersama-sama menemukan ceceran peju Siwa dan meniupkan kehidupan hingga terciptalah Batara Kala.

Wisnu adalah dewa yang menari--"sedekat apa tarianmu"--dan sesekali muncul dalam wujud perempuan, Mohini.

Di dalam kitab Wisnupurana, Wisnu dalam sosok Mohini mengalahkan raksasa Bhasmasura dengan tarian. Ketika itu Bhasmasura hendak membunuh Siwa dengan kekuatan yang diberikan Siwa sendiri. Siwa meminta bantuan Wisnu. Kenyataan bahwa justru Siwa-lah Sang Nataraja, dewa tetarian, kita kesampingan saja.

Wisnu dikenal juga sebagai dewa air, dan bos Indra[11] sang dewa hujan. "Aku lelaki tak pernah mengerti hujan...biarkan aku belajar untuk sekedar mengerti arti hujan".

Dalam beberapa kesempatan, Wisnu hadir dalam awatara/avatar yang manis, penuh kasih, dan pembawa tawa. "Kau manis Merayu dunia dengan tawa Meramu sajak hidup yang riuh Menanarkan pandangankuu Mendekap erat jejak lahirmu Dan tertidur Dan tersenyum di dalam mimpi".

Tentu saja, karena ia Sang Pemelihara. Ia lah yang mendatangkan hujan--"di manapun hujan turun burung berteduh di bawah dauh basah dan kita mengenang hari yang sejuk...di atas tanah harum basah...kau selalu memetik bunga...menaburi luka sejarah dengan cinta"--seperti ketika ia menitis sebagai Rama[12] , Krishna sang Govinda/pemberi kebahagiaan[13] , atau Siddhartha Gautama.[14]

Wisnu juga sering hadir ketika peralihan zaman atau sebagai pembawa perubahan--"mengirim Agustus ...melewati Juli yang asing....Membentangkan hari-hari di depanku Juli terlampaui"--.

Contohnya sebagai Wamana, bocah brahmana yang mengakhiri kezaliman Mahabali, seorang Asura[15] cucu Prahlada di masa Tretayuga; sebagai Parasurama/ Ramaparasu, seorang Brahmana imortal bersenjatakan kampak yang mengakhir perang para ksatria di masa Tretayuga; sebagai Matsya Awatara, ikan ajaib yang memperingatkan Satyabrata/ Waiwaswata Manu untuk segera membuat bahtera karena akan datang air bah pada zaman Satya Yuga; dan sebagai Kalki, ksatria berpedang penunggang Devadatta yang akan datang --masih ditunggu hingga kini--- di akhir Kaliyuga[16] untuk menegakkan keadilan.

Menggoda Siwa di dalam Puisi "Ayunan Waktu" dan Puisi "Bermain Angin"

Di dalam "Bermain Angin", Brahma (aku-lirik) becanda sambil berharap pada Siwa (kau-lirik), membiarkannya lebih lama menyaksikan ciptaannya atau meneruskan penciptaan (sambil Wisnu memeliharanya)--"Ijinkan aku bermain angin"--sebelum kuasa Siwa mendatangkan Pralaya--"dan senyummu meruntuhkan gunung.||"

Perhatikan pilihan kata "senyummu" --bukan marahmu--, penulis tampaknya hendak menegaskan bahwa pralaya bukan wujud angkara Allah. Pralaya hakikatnya peleburan kehidupan untuk dimurnikan kembali. Siwa sang pralina menjalankan kuasanya dengan cinta, mengembalikan atman pada Paratman.

Di dalam "Ayunan Waktu", Brahma bicara tentang peciptaan dan peleburan sebagai "di ayunan waktu." Sebagai manifestasi Kuasa Penciptaan, tentu saja Brahma berharap karyaNya abadi. Dia memohon untuk itu--"rayuan doaku"--, namun ia tahu Cahaya Ilahi tidak menghendakinya--"Cahayamu membekukan"||.

Frasa Ayunan Waktu hendak menunjukkan bagaimana proses penciptaan dan peleburan terjadi berulang (pralaya kalpa), dan Brahma terus menyaksikannya.

Siklus kehidupan terjadi setiap 1 hari kalpa (1 hari bagi Brahma). Diciptakan pada siang hari Brahma dan dilebur pada malam harinya. Satu hari kalpa setara 4.320.000.000 tahun. Brahma sendiri ditakdirkan hidup 100 tahun kalpa sebelum ia sendiri dilebur Siwa dan semesta (atau juga versi hanya galaxy Bima Sakti --karena masing-masing Galaxy memiliki Brahma sendiri) kembali pada Sang Brahman (wikalpa pralaya).

Tri Tunggal AUM di dalam Puisi "Kisah Kita" dan Puisi "Satu Pelukan"

Brahma (A), Wisnu (U) dan Siwa (M) muncul relatif bersamaan.

Wisnu telah ada duluan.[17] Tetapi Wisnu tak bisa melakukan tugasnya sebelum Brahma, manifestasi kuasa penciptaan muncul dari pusarnya. Segera setelah Brahma mewujud, Siwa muncul dengan getar yang mengoyangkan teratai tempat Brahma berpijak.

Kelahiran menunjukan bahwa ketiganya hanya manifestasi kekuasaan Sang Hyang Widi. Ini cara lain mengingatkan ke-Esa-an Sang Ilahi sebagaimana diperingatkan Kresna di dalam Bhagawatgita.

Ketiganya adalah satu kesatuan--"wajahku telah menjadi wajahmu dan bayi yang terlahir kembar tetapi tak terpisahkan"||.

Mereka adalah tiga manifestasi tak terpisahkan. Penciptaan yang melahirkan "penuh tanya"; pemeliharan yang selalu "penuh cinta"; dan peleburan yang bagai[20] "penuh kutuk."

Pengulangan ketiga hal itu dalam urutan yang berbeda hendak menunjukan bahwa ketika kekuatan itu bukanlah satu melebihi yang lain. Ketiganya adalah satu kesatuan proses--"saling bertukar degup jantung berbagi nafas"--penciptaan, pemeliharaan, pemurnian (peleburan), lalu penciptaan lagi dan seterusnya, seperti pendulum, akhir adalah awal, awal adalah akhir.

Brahma tentang Dirinya Sendiri

Dalam puisi "Penulis Mantra", aku-lirik (Brahma) menulis tentang dirinya sendiri, yang menjalankan kuasa penciptaan. "Orang-orang telah dipilih untuk menulis kata yang mengurai embun menjadi cahaya kecil dan ligat menumbuhkan bunga hanya dari semburat cinta."

Lihatlah, sekali lagi bentuk jamak, "orang-orang" membeberkan rahasia semesta yang jamak.

Selanjutnya Brahma menunjukan betapa dirinya kecil, hanya manifestasi kuasa dan kehendak Brahman. "Sadarlah aku; bagian kecil dari kisah yang berulang dinyanyikan hanya karena satu tulisan. Tinta telah digoreskan sebelum dan setelah perjalanan."

Brahma juga dikenal dengan keinginannya memiliki anak yang menyerupai dirinya. Di dalam puisi "Puisi Yang Dibangkitkan" disebutkan "salah satu dari kamu adalah aku yang menimang kata." Ya, seorang putra dengan kuasa penciptaan.

Adalah para Prajapati, sejumlah rsi dari golongan dewa yang lahir bersamaan saat Brahma tengah melakukan penciptaan kosmis. Mereka adalah yang ditunjuk untuk menurunkan manusia pada setiap Mahayuga. Di dalam rmad Bhgavatam tersebut 11 Prajapati, sementara wiracarita Mahabarata menyebutkan 14 prajapati.

Di dalam puisi "Anak-Anak Kita Dalam Kardus" tampaknya aku-lirik (Brahma) bicara kepada Saraswati, sakti-Nya tentang manusia, yang lahir dan harus menjalani derita dalam kehidupan.

Puisi "Anakku" spesial, karena tampaknya Brahma (aku-lirik) membicarakan/bicara dengan Rudra! Rudra adalah Siwa yang menitis kembali sebagai putra Brahma.

Di dalam Weda Samhita dan Wiu-Purna dikisahkan Brahma marah-marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali karena tidak memahami arti penting penciptaan dunia. Saking marahnya tiba-tiba dari keningnya muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari, yang diberi nama Rudra.

Versi agak berbeda ditulis di dalam Mrkandeya Purna. Tersebutlah Brahma melakukan tapa untuk memperoleh anak yang serupa dirinya. Di tengah tapa, tiba-tiba di pangkuannya muncul anak lelaki berkulit merah kebiru-biruan. Anak itu terus menangis ketika Brahma salah memberi nama, enam kali berturut-tutur. Barulah nama ketujuh, Rudra, anak itu terdiam.

Lihatlah, "kau telah melewati masa yang letih pertukaran zat sebelum nyawa" menunjukkan Rudra yang lahir adalah penitisan Sang Siwa.

"Sedikit biru bersinar terang dari bola matamu" adalah ciri Siwa. Siwa Trinetra adalah wajud Siwa dengan 3 mata; Siwa Nilakantha adalah wujud Siwa berleher biru karena menegak racun untuk menyelamatkan para dewa saat hendak mengambil amerta/air keabadian.

Mari Menyimpul dan Menyesap Hikmah

Di manakah mantra bersumber? Di dalam Weda, Weda itu sendiri adalah kidung mantra ilahi. Siapa yang menurunkan Weda? Brahma! Maka siapa "Penulis Mantra"?

Weda, Sabda, Mantra, yang bersifat anadi ananta, Sanata. Ia kekal. Ia awal dan akhir. Ia ada sebelum penciptaan. Ia bersama-sama Brahman.

Bandingkan dengan Yohanes 1: 1-2: "In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God. The same was in the beginning with God."

So, hei kau Hindu, hei kau Kristen, hei kau yang lain-lain, kita dibangun (oleh) dan memuja (kepada) satu narasi besar yang sama! Jika begitu, mengapa saling benci?

OM Bhur Bvah svah, Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Sang Bhumi, Dikaulah Alam-Semesta, Dikaulah Kehampaan yang menyelimuti bumi dan alam semesta ini.

_____________

Sesuai acara diskusi, dr. Sahadewa berbisik kepada saya. "Inilah yang saya cemaskan. Tafsir atas puisi-puisi ini melampaui maksudku," katanya.

Ya, dr. Saha. Jangan mengeluh. Sekali karya kauterbitkan, dirimu mati, dan puisi menemukan kehidupannya sendiri.

Note:

[1] Wujud materil yang digunakan dewa ketika menitis.

[2] Kidung sastra peninggalan Majapahit, ditulis dalam kawi (Jawa Kuno bercampur Sansekerta).

[3] Purana adalah kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Ada 18 kitab Purana yang terkenal dengan sebutan "Mahapurana". Purana tergolong ke dalam smerti (kesusastraan Hindu yang ditulis pujangga), bukan termasuk smerti (kesusastraan yang dianggap wahyu yang diturunkan Tuhan, seperti Weda dan Upanisad) namun kadang disebut juga sebagai Weda kelima. Ia dipandang sebagai kitab bantu untuk menjelaskan Weda, tetapi cenderung menitikberatkan mahadewa tertentu.

[4] Boleh disebut sebagai kidup penciptaan, merupakan himne ke 129 dari Mandala kesepuluh di dalam Rigveda. Kidung ini fokus pada kosmologi dan asal-usul semesta.

[5] Adalah satu dari 4 weda, jika disadur lurus berarti pujian pengetahuan atau pengetahuan yang bercahaya. Rigveda adalah weta tertua dan dipandang sebagai yang terutama.

[6] http://sanskritdocuments.org/doc_veda/naasadiiya.pdf

[7] Bandingkan dengan Genesis di dalam Kristiani dan Yahudi, serta Awal Yohanes di dalam Kristiani. [8] Disebut juga Srimad Bhagavatam, dapat diterjemahkan sebagai Kisah Sang Terberkati, merupakan salah satu purana terpenting. Kitab ini mempromosikan pemujaan terhadan Krishna sebagai inkarnasi Wisnu, juga berisi topik luas mencakup kosmologi, genealogi, mitologi, dan legenda --terutama tentang beragam awatara dewa--- hingga geografi dan kebudayaan.

[9] larik kedua Mantra Gayatri

[10] Konsep 9 dewa penguasa penjuru mata angin di dalam keyakinan Hindu Dharma Bali. Dewata Nawa Sanga adalah Siwa yang dikelilingi delapan aspeknya.

[11] Sebelum konsep Trimurti berkembang, Indra adalah Mahadewa yang memimpin dewa-dewa lain. Setelah konsep Trimurti, Indra ditempatkan di bawah kekuasaan Wisnu. Tentu saja, karena hujan adalah manifestasi Kuasa Pemeliharaan.

[12] dalam Wisnupurana dan wiracarita Ramayana.

[13] Dikisahkan di dalam Bhagawatapurana dan Wiracarita Mahabarata. Tetapi di dalam Brahmawaiwartapurana (salah satu dari delapan belas kitab Mahapurana) Kresna dikisahkan sebagai penitisan Brahman itu sendiri. Artinya ia melampaui Wisnu, Brahma, Siwa. Mungkin setara Kristus bagi orang Kristiani. Ini sejalan dengan pesan Kresna kepada Arjuna di dalam Bhagawatghita.

[14] Di kisahkan di dalam Bhagawatapurana, Hariwangsa, Linggapurana, Naradapurana, Wisnupurana, Padmapurana, Garudapurana.

[15] Kaum bersosok raksasa, tetapi sebenarnya setara dewa

[16] Zaman kegelapan dan kehancuran

[17] Itu sebabnya di dalam kebudayaan tertentu, ia dikenal juga sebagai Jyestha, sang sulung (kok seperti nama putraku ya?

[18] Sekadar "bagai" karena pada dasarnya pralaya/peleburan adalah prayasarat penciptaan baru dengan lebih berkualitas. Pralaya secara individual --kematian---adalah momentum jiwa (atman) kembali pada Paratman (Jiwa Agung sumber kehidupan) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun